Oleh: Rezkina Hari Pradana
“Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”
Begitulah sepenggal lirik lagu milik grup musik legendaris Indonesia yang menggambarkan betapa suburnya Indonesia hingga menyebutnya sebagai tanah surga. Indonesia yang terkenal memiliki Sumber Daya Alam yang subur dan melimpah serta laut yang terhampar luas yang menghasilkan berbagai jenis pangan, kini justru mengalami kenaikan harga pangan yang kian hari kian meroket. Berdasarkan panel harga pangan oleh Badan pangan Nasional (Bapanas) per jum’at 1 Desember 2023 tercatat harga beras premium naik menjadi Rp15.030 per kilogram, beras medium naik menjadi Rp13.200 per kilogram. Bawang putih naik menjadi Rp. 35.780 per kilogram. Bawang merah naik menjadi Rp29.420 per kilogram. Daging sapi naik menjadi Rp135.340 per kilogram. Cabai merah keriting naik menjadi Rp66.730 per kilogram. Sedangkan cabai rawit merah terpantau turun meskipun harganya masih tinggi di angka Rp83.060 (viva.co.id, 1/12/2023).
Kenaikan pada harga pangan tentu mempunyai dampak, dan lagi-lagi rakyatlah yang menjadi pihak terdampaknya. Rakyat harus mengencangkan ikat pinggang demi memenuhi kebutuhan pangan sehari hari di tengan kondisi ekonomi yang kian hari kian sulit. Mahalnya harga pangan yang mayoritas terjadi pada kebutuhan pokok masyarakat, yang notabene adalah kebutuhan primer, menunjukkan bahwa negara belum berhasil menjamin kebutuhan pangan murah bagi rakyatnya. Sudah seharusnya negara melakukan berbagai upaya antisipasi kenaikan harga yang kerap terjadi setiap tahunnya. Artinya kenaikan harga sebenarnya bisa diprediksi dan diantisipasi.
Namun, hal ini akan sulit terwujud ketika negara hanya sebagai pengatur kebijakan bukan sebagai pengurus rakyat. Negara yang berlepas tangan dari mengurusi ummat. Implementasi semacam ini merupakan potret negara kapitalis. Sistem ini memposisikan negara hanya sebagai regulator atau pengatur ekonomi bukan pengurus rakyat sehingga meniscayakan negara berada di bawah kendali para pemilik modal. Jika demikian maka orientasinya tentu adalah keuntungan semata, tidak memperhatikan apakah ada rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan atau tidak. Karena prinsip kapitalisme ialah memberi batas pada gerak negara tetapi memberikan ruang yang bebas pada para pemilik modal dalam menguasai segala bidang termasuk menguasai bahan pangan.
Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika penantian rakyat pada terwujudnya harga pangan yang murah bak mimpi di siang bolong selama masih berada di bawah naungan sistem yang bercorak kapitalisme. Sistem yang menghasilkan pengaturan dan penguasaan yang abai pada nasib rakyatnya. Negara yang berlimpah sumber daya alam ini justru menjadikan rakyatnya tidak sejahtera, pasalnya negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa ini seharusnya mampu mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan dengan berbagai cara sehingga rakyatnya selalu terpenuhi kebutuhan akan bahan pangannya dengan mudah dan murah justru sebaliknya rakyat kian hari kian gigit jari dengan kenaikan harga yang kian hari kian tinggi. Rakyat hanya bisa pasrah menerima kenaikan harga pangan yang terus menerus tak terkendali, setiap tahunnya terus terjadi dan yang menjadi kebiasaan dalam kenaikan harga pangan adalah sulit mengalami penurunan ke harga awal. Ini menunjukkan abainya penguasa kapitalis.
Jauh berbeda dengan sistem yang berasal dari sang pencipta dan pengatur kehidupan yaitu sistem Islam. Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in atau penanggung jawab dan junnah atau pelindung yang wajib mengurus rakyat dalam memenuhi kebutuhannya. Fungsi yang mulia ini hanya ada pada sistem pemerintahan Islam. Negara harus melakukan segenap upaya dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Sistem Islam meniscayakan kedua fungsi tersebut (sebagai raa’in dan junnah) berjalan secara optimal.
Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim)
Hadis yang lainnya, “Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim)
Dari hadis di atas, pemimpin atau penguasa merupakan pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan umat, tak terkecuali kebutuhan pangan. Seorang pemimpin dalam Islam akan melakukan segenap upaya secara maksimal sebagai bentuk tanggung jawabnya pengurus dan pelindung umat. Pemimpin Islam sadar akan hubungannya dengan Allah. Jika tanggung jawabnya tidak dilakukan berarti telah berbuat zalim terhadap rakyatnya.
Atas sandaran itu, peran negara yang sungguh-sungguh dalam meri’ayah atau mengurus rakyatnya. Tidak mustahil kenaikan harga pangan dapat diatasi bahkan dicegah. Gambaran ideal di atas hanya bisa dirasakan dalam sistem yang sempurna dan paripurna yaitu sistem Islam.