Urgen: Waspadai dan Benahi Generasi yang Utamakan Gengsi dan Sensasi

Oleh. Afiyah Rasyad

“Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Gunung Semeru dan akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.”

Begitulah petuah Sang Proklamator negeri ini. Beliau memahami betul potensi dan kekuatan generasi muda. Beliau memosisikan pemuda bak berlian yang begitu berharga. Tak ada yang keliru dengan pernyataan beliau. Sebab, memang demikianlah pemuda. Merekalah yang akan melanjutkan estafet perjuangan sebuah bangsa.

Alih-alih generasi muda saat ini terpola menjadi pemuda pejuang, justru mereka berada di titik nadzir gaya hidup penub kebebasan. Betapa moral enggan melekat dalam tindak tanduk perbuatan, pemuda tanpa malu berbuat aneh demi cuan dan ketenaran. Polah tingkah generasi masa kini begiti menyayat hati. Mereka melakukan sesuatu demi strata sosial tertinggi demi memuaskan gengsi dan sensasi.

Banyak sekali kasus viral yang dilakoni para generasi. Mereka seakan tak memiliki visi hidup, apalagi berpikir tentang kontribusi masa depan. Gengsi dan sensasi lebih menguasai pemikiran generasi. Barang branded, hura-hura, dan kepuasan jasadiyah lainnya menjadi ciri khas paradigma pemikiran mereka.

Generasi muda memang identik dengan masa labil, tetapi sejatinya, kekuatan dan kesegaran pemikiran juga melekat pada generasi. Bahkan, kekuatan fisik dan tenaga juga menempel sebagai tabiat generasi. Sayang berjuta sayang, mereka sering mencari jati diri dengan eksistensi yang semu.

Tak heran jika bermunculan kasus tawuran yang digelar di jalanan, terhampar di hadapan khalayak bak gladiator. Menjadi hal yang biasa saat generasi sudah menanggalkan etika dan rasa malu, mereka bergaul ke mana suka tanpa aturan dan norma. Seks bebas, narkoba, tawuran, dan sejenis kriminal lainnya memenuhi kehidupan generasi. Konflik antarremaja, budaya hura-hura, dan kehidupan mewah buah dari gengsi dan demi mensulang sensasi. Demikianlah kondisi generasi saat ini. Sudah menjadi hal yang sangat biasa, generasi saat ini hanya memedulikan gengsi dan sensasi.

Faktor Penyebab Generasi Fokus pada Gengsi dan Sensasi

Generasi muda harapan bangsa kini kian langka. Penerus estafet kepemimpinan umat semakin jauh dari potrer generasi sholih yang diliputi ketaatan tanpa tapi tanpa nanti. Justru, generasi masa kini asik petantang petenteng dengan dunia gemerlap dan kemewahan.

Demi viral dan konten, mereka kerap melakukan hal tak masuk akal, bully, atau tindak kriminal. Demi kebahagiaan semu, mereka juga ada yang tak menggunakan akal sehat dengan menghadang truk untuk menjelajah jalanan sampai tertabrak. Demi sebuah eksistensi, miras, narkoba, dan tawuran menjadi sahabat sejati. Demi kepuasan nafsu, seks bebas dijadikan tema dekat.

Semua itu tentu bukan tanpa sebab. Tak ada asap jika tak ada api, pribahas ini tepat untuk mengiringi kausalitas generasi yang berburu dan bertabur gengsi dan sensasi. Adapun faktor penyebabnya antara lain:

1. Individu yang jauh dari aturan agama dan norma kehidupan
Individu yang bertakwa adalah modal bagi siapa pun untuk berpikir dan berperilaku baik dalam timbangan syariat. Namun, jelas gengsi dan sensasi bukanlah ciri sifat seorang yang bertakwa. Jubah gengsi dan sensasi hanya akan dikenakan oleh orang-orang yang menanggalkan aturan agama ataupun norma kehidupan. Walhasil, mereka akan terikut arus gaya hidup yang menggejala dan menjamur dalam keseharian mereka, yakni liberalisme (kebebasan) dan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan dunia).

2. Lemahnya kontrol masyarakat

Tak dimungkiri, satu abad terakhir, masyarakat mengalami pergeseran paradigma berpikir. Masyarakat yang seharusnya merupakan sekumpulan orang yang memiliki aturan, perasaan, dan pemikiran yang sama, kini berubah menjadi masyarakat yang individualistik dan materialistik. Paradigma berpikir kapitalisme membuat masyarakat merasa enggan turut campur saat terjadi keanehan dan kejanggalan di lingkungan sekitar. Jarang sekali masyarakat yang peduli untuk mengontrol tertib dan amannya lingkungan. Mereka cenderung cuek dan nafsi-nafsi.

3. Hilangnya peran negara

Syahdan, negara yang memiliki tugas utama menjadi pelayan umat (rakyat) kini tak ubahnya seperti melakukan hubungan dagang dengan rakyat di semuq aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Sejatinya, pendidikan bagi generasi merupakan tanggung jawab negara.

Seyogianya, negara memberikan pembinaan atau tatsqif yang baik dan mumpuni sehingga lahir generasi yang kompeten dan berakhlakul karimah. Sayangnya, sistem pendidikan saat ini, semisal program revolusi mental yang dicanangkan dan kurikulum merdeka, ternyata tidak mampu mencetak generasi sesuai harapan, serta tak mampu meredam generasi yang bergelimang gengsi dan sensasi.

Sistem pendidikan saat ini juga berlandaskan sekularisme dan materialisme. Pendidikan beroperasi untuk mencetak buruh, lulusan siap kerja, bukan siap menjalankan kehidupan sesuai visi penciptaan. Selama proses kegiatan belajar mengajat, generasi haus ilmu agama. Sebab, mereka mendapatkan pelajaran agama sangat minim, itu pun sebatas transfer ilmu, tidak sampai ke tataran pemahaman. Sehingga, mereka semakin jauh dari pemahaman agama.

Selain pendidikan, negara juga gagal menciptakan lingkungan yang kondusif, aman, dan nyaman bagi generasi. Kriminal dan dekadensi moral terus menggerogoti generasi. Atmosfer lingkungan yang rusak dan merusak membuat mereka terpengaruh. Apalagi jikalau fondasi keimanan tidak kuat, jadilah ikut-ikutan menanggalkan ketaatan demi memenuhi gengsi dan sensasi.

Kondisi generasi yang berburu gengsi dan sensasis jelas akan membuat masa depan bangsa menjadi suram dan kelam. Generasi muda seharusnya memiliki power prima, baik fisik dan akalnya, dalam mengubah sebuah peradaban kelam menuju peradaban gemilang. Namun, mereka tak akan mampu lagi karena hal remeh seperti gengsi dan sensasi telah menyatu dalam jiwanya. Power prima yang mereka miliki teralihkan pada hal-hal unfaedah yang merusak dan membahayakan masa depan diri dan bangsanya.

Dampak Negatif saat Generasi Terlalu Mementingkan Gengsi dan Sensasi

Gengsi dan sensasi laksana bumerang bagi generasi. Keduanya tak akan pernah membawa generasi pada kemajuan berpikir untuk mengukir sebuah peradaban mulia. Gengsi dan sensasi, apalagi berlebih, justru akan membawa dampak buruk bagi generasi itu sendiri dan juga masa depan sebuah bangsa. Berikut dampak negatif saat generasi maniak memikirkan gengsi dan sensasi:

1. Membahayakan diri sendiri
Rasa gengsi dan sensasi yang menyelimuti kehidupan generasi kerap membuat mereka nekat berperilaku di luar nalar akal sehat. Mereka tak segan melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri bahkan tak berpikir sayang jika nyawanya melayang.

Tujuan hidup generasi yang bertabur gengsi dan sensasi tak jauh dari kebahagiaan semu, yakni banyaknya materi. Apa pun yang mereka lakukan untuk pengakuan eksistensi, mereka akan salah arah dalam aktualisasi diri. Arogan, semau gue, tak berpikir jernih, dan segudang keburukan lainnya menjadi ciri khas generasi yang hanya mementingkan gengsi dan sensasi. Sehingga, track record mereka semuanya merah. Dari semua sikap dan perilakunya itu, generasi membahayakan masa depannya sendiri. Bisa jadi, kepercayaan orang lain hilang pada mereka. Bisa pula orang lain tak care dengan mereka. Bahkan, hal paling fatal adalah mereka akan merusak diri mereka sendiri dan sampai menghilangkan nyawanya.

2. Membahayakan masa depan bangsa

Benarlah pernyataan Presiden Soekarno. Potensi pemuda bisa sampai mengguncang dunia. Di tangan generasi muda, nasib masa depan suatu bangsa berada. Apabila pemudanya hanya mementingkan gengsi dan sensasi, maka atmosfer kekuatan dan kedaulatan suatu bangsa mudah tergadai dan terbeli. Generasi muda adalah calon pemimpin di masa depan, sepuluh atau dua puluh tahun lagi, akan mereka lewati jika belum bersua ajal. Maka, di sanalah, mereka akan dituntut untuk menentukan arah sebuah peradaban.

Jika generasi muda saat ini sudah malas berpikir, bukan tidak mungkin nantinya akan mudah dijajah. Jika generasi muda saat ini hanya mementingkan sensasi dan rasa gengsi, akan berpeluang besar mereka menjual kehormatan dan kedaulatan bangsanya demi materi. Naudzubillah.

Jelas, gengsi dan sensasi tak akan membawa kebaikan sama sekali, apalagi keberkahan duniawi dan ukhwrowi. Maka, mewaspadai alarm terkait generasi yang penuh gengsi dan sensasi adalah hal krusial. Membenahinya pun teramat sangat krusial. Maka, siapa pun tak boleh menutup mata untuk menyelamatkan generasi dari kepentingan gengsi dan sensasi.

Strategi Jitu Meredam Gejolak Gengsi dan Sensasi Para Generasi

Apabila ditelaah lebih mendalam, sebuah tatanan kehidupan salah kaprah telah mendominasi saat ini. Pemisahan aturan agama dari kehidupan dan negara telah mengakar dalam tiap jiwa generasi. Maka, tak ada cara lain, sistem yang ada saat ini harus segera diganti dengan sistem yang baik, sistem yang berasal dari Dzat Yang Maha Baik, yakni Islam. Islam, melalui sistem pendidikannya, memiliki visi untuk menjadikan generasi berkepribadian Islam (bersyakhsiyah Islamiyah), yakni mereka berpola pikir dan sikap Islam.

Dengan landasan berpikir Islam, generasi akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka pun akan memahami mana tindakan yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Sehingga, mereka akan mengiringi sikap dan perilakunya sesuai dengan landasan berpikir islaminya.

Pembentukan kepribadian Islam ini dimulai sejak usia dini di rumah-rumah mereka. Setiap keluarga akan didorong oleh negara untuk mendidik dan membina putra-putrinya. Bahkan, negara akan memotivasi dan menyiapkan lapangan kerja bagi kepala keluarga (kaum adam) agar ibu bisa fokus mengasuh dan mendidik anak usia dini di rumah. Keluarga taat syariat bukan hanya jargon dalam sistem Islam, tetapi akan betul-betul dijaga dan direalisasikan oleh negara.

Sementara, di sekolah dasar, negara mengutamakan pemberian akidah Islam, hukum Islam, dan tsaqofah Islam. Harapannya, ketika mereka telah balig, mereka dapat menjalankan syariat Islam dengan baik dan penuh kesadaran. Sehingga, generasi tak akan sempat berpikir untuk mewujudkan eksistensi diri dengan aktualisasi gengsi dan sensasi.

Selain menerapkan sistem pendidikan Islam, negara juga akan menjaga lingkungan dengan membentuk lingkungan yang islami. Suasana keimanan yang kondusif akan dibentuk oleh negara di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sehingga, kontrol masyarakat juga akan berfungsi sebagaimana mestinya. Generasi pun tak akan ada peluang mementingkan gengsi dan sensasi.

Tak cukup sistem pendidikan dan menjaga suasana keimanan, negara juga akan memberikan hukuman yang layak sesuai hukum Islam. Sanksi dalam sistem Islam bersifat jawabir (menebus dosa pelaku) dan zawajir (mencegah bagi yang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama). Sehingga, generasi akan senantiasa terjaga dari melakukan kejahatan.

Islam mendorong negara untuk menjamin kebutuhan pokok komunal secara gratis. Kesehatan, pendidikan, dan keamanan yang murah bahkan gratis akan dirasakan oleh semua kalangan tanpa pandang bulu. Sehingga, generasi benar-benar terdidik dan terbina dalam lingkungan yang terjaga dan generasi berkepribadian Islam tanpa memperbesar sensasi dan gengsi juga akan terwujud.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi