Untung Rugi, Asas Kapitalisme yang Patut Dikritisi

Oleh. Yulweri Vovi Safitria
(Freelance Writer)

Berbisnis dengan rakyat! Kondisi ini nyata terasa ketika sejumlah harga pangan merangkat naik menjelang Ramadan, padahal sebelum lebaran saja, harga sejumlah kebutuhan pokok seperti beras sudah cukup mahal. Kini, harga tiket pesawat pun menyusul naik menjelang Lebaran datang. Tidak tanggung-tanggung, kenaikannya disebut-sebut hingga 300%. Namun, pemerintah menyebutkan bahwa kenaikan harga tiket pesawat dalam batas yang wajar (m.bisnis.com, 20/3/2024).

Meskipun kondisi masyarakat sudah kepayahan, tetapi negara seolah tidak memedulikan. Berbagai kebijakan terus bergulir, seperti wacana kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025 mendatang yang disebut sebagai program keberlanjutan pada pemerintahan yang baru. Walaupun baru wacana, tetapi hal ini sudah cukup meresahkan rakyat. Bagi kalangan atas, kenaikan pajak mungkin tidak menjadi persoalan, bagaimana dengan masyarakat kelas bawah?

Di sisi lain, berbagai penyelewengan dan penyalahgunaan dana negara terus bergulir. Sebut saja korupsi 271T yang melibatkan HM (cnbcindonesia.com, 30/4/2024). Sungguh, membuat sebagian masyarakat mengelus dada, padahal jika para pemangku kebijakan bertindak amanah, tentu seluruh masyarakat akan sejahtera, tanpa perlu dihantui oleh naiknya harga-harga, bahkan ‘terpaksa’ membayar pajak, walaupun untuk makan saja susah.

Motif Ekonomi Kapitalisme

Sudah menjadi watak kapitalisme yang selalu memanfaatkan berbagai momen untuk meraup cuan. Para kapitalis selalu punya cara untuk melanggengkan bisnisnya dan meraih keuntungan berlipat di tengah kebutuhan rakyat yang terus meningkat.

Ironisnya, negara seolah tidak punya power untuk membantu rakyatnya. Alih-alih membantu, mengurangi beban rakyat saja, negara seolah tidak mampu. Negara ibarat penonton di pinggir lapangan yang sedang menyaksikan rakyatnya bertarung di gelanggang.

Masyarakat pun seolah dipaksa menyelesaikan berbagai persoalan yang sejatinya bersumber dari aturan hidup yang diterapkan. Ya, sistem dan aturan hidup yang berasal dari akal manusia adalah biang masalah sehingga menimbulkan kesengsaraan dan malapetaka.

Terkait mahalnya sejumlah harga, ini seolah menunjukkan bahwa negara tidak serius dalam mengurusi rakyat. Jamak diketahui, ketika kebutuhan meningkat, maka harganya pun melonjak naik. Polanya selalu sama dan berulang, sejumlah barang akan hilang di pasaran, lalu ketika harga tinggi, maka barang tersebut kembali menjamur. Pertanyaanya, siapa yang mengendalikannya?

Inilah buah dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan asas untung rugi menjadi landasan dan bisnis menjadi acuan. Peran negara hanya sebatas pembuat aturan, sedangkan praktik di lapangan dilakukan oleh swasta sesuai dengan keinginan mereka. Layaknya sebuah bisnis, tentu ada keuntungan yang harus didapatkan.

Mirisnya, swasta atas restu pemerintah justru berbisnis dengan rakyat. Bagi negara, yang penting ada pemasukan, meskipun nilainya tidak seberapa, sekalipun hal itu menzalimi rakyat. Terlepas dari sanggup atau tidaknya rakyat untuk mendapatkan kebutuhan mereka, pebisnis tetaplah harus mendapatkan untung.

Begitulah aturan buatan manusia, akan selalu ada yang diuntungkan di setiap kebijakannya, tanpa peduli penderitaan rakyat. Entah sampai kapan negara mempertahankan sistem ekonomi kapitalisme yang selalu mementingkan untung rugi. Entah sampai kapan pula, pemerintah berbisnis dengan rakyat yang sejatinya adalah tanggung jawab negara untuk menyejahterakan mereka.

Sistem Ekonomi Islam

Sementara di dalam Islam, apa saja yang menjadi kebutuhan pokok rakyat, wajib dipenuhi oleh negara tanpa mempertimbangkan untung atau rugi. Ini karena negara tidak berbisnis dengan rakyat. Negara menyadari perannya sebagai al-riayatul suunil ummah yang bertanggung jawab menjalankan syariat dan mengurusi urusan rakyat

Negara juga menyadari bahwa rakyat adalah amanah bagi seorang pemimpin dan seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Untuk itu, negara tidak menyerahkan urusan rakyat kepada pihak swasta atau asing.

Dari Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Melalui penerapan sistem ekonomi Islam, negara tidak perlu mencari keuntungan di setiap pembiayaan yang menyangkut hajat hidup rakyat, apalagi memungut biaya dari rakyat. Sebab, negara memiliki sumber pemasukan tetap yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam (SDA) serta dari pemasukan lainnya, seperti kharaj, fa’i, jizyah, ghanimah.

Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, negara mampu mengendalikan ekonomi dalam negeri tanpa khawatir adanya dampak inflasi. Negara tidak lagi punya alasan dan membebani rakyat dengan sejumlah persoalan yang memberatkan sehingga masyarakat bisa fokus melakukan amar makruf nahi mungkar.

Melalui aturan Islam pula, negara mampu mewujudkan kesejahteraan sehingga dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Tidak ada lagi perhitungan untung rugi karena negara bukan berbisnis dengan rakyat, melainkan sebagai pelayan rakyat. Para kapitalis tidak pula punya tempat dan menghisap rakyat dengan berbagai aturan yang dibuat karena seluruh pengelolaan kebutuhan publik dikendalikan oleh negara, tanpa campur tangan pihak swasta atau asing.

Oleh karena itu, mengembalikan sistem Islam untuk mengatur seluruh kehidupan umat manusia adalah hal urgen yang harus diperjuangkan. Hanya dengan penerapan Islam secara kafah oleh negara yang mampu menyelamatkan umat dari asas rusak kapitalisme. Mari bersama berjuang agar Islam kembali berjaya dalam naungan Daulah Khilafah ala Minhajin an-Nubuwwah. Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi