Muhammad Ayyubi ( Direktur Mufakkirun Siyasiyyun Community )
Presiden Jokowi menyampaikan permohonan maafnya saat menghadiri acara Zikir dan Doa Kebangsaan menjelang HUT ke-79 RI di halaman Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (1/8/2024). Jokowi memohon maaf atas segala kesalahan dan khilaf.
” Di hari pertama bulan kemerdekaan, bulan Agustus. Dengan segenap kesungguhan dan kerendahan hati, izinkanlah saya dan Kiai Haji Ma’ruf Amin ingin memohon maaf yang sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama ini. Khususnya selama kami berdua menjalankan amanah sebagai Presiden Republik Indonesia dan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia,” kata Jokowi.
Permintaan maaf karena berbuat salah itu memang sewajarnya karena manusia itu tidak sempurna.
Mengakui kesalahan, pada satu sisi bisa dianggap sebagai jiwa ksatria. Perlu kerendahan hati untuk melakukannya.
Tetapi yang lebih penting dari itu adalah tidak mengulangi kesalahan yang sama di lain waktu.
Namun, jika kesalahan yang sama tetap dilakukan dan itu pub berkali kali maka itu tipuan bukan ketulusan.
Meminta maaf untuk sesuatu yang sengaja itu adalah bentuk penghinaan terhadap akal sehat.
Bagaimana bisa seseorang minta maaf untuk sesuatu yang sejak awal diketahui salah.
Bagi penulis, bukan tidak mau menerima permintaan maafnya, akan tetapi menormalisasi kesalahan yang sama dilakukan selama 10 tahun berkuasa bukankah itu adalah kebodohan ?
Permintaan maaf Jokowi tidak lebih dari retorika politik sebagaimana yang biasa dilakukan selama 10 tahun ini. Hal itu tidak lebih dari upaya menarik simpati publik.
Apa yang penulis sampaikan bukan apriori dan buruk sangka kepada Jokowi, tetapi kasimpulan yang diperoleh dari perjalanan pemerintahannya.
Bukankah selama ini apa yang dikatakannya selalu berlaku hukum terbalik?
Dia bilang ekonomi meroket, nyatanya ekonomi nyungsep. Dia bilang anak-anaknya tidak ada yang tertarik dengan politik, malah semua anak dan menantunya menjadi pejabat publik. Dia bilang tidak tertarik jadi presiden sewaktu masih gubernur Jakarta faktanya dia malah melaju menjadi presiden dua periode. Dia bilang rindu di demo kenyataannya dia malah pergi ketika di demo. Dia bilang tidak suka dengan BLT, malah dia yang mempolitisasi BLT untuk kepentimgan pemilu. DIa Bilang tidak impor, malah impor membabi buta di zaman pemerintahanya.
Terlalu banyak kebohongan yang di sampaikan. Bahkan majalah Tempo membuat majalah edisi khusus 18 dosa pemerintahan Jokowi (/majalah.tempo./laporan-khusus/172010/nawadosa-jokowi-dua-periode)
Maka, katika dia meminta maaf di akhir pemerintahannya, apakah masih kita percaya? Bagi saya tidak.
Last but not least, adalah kesalahan terbesar dia adalah sejak awal dengan menerapkan sekularisme untuk negeri ini. Sehingga krisia demi krisis melanda hingga saat ini. Mulai dari krisis ekonomi, politik, budaya, sosial dan moral.
Jika memang dia meminta maaf dengan tulus tinggalkan sekularisme dan bertobat dengan menerapkan syariat Islam di Indonesia. In sya Allah berkah.[]