TOLERANSI BUKAN PARTISIPASI, APALAGI NEGASI SYARIAT ISLAM

Secangkir Kopi Hangat (SKH)

 

Oleh HM Ali Moeslim (Penulis dan Pembimbing Haji & Umroh)

Bismillahirrahmaanirrahiim
PERJALANAN sejarah Islam yang panjang, tidak ditemukan kasus penindasan yang dilakukan umat Muslim terhadap umat lainnya. Bahkan ketika umat Muslim berkuasa melalui sistem Kekhilafahan di dunia, tidak ada pemaksaan terhadap umat lainnya untuk memeluk Islam. Umat non-Muslim tetap dilindungi untuk melaksanakan aktivitas ibadah sesuai agama mereka.

Menarik apa yang dikatakan oleh Karen Armstrong: There was no tradition of religious persecution in the Islamic empire (Tidak ada tradisi persekusi agama dalam imperium [Khilafah] Islam).” (Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, McMillan London Limited, 1991, hlm. 44).

Akhir-akhir ini seperti-nya umat Islam “diminta” belajar lagi bertoleransi? Toleransi Islam terhadap umat non-Islam juga telah ditetapkan dalam syariah Islam secara rinci. Hal tersebut menjadi standar sikap kaum Muslim dalam kehidupannya yang terus terjaga dari dulu hingga kini.

Pada dasarnya Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan dan menghindarkan kezaliman. Islam melarang keras berbuat zalim dan melarang merampas hak-hak mereka yang di luar Islam. Allah SWT berfirman:

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٨

“Allah tiada melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS al-Mumtahanah [60]: 8).

Rasulullah saw. tegas menolak melakukan ‘toleransi’ dalam bentuk terlibat apalagi mengamalkan ajaran agama lain. Ketika masih di Makkah, ada beberapa tokoh kafir Quraisy menemui beliau. Mereka adalah Walid bin Mughirah, ‘Ash bin Wail, Aswad Ibnu al-Muthallib dan Umayah bin Khalaf. Mereka menawarkan toleransi, “Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (kaum Muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Jika ada sebagian ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. Sebaliknya, jika ada sebagian ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus amalkan.”

Seorang Muslim harus tegas menolak klaim Isa anak Tuhan dan tegas menolak kegiatan Natal Bersama. Ini sebagaimana dinyatakan dalam Fatwa MUI tahun 1981. Dalam fatwa itu disebutkan, Perayaan Natal di Indonesia, meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa, ia tidak dapat dipisahkan dari keyakinan bahwa Isa adalah anak Tuhan. Oleh karena itu, mengikuti upacara Natal bersama hukumnya haram.

Bagaimana jika mengucap Selamat Natal? Bukankah secara tersirat ada dalam al qur’an? Qur’an surat Maryam ayat 33 berbunyi;

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا

“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”

Ayat ini diklaim secara membabi-buta sebagai dalil kebolehan menyampaikan selamat natal? Menurut Ibn Katsir, dalam ayat itu, “Allah memberikan keselamatan kepada beliau (Nabi Isa) pada kondisi-kondisi tadi (dihidupkan, dimatikan, dibangkitkan) yang merupakan kondisi-kondisi paling sulit bagi para hamba”. Jadi, ayat ini bukan dalil untuk kebolehan mengucapkan Selamat Natal, karena ucapan selamat berarti ikut bergembira, senang dan mendukung atas “kemaksiatan, kemusyrikan dan kekufuran” yang mereka lakukan.

Sikap seorang Muslim kepada kaum Nasrani semestinya seperti Nabi, di mana ia tegas mengajak Nashrani, Yahudi untuk masuk Islam. Dalam hadis riwayat Imam Muslim ditegaskan tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang Nabi Muhammad, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran Nabi Muhammad, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka. Dalam hadits Riwayat Imam al-Bukhari disebutkan, Nabi mengirimkan surat, antara lain kepada Kaisar Heraklius, Raja Romawi, yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, agar masuk Islam.

Islam memberikan ketentuan yang sangat jelas tentang bagaimana toleransi terhadap orang kafir harus dilakukan, di antara batasan batasannya adalah;

Pertama: Toleransi dengan orang kafir tidak boleh mengurangi keyakinan Islam satu-satunya agama yang benar (yang lain salah) dan satu-satunya jalan keselamatan di Akhirat (yang lain tidak).

Kedua: Toleransi tidak boleh mengurangi keyakinan bahwa penerapan syariah secara kaffah akan memberikan rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Selain syariah justru akan menimbulkan fasad.

Ketiga: Toleransi tidak boleh mengurangi semangat dakwah mengajak mereka masuk Islam.

Keempat: Toleransi dilakukan dengan membiarkan mereka memeluk agama yang mereka yakini, melaksanakan ibadah mereka, tidak menghina Tuhan mereka, tidak merusak tempat ibadah mereka.

Kelima: Islam membolehkan bermuamalah dengan non-Muslim (jual-beli, sewa-menyewa, ajar mengajar dalam sainsdan teknologi), berbuat baik dan berlaku adil terhadap mereka. Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan QS al-Mumtahanah ayat 8, bahwa berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap pemeluk agama. Tidak boleh berlaku zalim terhadap non-Muslim.

Islam adalah agama yang amat toleran, memberikan kebebasan dalam pilihan agama. Juga perlindungan terhadap darah, harta dan kehormatan serta ibadah dan tempat ibadah non-Muslim. Namun, toleransi bukan partisipasi, juga bukan malah menegasikan agamanya sendiri dengan misalnya, menolak syariah diterapkan secara kaffah.

Wallahu a’lam bishawab

Bandung, 10 September 2024/ 6 Rabiul Awal 1446

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi