Tragedi Depo Pertamina Terulang, Cermin Buruk Sistem Kapitalisme

Oleh: Maya Ernitasari
Aktivis Muslimah Dakwah Kota Medan

Tragedi kebakaran Depo Pertamina Plumpang, Rawa Badak Jakarta Utara, kembali memakan korban sedikitnya 17 orang meninggal dunia dan 50 orang mengalami luka berat. Musibah ini tentu saja menorehkan trauma dan kesedihan mendalam bagi para korban. (BBC.News,4/3).

Dikutip BBC.news- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan pihaknya telah memutuskan untuk merelokasi Depo Pertamina Plumpang ke lahan milik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang memakan waktu berkisar 2,5 tahun yaitu akhir tahun 2024. Jakarta (6/3).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta Menteri BUMN dan Gubernur DKI Jakarta segera mencari solusi atas kejadian di Plumpang, masa Presiden SBY, wakil Presiden yaitu tahun 2009 pernah mengusulkan pembuatan zona buffer (zona penyangga) 500 meter, sayangnya sampai detik ini belum juga terlaksana. Jakarta (4/3).

Dalam peristiwa ini, Badan penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, mencatat terdapat 1.085 jiwa mengungsi dibeberapa tempat. Polisi masih berupaya mencari warga yang diduga masih hilang, dan penggunaan alat berat jika kemungkinan tertimbun puing-puing dan reruntuhan. (5/3).

Tragis, musibah itu semestinya tidak akan terulang jika saja penataan tata kelola lingkungan yang dilakukan sudah sesuai dan tepat, namun disayangkan akibat acuh dan abainya negara pada keselamatan rakyat, petaka harus terulang kembali.

Lagi-lagi inilah realita sistem saat ini, mengesampingkan keselamatan rakyat demi segelintir orang. Seharusnya, sejak awal kepala negara melalui undang-undangnya menunjukkan tanggungjawabnya melindungi dan menjaga keselamatan rakyatnya.

Sistem kapitalisme dibangun atas asas kemanfaatan dan mengutamakan kepentingan pribadi, memenuhi kebutuhan dan kepuasan sekelompok orang, sudah pasti merugikan rakyat.

Fakta ini menunjukkan, tidak adanya ikatan keimanan dan ketakwaan yang menyetir seorang pemimpin, amanah dan tanggung jawabnya tidak berjalan sesuai dengan syariat Islam, karena kepemimpinannya tidak dipertanggungjawaban kepada sang Pencipta.

Berbeda dengan Islam, seorang pemimpin (Khalifah), memiliki tanggung jawab dan kepedulian yang tinggi, keselamatan rakyat adalah prioritas utama dalam kepemimpinannya.

Keimanan dan ketaatan kepada Allah Swt. adalah modal yang dijadikan pegangan dalam memimpin dan memilih seorang pemimpin, dengan demikian kita menyakini bahwa individu (pemimpin) tersebut tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya. Dalam syari’at juga diwajibkan bagi pemimpin untuk berlaku adil dalam menetapkan hukum. Sesuai dengan firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allâh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. a” (QS. an nisa 58-59).

Karena itu, sudah seharusnya kita kembali kepada hukum-hukum-Nya yakni, syariat Islam. Karena dengannya semua problematika kehidupan akan mampu terselesaikan dengan tepat dan benar, pun juga dalam urusan tata kelola lingkungan. Karena setiap pemimpin senantiasa terjaga ruh (hubungan dengan Allah), dalam aktivitas kepemimpinannya.

Wallahu a’lam bis shawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi