Thrifting Mengganggu Industri Tekstil Dalam Negeri?

Oleh : Yustina Yusuf

Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu menegaskan pelarangan aktivitas thrifting atau jual beli barang bekas impor, terutama pakaian. Penegasan ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Perdagangan dan Kepolisian dengan melakukan tindakan penyitaan dan pemusnahan barang dari para pedagang bahkan hingga mencapai 10 milyar rupiah. Sejumlah kementerian lain pun melakukan tindak lanjut untuk mengimplementasikan kebijakan pelarangan tersebut.

Narasi yang dibangun pemerintah adalah karena aktivitas thrifting barang impor, terutama karena pakaian
Atersebut dapat merugikan industri tekstil dalam negeri, berpotensi merugikan potensi pendapatan negara, dan lain sebagainya.

Lalu, benarkah faktanya seperti itu, jika tidak benar apa yang sebenarnya yang bisa ‘mengganggu’ industri tekstil dalam negeri?

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan salah satu industri yang berperan penting dalam menyerap tenaga kerja dan berkontribusi terhadap ekspor nonmigas. Industri TPT merupakan industri yang tidak bisa dianggap remeh mengingat kekuatannya dalam menyerap tenaga kerja. Sebagai informasi, pada masa pandemi Covid-19 kemarin, industri TPT menyerap tenaga kerja hingga 3,65 juta orang atau 19,5% dari total tenaga kerja industri manufaktur.

Saat pemerintah Indonesia menyepakati perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), pada Januari 2010 lalu, maka saat itulah ancaman terhadap industri ini dimulai.

Saat itu para pendukung ACFTA melihat pelaksanaan kesepakatan perdagangan itu akan bermakna besar bagi kepentingan geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan. Pertumbuhan perekonomian China yang relatif pesat waktu itu menjadikan Negara Tirai Bambu itu salah satu aktor politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan Indonesia dan ASEAN.

Sebaliknya, mereka yang berpendapat kritis terhadap kesepakatan perdagangan ini melihat potensi ambruknya industri domestik di Indonesia yang akan kesulitan menghadapi tantangan dari membanjirnya impor produk murah dari China. Sangat jelas, ACFTA akan mengancam industri manufaktur yang padat karya, semisal industri tekstil, garmen, alas kaki, serta automotif.

Riset Asosiasi Pertekstilan Indonesia pada tahun 2013 lalu mendata banyak pelaku pasar yang menilai perjanjian tersebut merugikan Indonesia karena hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar barang impor China lantaran pemerintah yang dinilai belum siap menyambut pasar bebas dan juga karena minimnya daya saing produk dalam negeri.

Banyak alasan, mengapa Indonesia menjadi incaran pasar bebas ASEAN, selain memiliki populasi sekitar 40% dari seluruh penduduk kawasan Asia Tenggara juga tingkat konsumsi masyarakatnya yang besar ditengah pertumbuhan ekonomi yang positif.

Alhasil, berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia, impor pakaian jadi dari China saat ini sudah menguasai 80 persen pasar di Indonesia.

Menanggapi pelarangan aktifitas thrifting ini, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menganggap yang akan mematikan produk lokal di Indonesia bukan impor baju bekas. Dia menjelaskan, ancaman impor baju bekas tidak sebesar pakaian yang masuk ke Indonesia dari China. Bhima menyebut nilai impor pakaian jadi dari Cina ke Indonesia lebih besar dibandingkan baju bekas. “Pada 2022 impor baju bekas nilainya Rp 4,2 miliar. Sementara nilai impor pakaian jadi dari Cina bisa Rp 6,2 triliun setahun,” ujar Bhima.

Bhima menuturkan, impor pakaian bekas sudah muncul sejak 1990 dan pelarangan sudah dilakukan sejak 2015. “Tapi industri tekstil baru terimbas parah justru dengan naiknya angka impor pakaian dari Cina,” tutur Bhima. Untuk itu, Bhima menilai terdapat korelasi meningkatnya penjualan baju impor dan alas kaki dari cina. Khususnya impor pakaian Cina di marketplace dengan menurunnya industri pakaian jadi lokal. ( http://wartaekonomi.co.id.23/3/2023)

Dari paparan fakta di atas, sungguh sangat jelas, apa yang sebenarnya mengganggu industri tekstil di Indonesia. Adalah suatu pemikiran yang dangkal ketika pemerintah menganggap bahwa aktifitas thrifting lah yang merugikan industri tekstil dalam negeri, apalagi ditindaklanjuti dengan penyitaan dan pemusnahan barang para pedagang.

Alhasil rakyat kecil juga yang menjadi korban, padahal mereka hanya pelaku di hilir. Siapa pelaku di hulunya atau siapa bandar besarnya dan apa hubungan mereka dengan kepabeanan dan aparat penegak hukum, seharusnya menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti.

Dari sini kita bisa melihat bahwasanya Indonesia telah gagal melindungi industri dalam negeri juga gagal dalam memenuhi kebutuhan sandang masyarakat. Alasan mengapa masyarakat lebih memilih aktifitas thrifting dari pada membeli produk lokal yang baru, bukan hanya sekedar gaya hidup, akan tetapi karena lebih murah dan berkualitas.

Diakui oleh konsumen, bahwa baju bekas yang mereka beli harganya jauh lebih murah hingga 4-5 kali dari produk lokal yang baru. Ditengah kesulitan hidup yang terus membebani, aktifitas thrifting mau tidak mau harus mereka pilih.

Pelarangan thrifting oleh pemerintah sejatinya bukanlah demi industri dalam negeri atau kepentingan pelaku UMKM akan tetapi untuk kepentingan pebisnis besar yang usahanya terganggu oleh aktifitas thrifting, dimana pebisnis besar ini adalah para pemilik modal yang hanya segelintir.

Beginilah faktanya negeri yang menerapkan sistem kapitalisme, hukum tak dibiarkan berpihak kepada rakyat kecil akan tetapi berpihak kepada para pemilik modal. Tak heran, karena para penguasa bisa mendapatkan jabatan karena dukungan modal mereka, alhasil, kebijakan seperti ini wajib dilakukan sebagai balas jasa.

Kebijakan Industri Dalam Islam

Tujuan luhur dalam bernegara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan tujuan luhur tersebut.

Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim. Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor.

Karena itu, sudah seharusnya seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian. Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik. Maka mengadakan perjanjian seperti ACFTA tentu tidak diperbolehkan.

InsyaAllah, dengan ini industri dalam negeri termasuk industri tekstil akan terlindungi sekaligus bisa menjamin kebutuhan pokok masyarakat termasuk kebutuhan sandangnya. Terlebih lagi sandang dalam Islam bukan hanya sekedar perhiasan akan tetapi berfungsi sebagai penutup aurat.

Wallahu a’lam bis shawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi