Seruan Pemenuhan Gizi Keluarga di Tengah Ancaman Kemiskinan, Bukti Tidak Adanya Empati

Oleh. Ria Safitri S.Pd.

Adanya pandemi covid-19 kemarin, membuat Negara Indonesia menetapkan beberapa kebijakan sebagai langkah penanggulangan. Seperti social distancing maupun PSBB. Akan tetapi, kebijakan tersebut hanyalan sarana. Yang terpenting pada pascapandemi adalah menjaga dan meningkatkan imunitas tubuh dengan mengonsumsi makanan yang bergizi seimbang.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto menekankan pentingnya pemenuhan gizi keluarga guna mengoptimalkan tumbuh kembang anak, beliau menyatakan perilaku hidup bersih dan sehat perlu ditunjang dengan pemenuhan gizi seimbang dan nutrisi yang optimal. Agus mengatakan, “Mengingat kondisi cuaca yang tidak menentu maka dikhawatirkan anak-anak mudah terserang penyakit sehingga daya tahan tubuh harus dijaga melalui asupan gizi seimbang.” (Republika.co.id, 16/10/22) .

Gizi seimbang harus memenuhi kandungan makronutrien, seperti karbohidrat, protein, dan lemak, juga mikronutrien seperti vitamin, mineral, dan air. Seruan penerapan pola hidup bersih dan sehat sejalan dengan apa yang diinstruksikan oleh Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 2017 mengenai Kampanya Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) dalam rangka mendorong masyarakat untuk mengutamakan paradigma sehat yang promotive dan preventive. Di mana pemenuhannya berkaitan dengan biaya yang mahal, yang dapat dipenuhi secara maksimal oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang baik. Lantas bagaimana dengan masyarakat yang berada dalam kategori ekonomi lemah atau miskin?

Berdasarkan Survey Studi Status Gizi Indonesia, Prevaleisi stunting atau Gizi buruk di Indonesia saat ini mencapai 24,4 persen, itu berarti terdapat 7 juta anak yang kekurangan gizi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan, “Masa pascapandemi menghadapi tiga masalah gizi atau triple burden of malnutrition yaitu kekurangan gizi, stunting, kekurangan zat gizi mikro dengan anemia bagi remaja. Kemenkes memperkirakan kenaikan bayi kurus dan stunting meningkat pasca pandemic karena tingkat ekonomi yang belum stabil (Suara.com, 4/8/2022).

Badan Pusat Statitik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 mencapai 26,16 juta orang atau 9,54 % dari total penduduk Indonesia. Sedangkan jumlah desa/kelurahan di tanah air yang penduduknya menderita kekurangan gizi mencapai 12.183 desa. Dari jumlah tersebut Nusa Tenggara Timur (NTT) mempunyai penduduk terbanyak yang menderita kekurangan gizi, disusul Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan masing-masing 1.418 desa dan 1.361 desa (Databoks, 25/03/2022).

Pastinya akan cenderung sulit untuk memenuhinya. Padahal, pemenuhan gizi merupakan urgensi global guna membangun masyarakat yang sehat terlebih pascapandemi. Namun, dengan adanya kenaikan harga sembako, pencabutan subsidi BBM, proyek konversi kompor gas ke listrik, dan masalah kemiskinan lainya, tentu memberikan dinamika yang beragam dalam pemenuhan gizi masyarakat. Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudianan menyebut kemiskinan dan ketimpangan di DIY masih di angka yang cukup tinggi. Karena Kemiskinan masih menjadi problem utama di Indonesia yang belum terselesaikan hingga kini.

Pemerintah seolah gagal fokus dalam memaksimalkan ikhtiar untuk menyelesaiakn problem kemiskinan. Sebagaimana diketahui kondisi ekonomi bangsa ini nyaris di ambang kehancuran. Utang negara yang tembus Rp7.163 triliun. Angka kemiskinan yang sangat tinggi, yakni 9,54% dengan standar angka kemiskinan yang tidak masuk akal, yakni rata-rata pengeluaran sebesar Rp505.469,00 per orang terhitung pada Maret 2022 (Mnews).

Menyoroti angka kemiskinan dan gizi buruk yang masih tinggi di tanah air begitu mengherankan, mengingat sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Pembangunan ekonomi di Indonesia dijalankan berdasarkan mekanisme pasar yang merugikan masyarakat karena berjalan dengan ketidakadilan serta tidak memihak kepentingan masyarakat banyak. Sehingga, hal ini justru semakin menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan. Selain itu, kebijakan pemerintah yang cenderung berpihak kepada elit politik yang menjadikan alokasi distribusi ekonomi banyak terserap kepada kelompok tertentu. Meskipun pada awalnya kebijakan yang di cetuskan pemerintah seolah dapat mengentaskan rakyat miskin sebagaimana konsep trickledown effect, tetapi pada kenyataanya kebijakan tersebut belum mampu mengangkat kemiskinan. Terlebih lanjutan pandemi covid-19 menambah jumlah kemiskinan yang membuat penghasilan berkurang, atau bahkan hilang. Semua ini dipastikan menambah berat kondisi ekonomi masyarakat terutama kelas menengah ke bawah.

Tentunya hal ini berpengaruh pada berkurangnya ketersediaan dan keterjangkauan makanan begizi. Oleh karena itu, berbagi program, gerakan, dan pemberdayaan ala-ala kapitalisme yang digagas tidak mampu mengubah penyebab yang mendasari kemiskinan. Belum lagi bencana banjir yang hingga hari ini terjadi di banyak wilayah Indonesia yang tidak dimitigasi dengan sigap, bahkan cenderung abai dan ala kadarnya. Maka seruan untuk memenuhi gizi hanyalah narasi tanpa empati. Karena masyarakat tak mungkin bisa memenuhi kebutuhan gizi tersebut di tengah kesulitan hidup yang terjadi. Di sisi lain hal ini menunjukan ketidak pahaman penguasa atas apa yang dihadapi rakyat di tengah kemiskinan, di mana angka stunting masih sangat tinggi. Seharusnya negara peduli dan dapat memberikan solusi atas persoalan sistemik ini. Dari penjelasan tersebut, isu kemiskinan tidak lepas dengan konsep pemenuhan kebutuhan minimal, yang tidak hanya kebutuhan materiil tetapi juga spiritual dalam menjalankan ibadah kepada Allah Swt.

Dalam sebuah riwayat yang ditulis dalam buku Sang Legenda Umar Bin Khattab karya Yahya bin Yazid disebutkan, ketika rakyat sedang dilanda kelaparan, Umar Bin Khattab selaku khalifah naik mimbar dengan perut yang keroncongan, hal ini menandakan bahwa pemimpin Islam sangat memahami kondisi rakyatnya.

Al-Qardhawi menjelaskan bahwa pandangan Islam tidak dibenarkan seseorang yang hidup di tengah masyarakat islam sekalipun itu Ahl Al-Dzimmah (warga negara nonmuslim) menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang (tidak bertempat tinggal), dan ajaran Islam menyatakan perang terhadap kemiskinan dan berusaha keras untuk membendung
serta mengawasi kemungkinan yang dapat menimbulkanya. Hal ini dilakukan dalam rangka menyelamatkan aqidah, akhlak, dan perbuatan, memelihara kehidupan rumah tangga, melindungi kestabilan serta ketenteraman masyarakat. Sebab, Islam memandang kemiskinan merupakan satu hal yang mampu membahayakan akhlak, kelogisan berfikir, keluarga dan juga masyarakat.

Bagaikan langit dan bumi, konsep penguasa kapitalisme dan Islam sungguh bertolak belakang dalam berbagai hal. Inilah karakter kepemimpinan sekuler kapitalisme neoliberal, dimana yang menjadi standar perbuatannya adalah kemanfaatan subjektif yang sangat profit oriented. Penguasa sistem kapitalis sifatnya hanya sebagai fasilitator yang mementingkan materialistik dan pencitraan semata.

Sedangkan penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Islam juga menetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Semua itu dapat dikelola oleh negara guna menyelesaikan kemiskinan yang konsepnya multidimensi. Fungsi ini dipastikan akan terwujud melalui penerapan hukum Islam secara utuh. Dalam paradigma Islam, Khilafah yang tegak di atas empat pilar, yaitu kedaulatan di tangan syarak, kekuasaan di tangan umat, hak formalisasi ada pada khalifah, dan kesatuan seluruh umat dalam satu kepemimpinan. Negara di bawah tuntunan syariat benar-benar akan membawa kesejahteraan hakiki tanpa menanggalkan sisi-sisi kemanusiaan dan mencederai keseimbangan alam.

Keharmonisan Islam inilah yang semestinya kembali kita wujudkan dengan jalan memperjuangkan khilafah sebagai institusi penegak syariat yang mampu menyejahterakan umatnya dan mengentaskan kemiskinan secara total. Terwujudnya sistem Islam tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan. Membutuhkan keikhlasan, konsistensi, pengorbanan, dan kerja jemaah yang harus digencarkan agar umat memahami bahwa Islam adalah satu-satunya jalan menuju kebangkitan.

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi