Tragedi Kanjuruhan: antara Fanatisme dan Represif

Oleh. Wa Ode Selfin (Pegiat Literasi)

Tragedi Kanjuruhan menjadi bencana sepakbola terburuk kedua di dunia setelah sebelumnya terjadi di Estadio Nacional, Lima, Peru (1964) dengan tewasnya 300 orang lebih. Kerusuhan yang terjadi di stadion Kanjuruhan telah mengakibatkan ratusan orang meninggal dan luka-luka.

Sebagaimana dilansir dari Viva.co.id (02/10/2022) sebanyak 127 orang dinyatakan meninggal dunia oleh polisi usai laga Arema FC melawan Persebaya pada Sabtu, 1 Oktober 2022. Kepala Polisi Daerah Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta mengkonfirmasi bahwa 127 orang meninggal dunia 2 anggota Polri dan 125 dari Aremania. 34 meninggal di Stadion dan yang lain meninggal di rumah sakit saat perwatan. Selain itu, dilaporkan sebanyak 13 kendaraan rusak, 10 mobil merupakan kendaraan Dinas Polisi.

Diduga kuat, penyebab utama banyaknya korban jiwa akibat hujan gas air mata yang ditembakkan oleh aparat ke tengah stadion maupun tribun. Dilansir dari Cnnindonesia.com (02/10/2022), kepolisian membeberkan alasan menembakkan gas air mata ke arah suporter bahwa pertandingan sebenarnya berjalan lancar.

Namun, ketika laga berakhir, sejumlah pendukung Arema FC merasa kecewa. Beberapa di antaranya lantas turun ke lapangan untuk mencari pemain dan ofisial yang dinilai berujung pada tindakan anarkis dan membahayakan keselamatan. Atas dasar itulah, aparat menembakkan gas air mata demi meredam amukan massa. Penembakkan gas air mata secara membabi buta yang dilakukan oleh aparat keamanan ke arah lapangan, tribun hingga di luar lapangan yang menjadi penyebab banyaknya korban jiwa yang berjatuhan.

Sungguh, sebuah alasan klise yang semakin menambah deretan potret buruk perilaku aparat, bagaimana ketika nyawa manusia sungguh tiada berharga. Namun, kendati demikian, tetap tidaklah dibenarkan penggunaan senjata gas air mata yang dilakukan aparat keamanan, bahkan termasuk salah satu pelanggaran berat. Sebagaimana peraturan FIFA dalam pasa b bahwa dilarang penggunaan senjata gas air mata dalam stadion pertandingan. Gas air mata adalah bahan kimia berbahaya yang menyerang saluran pernapasan manusia. Lantas siapakah yang paling bertanggung jawab atas hilangnya ratusan nyawa manusia dalam Tragedi Kanjuruhan ini?

Akibat Fanatisme Golongan dan Represif Aparat

Kerusuhan yang terjadi di Kanjuruhan adalah potret buruk fanatisme golongan yang sudah berulang terjadi, dan kali ini adalah yang paling parah akibatnya. Fanatisme golongan telah mengeluarkan manusia dari fitrahnya. Sebuah Pertandingan yang sunatullahnya akan ada pihak yang kalah dan menang, sejatinya menjadi hal yang sensitif dalam pertandingan sepak bola. Fanatik antarsuporter terhadap klub dukungannya seringkali berujung pada perbuatan anarkis dan pengrusakan sejumlah fasilitas. Suporter klub yang kalah akan merasa harga dirinya terinjak-injak, apalagi jika pihak lawan adalah rival bebuyutan, sebagaimana yang terjadi antara Arema FC dan Persebaya yang menjadi rival sejak 23 tahun terakhir.

Miris memang. Pertandingan yang sejatinya bertujuan untuk mengasah bakat dan sklill nyatanya dalam pandangan hidup masyarakat kapitalisme menjadi ajang pertaruhan nama baik antar klub, yang berujung pada saling menjatuhkan, dan merendahkan. Fanatisme golongan (ashobiyah) jelas-jelas adalah sesuatu yang diharamkan di dalam Islam karena menjadikan satu golongan merasa lebih tingggi dari golongan yang lain, menjadikan munculnya sekat-sekat dalam kehidupan masyarakat terlebih masyarakat muslim itu sendiri.

Akibat fanatisme golongan ini tidak segan-segan sampai golongan yang satu mengilangkan nyawa golongan yang lainnya, padahal jelas ashobiyah atau fanatisme golongan adalah sesuatu yang diharamkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “… Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashobiyah’ maka dia mati jahiliyah.” (HR. Al-Baihaqi dari Abu Hurairah)

Sudah semestisnya fanatisme golongan (ashobiyah) diberantas sampai ke akar-akarnya agar tidak terjadi lagi kasus bentrok antar suporter. Pihak yang punya power untuk mengilangkannya adalah negara.

Di sisi lain, tragedi ini menunjukkan tindakan represif aparat dalam menangani kerusuhan yang terjadi. Hal ini tampak pada penggunaan gas air mata yang sejatinya dilarang penggunaannya dalam pertandingan sepak bola. Hal itu justru menambah krisis kepercayaan masyarakat terhadap aparat keamanan bahkan semakin menambah potret buruknya kinerja aparat dalam menangani kerusuhan. Aparat seharusnya tetap memprioritaskan keamanan masyarakat dalam prosedur pengamanan apatah lagi jika diantaranya ada anak-anak dan perempuan.

Dalam peraturan pasal b yang dikeluarkan oleh FIFA telah jelas dilarang penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengamanan dalam stadion, sebab tidak sama pengamanan suporter bola dengan pelaku demo. Maka, jelas perilaku aparat dalam mengamankan para suporter merupakan kesalahan fatal. Seanarkis apa pun perilaku para suporter, semestinya tetap memprioritaskan keamanan. Namun, menjadi tanda tanya bagi kita semua. Benarkah setingkat petugas aparat tidak tahu aturan FIFA tersebut? Dan siapa yang membekali para aparat dengan gas air mata?

Inilah gambaran aparat dalam sistem demokrasi. Penegasan rezim yang berkomitmen menegakkan HAM, justru dinodai perilaku rezim sendiri yang represif terhadap masyarakat. Berdalih menjaga keamanan masyarakat mereka justru mencabut hak hidup rakyat. Dalam sistem demokrasi, hak rakyat hanyalah untuk memilih. Selanjutnya, yang mereka pilih atas nama kekuasaan berhak membuat sebuah peraturan hingga bertindak represif atas rakyatnya. Sejatinya, tragedi Kanjuruhan ini tak akan terjadi ketika sistem kehidupan yang ditegakkan bukan berasal dari Alah Swt., melainan dari hawa nafsu manusia.

Pandangan Islam Terkait Olahraga

Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna yang mengatur seluruh bidang kehidupan manusia, mulai dari persoalan ibadah, sosial, ekonomi, pendidikan, politik, pun urusan olahraga diatur dalam Islam. Olahraga dalam Islam hukumnya adalah mubah; artinya boleh untuk dilakukan namun sangat dilarang jika sampai menimbulkan perpecahan bahkan sampai pada fanatisme buta. Oleh karena itu, persoalan olahraga dalam kepengurusan negara sangat diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi ha-hal yang bertentangan dengan syariat. Apalagi jika sampai menghilangkan nyawa. Sebab, nyawa manusia tidaklah sebanding dengan apa pun di dunia ini.

Begitu pun terkait tindakan aparat yang represif dalam menangani kerusuhan. Hal ini juga bertentangan dengan aturan Islam. Sebab, tugas aparat adalah melindungi bukan mencelakai. Dalam sistem Islam, tugas polisi masuk dalam departemen keamanan dalam negeri. Departemen Keamanan dalam Negeri adalah sebuah departemen yang dipimpin oleh kepala polisi. Tugasnya adalah menjaga keamanan dalam negara Islam.

Tugas aparat sebagaimana yang lumrah diketahui adalah memberikan keamanan. Oleh karenanya, segala tindakan kejahatan yang dimungkinkan terjadi harus dicegah dan diantisipasi. Pencegahan dan antisipasi hanya dengan penegakkan hukum Allah secara keseluruhan. Syariat Islam jika ditegakkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia dapat memberikan keberkahan bagi sebuah negeri, baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Dengan demikian, seorang pemimpin yang siap menegakkan hukum-hukum Allah secara keseluruhan dalam sistem kehidupan Islam sangat dibutuhkan. Karena, sejatinya syariat Islam menjadi solusi fundamental atas seluruh permasalahan kehidupan manusia.

Wallahu a’lam bissawab

Dibaca

 75 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi