Sistem Kapitalisme Suburkan Penyelewengan Kekuasaan

Oleh: Maya Ernitasari
(Aktivis Muslimah Dakwah Kota Medan)

Terkuaknya rentetan kasus tindakan korupsi yang terjadi kepada mantan Ditjen Pajak Rafael Alun Sambodo, tentu saja telah menyingkap potret busuk pada lembaga perpajakan tanah air. Dan menambah deret panjang kasus penyelewengan kekuasaan.

Tentu saja hal ini bukan menjadi hal yang mengherankan, mengingat sistem ekonomi kapitalis memang memberi peluang terjadinya tabiat korup kepada pemimpin, di berbagai instansi.

Dikutip SindoNews.com- Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan adanya dugaan pencucian uang (money lounderer) yang bernilai fantastis milik mantan Ditjen Pajak Rafael Alun Sambodo bernilai 56,10 Miliar yang melibatkan pihak profesional, PPATK juga telah memblokir rekening konsultan pajak yang terduga sebagai pihak profesional. (Jakarta 3/3).

Kasus ini tentu saja menambah rentetan panjang tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh lembaga perpajakan. Apalagi sanksi hukuman yang cenderung tumpul bagi para penguasa menjadikan tindakan korupsi makin menjadi.

Sistem ekonomi kapitalis, khususnya pada lembaga perpajakan secara tidak langsung telah menyuburkan praktik korupsi, tak heran geliat manuver instansi perpajakanpun kian masif.

Negara dengan sistem ekonomi kapitalis sekuler menjadikan kewajiban taat pajak bagi seluruh rakyatnya, dimana rakyat akan dibebankan untuk memikul tanggung jawab perekonomian negara, fenomena ini telah membuat kesengsaraan bagi rakyat.

Akidah sekularisme yang diusung oleh penguasa kapitalis ini telah jelas menerapkan aturan yang ‘dipaksakan’ bagi rakyatnya, dimana rakyat harus tunduk dan patuh pada aturan yang berlaku.

Tolak ukur perbuatan yang tidak berlandaskan kepada pahala dan dosa, telah tertancap kuat pada sistem ini, hingga wajar jika sifat tak bermoral menjadi suatu keniscayaan pada individu pemimpinnya bahkan rakyat.

Ironisnya, kekuasaan penguasa kapitalis menjadi corong bahkan regulator bagi para koruptor guna memuluskan seluruh aksi buruknya, hingga tak heran maraknya praktik korupsi bak parasit tersebar diseluruh lembaga pemerintahan sistem ini.

Sangat berbeda dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), dimana seluruh tatanan penerapan aturan harus sesuai dengan akidah dan syariah Islam, mulai dari aspek ibadah hingga aspek pemerintahan (muamalah).

Negara dengan sistem Khilafah, hanya mewajibkan pajak bila situasi darurat yang terjadi dalam negara, dimana kas negara (baitul mal) mengalami darurat keuangan atau kosong dan pajakpun hanya dibebankan pada kaum muslimin yang memiliki sisa kelebihan harta yaitu setelah tercukupi kebutuhan diri dan keluarganya.

Islam memiliki kekhasan dalam menangani kasus korupsi, dengan pembuktian terbalik. Setiap pemimpin juga diwajibkan untuk menanamkan konsep kesederhanaan dalam hidupnya.

Pemimpin Islam (Khalifah) adalah seorang yang senantiasa terikat dan mengikatkan dirinya hanya tunduk dan patuh kepada Allah Swt. selalu amanah dalam menjalankan kepemimpinanannya, karena akidah dan syariah Islam adalah pondasinya. Sebagaimana termaktub dalam firman-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”(Qs. Al-Anfal 27).

Amanah, jujur dan bertanggung jawab adalah sifat yang harus senantiasa dipegang teguh seorang pemimpin, karena dengan kepemimpinan seperti itulah kesejahteraan dan Kemakmuran rakyatnya akan terwujud, serta terjaganya suasananya keimanan rakyat.

Pemimpin yang amanah menyadari betul bahwa seluruh tanggung jawab dan kewajibannya dalam mengurusi segala kepentingan umatnya akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.

Wallahu a’lam bis shawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi