Sistem Ekonomi Islam, Bebas Serangan Siber

Oleh. Arsanti Rachmayanti
(Pegiat Literasi)

Beberapa waktu lalu, jaringan Bank Syariah Indonesia (BSI) mengalami error. Error tersebut cukup lama, publik terutama nasabah BSI se-Indonesia menjadi ramai dan heboh akibat tidak bisa diaksesnya sistem perbankan BSI. Mulai dari internet banking, M-Banking, hingga layanan ATM BSI. Akibatnya, banyak nasabah yang tidak bisa melakukan transaksi berhari-hari. Bisa dibayangkan betapa banyak nasabah yang dirugikan dengan kejadian ini.

Dengan errornya sistem digital BSI ini, nasabah tidak mendapatkan pernyataan resmi dari pihak BSI. Beberapa hari kemudian baru ada informasi perihal errornya sistem digital BSI ini, tepatnya dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir.

Erick Tohir menyampaikan bahwa penyebab gangguan layanan tersebut adalah akibat serangan siber. Meski begitu, Erick tidak bersedia mengungkapkan jenis serangan yang menyebabkan layanan BSI trouble. Erick mengaku terus memantau perkembangan terkait gangguan layanan BSI. Ia juga mengatakan, Direktur Utama BSI, Hery Gunardi sudah turun tangan langsung untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Namun demikian, dalam pernyataaan di akun Instagram resminya @banksyariahindonesia pada Selasa (9/5/2023), manajemen BSI menjelaskan bahwa error terjadi karena BSI tengah melakukan perawatan (maintenance) sistem. BSI pun meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi karena nasabah tidak bisa melakukan transaksi keuangan.

Atas hal ini, Pengamat Perbankan, Doddy Ariefianto meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ikut melakukan investigasi merespons kendala yang dialami sistem BSI. Mengingat ada dugaan kebocoran 15 juta data nasabah BSI. Doddy menyebut, investigasi ini perlu dilakukan OJK sebagai lembaga pengawas sekaligus independen. Tujuannya, mencari akar masalah kendala BSI, apakah terjadi kendala internal, atau ada serangan siber.

Menurutnya, kejadian ini bisa menjadi satu citra buruk bagi perbankan di Indonesia. Apalagi, kejadian dugaan serangan siber terjadi ke bank besar sekelas BSI. “Harus, wajib harus banget. Karena kalau bank segede gitu, bisa digituin, gimana saya bisa percaya sama BCA, BRI, Bank Mandiri?” ujarnya.

Pengamat teknologi dari ICT Institute, Heru Sutadi pun menjelaskan, apa yang terjadi di BSI sangat mungkin menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat dalam sistem perbankan. “Sehingga memang OJK, Bank Indonesia, termasuk juga BSSN, Kominfo harus gercep (gerak cepat) untuk menangani masalah ini guna proses transformasi digital yang kita lakukan,” jelasnya (Liputan6.com, 13/5/2023).

Pandangan Islam

Dengan peristiwa ini, membuat kepercayaan masyarakat terhadap bank pelat merah berlabel syariah bisa menurun. Padahal saat ini identitas Indonesia sebagai salah satu basis ekonomi syariah dunia tengah di gencarkan oleh pemerintah.

Memang, keberadaan layanan ekonomi digital, sebagaimana juga terdapat di sistem ekonomi kapitalisme saat ini, adalah wujud teknologi yang boleh kita ambil. Namun, ketika kapitalisme menggunakan teknologi itu sebagai mesin pengungkit roda ekonominya, kita harus jeli mencermati titik-titik yang masih boleh kita ambil sebagai konsekuensi keterikatan kita terhadap hukum syarak karena kita adalah muslim.

Keharaman riba sebagai fasilitas bank saat ini, tidak layak kita perdebatkan. Riba tidak boleh diambil. Terlebih karena demi motif promosi atau pemasaran (marketing) bank, istilah riba saat ini makin banyak jenisnya, padahal tetap saja hakikatnya riba.

Jika kita memang harus memiliki rekening di bank karena meyakini kebolehan teknologi keuangan tadi, hendaklah kita memilih jenis rekening yang tidak ada ribanya atau 0 persen bunga. Ini adalah upaya parsial yang bisa menjadi alternatif saat ini.

Namun demikian, solusi bagi sistem ekonomi saat ini tentu saja harus sistemis. Kita tidak bisa menggunakan sistem ekonomi berlabel syariah, tetapi tubuhnya tetap ekonomi pasar bebas, darahnya tetap uang kertas, jantungnya tetap lembaga perbankan dan pasar modal, serta pompa jantungnya adalah suku bunga. Kita butuh sistem yang lebih baik yaitu sistem ekonomi Islam.

Sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya solusi sekaligus motor penggerak untuk mengganti sistem ekonomi kapitalis. Islam tidak antiteknologi keuangan beserta digitalisasinya. Namun, ketika teknologi digunakan untuk menggerakkan ekonomi kapitalisme, kaum muslim layak kritis dan tidak begitu saja menerima realitas sistem ekonomi yang ada.

Sistem ekonomi Islam jelas hanya memberi ruang bagi terjadinya pertumbuhan ekonomi riil mengikuti syariat Islam kaffah, bukan yang parsial sebagaimana kamuflase bank berlabel “syariah”, tetapi nyatanya tetap bernaung di bawah sistem ekonomi kapitalis.

Andai kata sistem ekonomi Islam meniscayakan penggunaan teknologi digital, penyelenggaraannya tentu akan profesional dan tidak mudah jatuh akibat serangan siber. Sistem ekonomi Islam akan memastikan penyelenggaraan teknologi keuangan tersebut sesuai dengan pilar-pilar politik pengurusan urusan umat dengan amal-amal terbaik.

Tidak heran masyarakat semakin merindukan kembali tegaknya sistem ekonomi Islam di bawah naungan sistem pemerintahan Islam. Semoga saja sistem pemerintahan Islam segera terwujud.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi