Siapkah Negara Menghadapi Varian Baru Covid -19

By: Sarie Rahman

Idulfitri, momen yang ditunggu umat Islam Indonesia untuk berkumpul dengan sanak saudara. Tradisi pulang kampung dan berlebaran bersama keluarga, merekatkan kembali ukhwah yang sempat merenggang sembari meluapkan rindu setelah sekian purnama tak dapat menikmati kebersamaan karena terhalang pandemi covid-19.

Namun, masyarakat tak menyadari, ternyata covid-19 masih mengintai di tengah gempitanya perayaan hari raya. Masyarakat masih berada dalam ancaman serangan covid-19, siapkah negara menghadapi serangan wabah kali ini?

Covid varian baru ini dilaporkan WHO di laman resminya bernama Acturust XBB.1.16, ditengarai menjadi varian of interest. Varian yang diambil dari nama bintang terterang di bagian Utara bumi ini awalnya terdeteksi di India pada 23 Januari 2023. Dan dilaporkan sebagai pemicu meningkatnya kasus covid di 29 negara.

Adapun keterangan dari seorang peneliti dan dokter spesialis penyakit dalam subspesialisasi hematologi onkologi medik Zubairi Djoerban, melalui akun Twitternya menyatakan bahwa varian ini lebih menular dibanding varian sebelumnya Omicron, tetapi tidak lebih mematikan dibanding varian Delta. Meski kasus baru mengalami penurunan dari 1242 menjadi 1145, namun berdasar data yang ada angka kematian mengalami peningkatan dari 12 menjadi 13 kasus, sedangkan kasus aktif juga meningkat dari 10.448 menjadi 10.881 kasus. Pasien yang dirawat pun bertambah dari 1.573 menjadi 1.617 orang selama tujuh hari terakhir. Karenanya Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengimbau warga masyarakat untuk kembali mengenakan masker terlebih bagi yang sakit, menghindari kerumunan dan keramaian serta menjaga jarak.

Kendati demikian, keseriusan negara menanggapi kondisi ini masih dipertanyakan. Terbukti kebijakan pemerintah yang melonggarkan aktivitas masyarakat, termasuk rutinitas lebaran tetap berjalan seperti biasa. Walhasil, sekalipun berita merebaknya varian baru covid-19 mencuat di berbagai media, masyarakat tak menanggapinya sebagai hal yang serius. Bahkan, tak sedikit yang menganggap covid-19 mutlak sudah berakhir.

Masih lekat dalam ingatan bagaimana covid-19 telah merenggut banyak nyawa masyarakat bahkan tenaga-tenaga kesehatan terbaik turut menjadi korban keganasannya, dan sungguh kondisi saat itu menyisakan duka serta trauma mendalam bagi kita semua. Akibat lambatnya pemerintah mengambil kebijakan. Haruskah badai pandemi varian baru covid-19 terulang menorehkan duka kembali akibat kesalahan yang sama? Tentu tidak, kita berharap pemerintah lebih sigap lagi mengambil keputusan untuk mengantisipasi datangnya serangan varian baru covid-19 ini, sebelum lebih banyak lagi korban tumbang. Misal menerapkan karantina daerah atau total berdasar tingkat kepentingan. Tentunya pemerintah juga harus mempersiapkan dana untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat ketika kebijakan karantina diberlakukan.

Akan tetapi, dengan sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan negeri ini, kondisi keuangan negara tampak belumlah stabil dengan kondisi utang menumpuk, APBN yang terancam menjadi jaminan utang, rasanya absurd kita berharap negara mampu menyediakan dana untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat selama karantina, negara justru kian terpuruk di tengah pandemi.

Lantas Bagaimana Islam Menyikapi Wabah? Untuk mencegah penyebaran virus secara cepat, kebijakan karantina perlu dilakukan, mengingat Covid-19 termasuk penyakit menular. Sebagaimana Rasulullah saw. pernah bersabda ketika kaum muslimin diserang wabah Taun (wabah penyakit menular): “ … jika kalian mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri janganlah kalian memasuki negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri mu jangan pula kamu lari darinya.” (HR.Bukhari Muslim)

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah memberlakukan karantina di wilayah yang terserang penyakit menular. Begitu pula dengan Umar bin Khattab melakukan karantina ketika terjadi wabah. Beliau membatalkan kunjungannya ke negeri Syam untuk mencegah wabah menyebar ke negeri lain.

Pada masa karantina ini, butuh peran negara untuk membantu serta menanggung pemenuhan seluruh kebutuhan dasar rakyatnya yang terkarantina. Karena mereka tentu butuh asupan logistik, sedangkan mereka tidak dapat bergerak bebas memenuhi kebutuhan hidupnya.

Selama masa karantina, tentunya roda ekonomi di wilayah tersebut terhenti, namun tidak sampai mempengaruhi perputaran roda ekonomi negara. Di wilayah yang tidak terkena karantina, ekonomi terus berjalan dan berputar. Sehingga, negara tetap mampu bertahan menyelesaikan karantina secara baik. Disamping itu keuangan negara Islam tidak mudah kolaps dikarenakan banyaknya pos pendapatan negara di antaranya jizyah, ganimah, fai, kharaj serta pengelolaan sumber daya Aaam. Ditambah lagi adanya pos zakat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang membutuhkan.

Walhasil, tidak ada solusi lain agar negara tetap stabi bertahan menghadapi serangan covid-19 ini kecuali hanya kembali pada Islam. Terlebih karena negara ini berpenduduk mayoritas muslim, seyogianya tidak berpijak pada sistem Kapitalisme dalam mempersiapkan diri menghadapi serangan yang mungkin kembali menerpa. Belajar dari pengalaman sebelumnya, Kapitalisme memorak- porandakan negara bak centang perenang di terpa badai covid-19.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi