Oleh. Sri Wahyuni
(Ibu Peduli Negeri)
UNHCR mencatat sebanyak 152 imigran Rohingya yang terdiri dari 20 anak-anak 62 perempuan dan 70 laki-laki berlabuh di pesisir Deli Serdang Sumatera Utara. Mereka akhirnya bisa berlabuh setelah sebelumnya sempat ditolak oleh masyarakat setempat. Sebelum tiba di Deli Serdang, mereka berlayar selama 17 hari dari camp pengungsian di Bangladesh.
Para imigran ini memasuki perairan Aceh Selatan pada Jumat, 18 Oktober 2024 dan diketahui oleh nelayan setempat setelah penemuan mayat perempuan di sekitar pelabuhan Labuhan Haji pada Kamis, 17 Oktober 2024. Meski tidak diizinkan mendarat, kebutuhan logistik seperti makanan tetap disalurkan kepada para pengungsi yang tetap berada di atas kapal (24/10).
Nasib muslim Rohingya hingga saat ini belum ada kepastian karena diusir dari tempat tinggal mereka hingga mereka harus terombang-ambing di lautan. Di lautan, mereka makan dan minum seadanya. Ketika berusaha mendarat mereka justru mendapatkan penolakan, tak sedikit narasi-narasi kebencian ditujukan kepada mereka. Mirisnya, dunia yang telah menyaksikan penderitaan muslim Rohingya justru diam seribu bahasa tak terkecuali pemimpin negeri muslim.
Kondisi muslim Rohingya tenggelam oleh pemberitaan Gaza dan hiruk-pikuk pemerintahan baru. Indonesia sendiri disebut memiliki tanggung jawab untuk menampung para pengungsi termasuk pengungsi ber etnis Rohingya yang belakangan ramai datang ke wilayah Aceh. Indonesia sebagai negara sudah memiliki banyak aturan terkait perlindungan hak asasi manusia atau HAM.
Sesungguhnya, persoalan Rohingya adalah persoalan umat Islam. Namun, mereka menganggap persoalan muslim Rohingya adalah persoalan negara lain. Alhasil, setiap wilayah negeri-negeri muslim merasa tidak bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada muslim Rohingya, sungguh sikap seperti ini tidak pernah diajarkan Islam.
Hubungan antara satu muslim dengan muslim lainnya adalah hubungan saudara. Seorang saudara tentu tidak akan membiarkan saudaranya mengalami keterpurukan. Islam juga mengibaratkan kaum muslim sebagai satu tubuh, jika salah satu anggotanya merasakan sakit, seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.
Penerapan sistem kapitalisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan justru membawa petaka bagi kehidupan umat Islam. Penjajahan fisik maupun nonfisik tak terhindarkan. Negara-negara Barat memang mengusung HAM. Terkhusus Amerika Serikat memosisikan diri sebagai polisi dunia.
Hukum-hukum internasional yang lahir dari sistem kapitalisme sama sekali tidak memberi harapan akan kebaikan umat Islam. Bahkan, meski sudah ada konvensi tentang penanganan pengungsi, persoalan pengungsi Rohingya tidak juga terselesaikan.
Dahulu tidak ada seorang muslim pun yang dibiarkan oleh khalifah terancam keselamatannya, bahkan khalifah siap mengerahkan pasukan jihad hanya untuk melindungi satu jiwa warganya atau melindungi kehormatan seorang wanita. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan saudara muslim Rohingya hingga muslim di negeri-negeri lainnya seperti muslim Palestina dan Uighur kecuali umat Islam memiliki institusi yang menyatukan dan memberikan perlindungan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh imam atau khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya.” (HR Muslim)
Kembalinya negara Islam yakni Khilafah sungguh untuk menyatukan umat Islam di bawah penerapan aturan Islam kaffah. Pada saat itu, khalifah sebagai pemimpin umat Islam akan menjalankan perannya sebagai perisai. Khilafah akan membela dan melindungi hak kaum muslim Rohingya dan muslim lainnya yang tertindas.
Sebagai negara super power dengan kekuatan dan pengaruh politiknya, Khilafah akan memberikan sanksi tegas kepada rezim Myanmar yang sudah menganiaya kaum muslim Rohingya. Khilafah akan mengirimkan pasukan untuk membebaskan kaum muslim dari kezaliman rezim Myanmar. Semua ini dilakukan untuk mewujudkan jaminan atas nyawa, harta, dan kehormatan kaum muslimin. Inilah Khilafah yang dibutuhkan oleh umat Islam hari ini.