Terkoyak oleh Sistem Kehidupan yang Rusak: Gen Z Menjadi Generasi Emas atau Cemas?

Oleh. Afiyah Rasyad

“Sudah jatuh ketiban tangga pula,” peribahasa ini menggambarkan kondisi generasi Z yang babak belur. Betapa permasalahan demi permasalahan menyapa Gen Z. Masalah datang tak berkesudahan. Berbagai kabar tak sedap kerap datang dari kalangan Gen Z, mulai masalah akhlak hingga krisis jati diri, mulai masalah sepele hingga kriminal dan bunuh diri.

Kenakalan remaja seakan menjadi stempel paten yang menempel pada Gen Z. Belum lagi permasalahan lain semisal problem ekonomi dan pandangan politik yang menimpa mereka. Berbagai persoalan ini membelokkan bahkan melenyapkan potensi Gen Z. Mereka yang seharusnya menjadi agen perubahan justru menjadi generasi yang butu arah tujuan bahkan banyak di antara mereka yang menjadi agen kejahatan.

Angka kejahatan di kalangan generasi kian hari kian meningkat. Data Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan adanya peningkatan kejahatan anak mulai dari 2020 hingga 2023. Tercatat 2.000 anak berkonflik dengan hukum (ABH) per Agustus 2023. Sejumlah 1.467 anak di antaranya berstatus tahanan dan 526 anak lainnya menjalani hukuman sebagai narapidana (Kompas.com, 19/9/2024).

Selain anak berkonflik dengan hukum, kasus bunuh diri juga sangat marak. Mental illness terus membayangi kehidupan generasi. Kerapuhan mengelilingi kehidupan mereka dan melenyapkan keteguhan diri dalam menghadapi persoalan yang banyak. Bunuh diri seakan menjadi pilihan yang dipandang layak. Sebagaimana kasus beberapa waktu lalu yang terjadi di sebuah mall Bekasi. Identitas remaja yang diduga bunuh diri di area parkir Metropolitan Mall, Bekasi, Selasa (22/10/2024), hingga kini masih ditelusuri. Terlepas dari siapa sosoknya dan apa pun motifnya, insiden remaja bunuh diri ini memberikan gambaran adanya problem kerapuhan mental generasi muda (Kompas.id, 24/10/2024).

Betapa banyak generasi yang harus gigit jari karena mahalnya biaya pendidikan tinggi. Lepas itu, permasalahan tak jua berhenti, mereka harus berjibaku dengan lapangan kerja yang seringnya tak berpihak pada mereka. Pengangguran Gen Z menjadi masalah tersendiri di negeri ini. Sebagaimana dilansir Radar Jogja, angka pengangguran di kalangan Generasi Z (Gen Z) di Indonesia telah mencapai titik kritikal, yaitu sebanyak 9,9 juta orang (22/10/2024). Tumpang tindihnya persoalan ini membuat masa depan generasi, khususnya Gen Z koyak. Lantas, inikah yang dimaksud generasi emas? Justru fakta mengungkapkan lahirnya generasi cemas.

Faktor Penyebab Masa Depan Gen Z Koyak

“Tak ada asap jika tak ada api.” Tentu saja koyaknya masa depan Gen Z ada dalangnya. Persoalan demi persoalan yang begitu pelik dan mengantar pada hilang dan hancurnya masa depan generasi Z bukan semata karena kesalahan personal individunya. Mungkin saja itu kesalahan individu jika kasus yang dijumpai hanya satu atau dua orang saja. Namun faktanya, kasus demi kasus Gen Z di berbagai aspek kehidupan terus bermunculan bak jamur di musim hujan. Ada beberapa faktor yang bisa membuat masa depan generasi koyak, yakni:

Pertama, pola asuh orang tua. Tak dimungkiri, pola asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang fisik, akal, dan jiwa seorang anak. Apa bila pola asuh yang dilakukan orang tua tepat, kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan fisik yang kuat, akal yang sehat, dan jiwa yang selamat. Nahasnya saat ini, banyak orang tua yang “tak peduli” dengan tumbuh kembang ini. Mereka mencukupkan pemenuhan materi dan mengukur kebahagiaan dengan terpenuhinya materi tersebut. Bagi sebagian besar orang tua, pola asuh hanya nomor sekian.

Kerusakan pola pikir dan pola sikap anak justru dibentuk oleh orang tua yang memfasilitasi mereka dengan berbagai kemudahan dan membiarkan mereka tumbuh dengan pelayanan-pelayanan. Betapa banyak anak yang rapuh karena terbiasa dibantu orang tuanya sekalipun ia melakukan kesalahan. Betapa banyak generasi yang malas karena selalu dilayani dan difasilitasi pemenuhan hidupnya dari sisi materi. Kemandirian anak kerap tersembunyi di balik kerja keras orang tuanya.

Banyak juga Gen Z yang haus kasih sayang orang tuanya. Karena kesibukan orang tua, entah karena kerja full time atau budaya pegang HP saat berkumpul. Sehingga mereka mencari dengan hal-hal yang merusak di luar rumahnya. Ditambah jika orang tua tak mengenakan selendang takwa dalam mengasuh Gen Z, maka langkah kehidupan akan jauh dari tuntunan norma dan agama. Secara tidak langsung, pola asuh yang salah bisa membuat masa depan Gen Z koyak.

Kedua, lingkungan yang tidak kondusif. Betapa lingkungan hidup saat ini memiliki bibit racun yang bisa merusak pola pikir dan pola sikap Gen Z. Game, judi, zina, minol, narkoba, dan hal-hal maksiat lainnya menjadi wabah. Bukan lagi status siaga, tetapi lingkungan saat ini sudah berstatus awas atas kemaksiatan yang melanda. Karakter Gen Z kian porakperanda dengan lingkungan yang tak kondusif dan penuh racun maksiat. Bukan hanya di kota, di pedesaan pun mulai tak kondusif lingkungannya.

Masyarakat saat ini banyak yang individual, liberal, dan sekuler. Sehingga, budaya saling mengingatkan pada kebaikan dan kebenaran mulai hilang. Gen Z akhirnya bisa melakukan apa saja ke mana suka. Apalagi sekarang ada kesalahan berjemaah tentang memahami hakikat hidup di dunia. Gaya hidup masyarakat saat ini sangat dekat dan bahkan melekat dengan paradigma kapitalisme. Di mana hidup hura-hura lebih menggoda.

Ketiga, sistem kapitalisme yang rusak. Faktor pertama dan kedua memang bisa membuat masa anak koyak, tetapi sistem kehidupan rusak yang diadopsi negara bisa membuat masa depan seluruh Gen Z koyak. Betapa tidak, sistem kapitalisme memiliki asas yang jelas meniadakan peran agama dalam kehidupan bernegara. Sementara kebahagiaan dan kesuksesan hanya dipandang apabila seseorang itu memiliki materi (harta) melimpah, pekerjaan mapan, dan bisa plesir ke mana pun di dunia ini.

Standar dan gaya hidup kapitalisme yang diemban oleh negara jelas akan lebih cepat merusak masa depan Gen Z. Negara tampak tak peduli dengan pola tingkah Gen Z yang kian hari kian tak terkendali. Gen Z dibiarkan terpapar pornografi melalui tontonan dan tayangan sejak dini hanya dengan sentuhan layar megic dalam genggaman. Negara juga seakan mengamini kelakuan Gen Z dengan aturan liberalisme dalam pergaulan mereka.

Sistem pendidikan kapitalisme juga melenyapkan adab dalam kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran lebih terfokus pada pencapaian materi demi nilai akademik daripada pembinaan yang bisa membangkitkan keimanan dan membentuk karakter yang kokoh dan benar. Adapun sistem ekonomi kapitalisme menuntut setiap individu berdikari dalam urusan kebutuhan pokoknya, baik kebutuhan pokok personal (pangan, sandang, papan) maupun kebutuhan pokok komunal (pendidikan, kesehatan, dan keamanan). Hal itu jelas membuat kehidupan individu, termasuk Gen Z yang rapuh kian terimpit. Ditambah lapangan kerja yang sempit dengan gaji yang juga terbilang pelit.

Sistem sanksi kapitalisme cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Hukum seakan bisa dibeli dan dipermainkan apabila uang telah berbicara. Efek jera pada pelaku kejahatan tak begitu dirasakan. Alih-alih membuat pelaku kriminal kalangan Gen Z bertobat, justru kejahatan kian banyak yang melakukannya dan makin beragam jenisnya. Apalagi standar usia di bawah umur memberikan ruang bagi Gen Z untuk tidak mendapatkan hukuman meski ia sudah balig. Masih banyak cacat hukum lainnya yang ditegakkan.

Belum tatanan kehidupan sosial yang sudah rusak di antara Gen Z. Seluruh aspek kehidupan yang dipimpin oleh sistem kapitalisme meniscayakan lenyapnya peran negara dalam mengurusi rakyat, termasuk Gen Z. Rapuh dan cemasnya mereka seakan dipelihara dan dianggap sebagai urusan pribadi semata. Negara tak turun tangan dalam memelihara urusan rakyat, termasuk menyelamatkan jiwa-jiwa Gen Z yang sakit. Bagaimana dengan cita-cita membangun generasi emas?

Ketiga faktor ini adalah faktor krusial yang bisa membuat masa depan Gen Z koyak, terutama faktor ketiga. Kondisi ini tak akan pernah berakhir apabila negara masih setia menerapkan sistem kapitalisme yang rusak dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Dampak Negatif Apabila Masa Depan Gen Koyak

Musabab datang saat sebab dilakukan. Ketiga faktor yang membuat masa depan generasi koyak terus ditegakkan, maka hal itu bisa membawa dampak yang luar biasa jika tidak segera dihentikan. Masa depan Gen Z yang koyak bisa membawa berbagai dampak negatif dalam kehidupan, antara lain:

1. Kriminalitas atau kemaksiatan meningkat. Tentu saja Gen Z yang tak memiliki pendirian dan keimanan kokoh akan mudah mengambil jalan pintas untuk memenuhi hasrat kekayaan ataupun seksualnya. Kehidupan mereka akan menjadi neraka di dunia karena sangat dekat dengan kemaksiatan. Bully, judi, zina, riba, mencuri, merampok, hingga membunuh telah menyatu dengan kehidupan mereka. Walhasil, mereka akan terbiasa dengan kemaksiatan itu. Koyaknya masa depan Gen Z bisa menjadikan kehidupan mereka diliputi kejahatan dan kriminalitas, baik mereka sebagai pelaku ataupun korban. Sehingga, tak akan dijumpai kehidupan yang tenang dan aman.

2. Kemiskinan akan makin berkobar. Tatkala masa depan Gen Z koyak karena berbagai impitan kehidupan, termasuk lapangan kerja yang sulit ataupun karena pemalasnya mereka, bisa menambah deretan angka kemiskinan. Selama ini, banyak Gen Z yang ingin instan mendapatkan materi. Tak semata lapangan kerja yang sempit, budaya malas kerja dengan atmosfer tanggung jawab nafkah atas laki-laki hanya ditimpikan saat dia sudah menikah. Belum lagi Gen Z yang putus sekolah juga banyak dan sudah biasa menganggur sejak balig karena bertumpu pada orang tua. Meski banyak juga yang survive dan menggelandang karena tak diurus negara. Dengan demikian, angka kemiskinan kian berkobar-kobar.

3. Loss generation. Tak dimungkiri, banyaknya Gen Z yang mengidap mental illness hingga berujung bunuh diri dan juga Gen Z yang jadi korban ataupun pelaku kejahatan bisa mengantarkan mereka kehilangan populasinya. Krisis jati diri dan hilangnya pemahaman tentang hakikat hidup jelas akan membuat mereka mudah mengakhiri hidupnya sendiri dan bahkan mengakhiri hidup orang lain, terutama yang sebayanya saat terjadi konflik di antara mereka. Kehilangan satu generasi akan dijumpai jika masa depan Gen Z tak terselmatkan sama sekali.

Itulah beberapa dampak buruk saat masa depan Gen Z koyak. Hal itu tentu saja tak boleh dibiarkan berlarut. Negara sebagai pengambil kebijakan harus segera memutus rantai sistem kehidupan yang rusak agar masa depan Gen Z tak koyak.

Mekanisme Penyelesaian Persoalan Gen Z agar Masa Depan Mereka Tak Koyak

Kerusakan generasi sudah tampak jelas di hadapan mata. Bukan hanya seorang anak, tetapi mayoritas sudah terancam kerusakan dari sistem kapitalisme yang sudah rusak. Di mana sistem ini memiliki akidah sekularisme. Sekularisme adalah keyakinan dasar (akidah) yang memisahkan negara dan agama. Di negeri yang mayoritas muslim ini, agama (Islam) hanya sebatas urusan ritual ibadah/penyembahan kepada Tuhan. Syariat Islam tidak digunakan untuk mengatur tata kehidupan yang lebih luas, termasuk aspek pendidikan, ekonomi, hukum, kesehatan, dan lainnya.

Koyaknya masa depan generasi bisa diperbaiki dengan sistem yang baik. Sistem yang baik tentu berasal dari Zat Yang Maha Baik, yakni dengan adanya syariat Islam. Islam bukan sebatas agama ritual (ibadah mahdhoh) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi Islam juga sebuah ideologi yang mengatur dua dimensi ibadah lainnya (ghoiru mahdhoh) yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan orang lain.

Islam memiliki seperangkat aturan baku yang berasal dari wahyu. Generasi yang selamat, berkhidmat pada ilmu, dan memiliki kepribadian tangguh pernah dijumpai saat masa kejayaan Islam. Betapa banyak pemuda yang menjadi pejuang Islam sekaligus ilmuwan dan muntahid. Mereka sibuk dalam ketaatan sekaligus berkarya dalam hidup. Sedikit sekali bahkan hampir tak ada ruang bagi pemuda bermaksiat. Mental illness, pengangguran, ataupun pelaku kriminal dari kalangan pemuda sangat minim. Islam menjaga agama, akal, darah, dan jiwa mereka.

Sungguh, syariat Islam mewajibkan negara menegakkan sistem pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam memiliki karakteristik yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariat Islam. Tujuan utamanya adalah membentuk kepribadian Islam (pola pikir dan pola sikap) pada peserta didik. Sistem pendidikan Islam diawali dan dikawal oleh teladan umat manusia, Rasulullah saw. Beliau mengajarkan hukum-hukum Islam kepada seluruh muslim, baik anak-anak, remaja, dewasa, maupun lansia. Beliau dan para sahabat tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Islam mendidik setiap generasi dan angkatan. Rasulullah saw. dan para sahabat mengislamkan hampir semua kalangan, mengajarkan Al-Qur’an dan Sunah kepada segenap lapisan masyarakat. Sehingga terlahir generasi berilmu yang cerdas dan saleh.

Islam tak pernah mendikotomi ilmu pengetahuan umum. Rasulullah mengizinkan dua sahabatnya belajar membuat senjata perang hingga ke Yaman. Beliau juga menyerahkan urusan penyerbukan pada ahlinya. Beliau juga memotivasi kaum muslim untuk mengembangkan teknik pembuatan busur panah dan tombak.

Rasulullah pun menganjurkan para wanita saat itu untuk mempelajari ilmu tenun, menulis, dan merawat orang-orang sakit (pengobatan). Beliau juga memerintahkan para orang tua agar mengajarkan kepada anak-anak mereka olahraga memanah, berenang, dan menunggang kuda. Beliau pun memahamkan para orang tua bahwa pendidikan dan pengasuhan wajib ditegakkan sejak di rumah, terutama oleh ibu. Dari sistem pendidikan Islam yang dipelopori oleh Rasulullah saw. inilah kelak lahir generasi emas yang berkualitas, baik dari sisi intelektualitas maupun spiritualitas.

Adapun sistem ekonomi Islam akan mewujudkan kesejahteraan masyarakat, termasuk generasi. Islam mewajibkan negara untuk memelihara urusan seluruh individu rakyatnya. Negara akan menjamin semua laki-laki bekerja sebab kewajiban nafkah ada pada kaum laki-laki. Dari sini, negara akan berupaya untuk membuka lebar lapangan pekerjaan. Negara dalam Islam tidak mengandalkan perusahaan swasta dalam penyediaan lapangan kerja. Ini karena regulasi kepemilikan dalam Islam mengharamkan kepemilikan umum seperti SDA dikuasai swasta apalagi asing. Sebaliknya, syariat Islam memosisikan negara sebagai pengelola SDA. Kemandirian pengelolaan ini akan membuka lapangan pekerjaan yang luas karena eksplorasi dan eksploitasi SDA membutuhkan banyak SDM.

Pembagian zakat dan santunan oleh negara kepada delapan ashnaf ataupun rakyat yang membutuhkan juga ada dalam tatanan sistem ekonomi Islam. Bahkan pemenuhan kebutuhan pokok personal secara langsung akan diberikan negara apabila dalam keluarga tersebut tak ada seorang pun yang bisa menafkahi. Sementara kesehatan, pendidikan, dan keamanan akan dijamin oleh negara atas seluruh individu rakyat di seluruh penjuru negeri.

Islam juga telah menetapkan sistem sanksi yang tegas, adil, dan menjerakan. Setiap sanksi dalam Islam telah diatur sedemikian rupa. Tujuannya untuk mencegah manusia, termasuk generasi Z dari berbagai tindak kejahatan atau kemaksiatan. Sanksi dalam Islam juga berfungsi sebagai penebus dosa pelakunya di hadapan Allah Swt. Setiap sanksi yang ditetapkan mengharuskan adanya seorang khalifah dalam institusi negara (Khilafah). Dengan sistem Islam, masa depan generasi tak akan mudah koyak sehingga terbentuk generasi emas yang siap membangun peradaban mulia.

Penutup

“Jauh panggang dari api” cita-cita mewujudkan generasi emas seakan hanya menjadi ilusi karena terkoyak oleh sistem yang rusak. Masa Depan Gen Z pun terkoyak. Tak dimungkiri, berbagai persoalan yang terjadi di dunia ini karena kesalahan paradigma dalam menerapkan aturan dalam seluruh aspek kehidupan, yakni sistem kapitalisme. Maka dari itu, kaum muslim harus bangun dari tidur panjangnya agar tak kehilangan satu generasi pun. Kaum muslim harus bersatu berjuang mengembalikan kehidupan Islam. Wallahualam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi