Oleh. Dewi Sartika (Pemerhati Publik)
Sedang ramai diperbincangkan di media sosial, terkait dengan produk yang memiliki nama yang menunjukkan keharaman tetapi berlabel halal. Seperti tuak halal, Bir halal, tuyul halal, dan wine halal. Dengan adanya kejadian ini, pihak MUI merespons dan menyikapi hal itu.MUI langsung melakukan investigasi atas kasus ini. Ketua MUI bidang Fatwa Profesor Asrorun Niam Sholeh memimpin pemantauan tersebut. Dari hasil investigasi dan pendalaman terkonfirmasi bahwa informasi tersebut, valid produk-produk tersebut memperoleh sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur self declare, tanpa melalui audit lembaga pemeriksaan halal dan tanpa penetapan kehalalan melalui komisi fatwa MUI.
Profesor Niam mengatakan, ”Penetapan hal tersebut menyalahi standar fatwa MUI bukan tidak melalui komisi fatwa MUI karena itu, MUI tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk-produk tersebut.” Berdasarkan Fatwa MUI nomor 4 tahun 2003 tentang standarisasi halal, ada empat kriteria penggunaan nama dan bahan diantaranya tidak boleh menggunakan nama dan/atau simbol makanan dan/atau minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan (MUI.or.id, 1-10-2024).
Kehalalan dalam Kacamata Kapitalis
Kasus penamaan produk halal dengan nama haram bukan kali ini saja terjadi, hal yang sama juga pernah terjadi pada produk “Wine” jenis produk Nabizt pada tahun 2023. Berulangnya kasus ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam sistem kapitalis terkait makanan dan kenyamanan masyarakat dalam hal kehalalan pangan. Tak dimungkiri, adanya penanaman produk halal dengan nama-nama yang lazimnya digunakan untuk produk haram dapat memicu kekhawatiran dan kecurigaan kehalalan produk tersebut. Karena produk tersebut memiliki zat halal tetapi dengan nama haram. Padahal seharusnya, produk halal memiliki nama yang halal pula.
Inilah gambaran model sertifikat halal dalam sistem kapitalisme..nama bukanlah asas kehalalan sebuah produk. Lebih dari itu, pemerintah saat ini lebih mengedepankan persoalan ekonomi ketimbang perlindungan terhadap rakyatnya dari makanan maupun minuman yang non halal. Sebagaimana narasi yang digembor-gemborkan oleh pemerintah tentang sertifikat halal dan tujuannya bukanlah agar masyarakat terhindar dari produk haram, melainkan menunjukkan bahwa karena negeri ini adalah sebagai konsumen terbesar produk pangan halal.
Namun pada faktanya, produk halal di negeri ini berada pada posisi nomor kesekian. Seharusnya, Indonesia yang notabene penduduk muslim terbesar di dunia dapat menjadi produsen produk halal terbesar pula di dunia. Namun, yang menjadi persoalan bukan terletak pada label halal semata. Karena, produk tanpa label halal pun banyak beredar di tengah-tengah masyarakat dan siapa pun dapat mengaksesnya dengan mudah. Mirisnya, pemerintah melegalkannya meski ada batasan kasar alkohol. Padahal seharusnya, setiap makanan dan minuman yang mengandung alkohol, meskipun kadar alkoholnya sedikit tetaplah haram dan tidak boleh beredar untuk diperjualbelikan.
Fakta ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal untuk fokus terhadap kebutuhan umat yang sangat berharap adanya sertifikat halal yang sebenarnya. Sehingga masyarakat lebih mudah memilih produk mana yang dapat dikonsumsi dengan yang tidak dapat dikonsumsi sebab keharamannya. Mirisnya lagi, produk haram saat ini kian banyak beredar bebas dan mudah ditemukan di pasaran bukan hanya minuman beralkohol, tetapi seperti daging babi, daging anjing, serta makanan dan minuman haram lainnya.
Ini semua terjadi karena pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berlandaskan sistem sekuler kapitalisme. Di mana semua kebijakannya terbit bukan berdasarkan standar halal haram melainkan bersandar pada materi (keuntungan Semata). Semisal miras yang sudah nyata keharamannya tetapi produk tersebut dapat Menambah pendapatan negara (devisa) maka negara melegalkan produk tersebut untuk diperjualbelikan di negeri ini.
Jaminan Produk Halal dalam Islam
Makanan halal lagi baik bagi seorang muslim sangatlah penting karena hal itu berkaitan dengan kesucian saat beribadah kepada Allah. Jika di dalam tubuh seorang muslim masuk sesuatu yang haram maka ibadahnya tidak akan diterima oleh Allah. Karenanya, menjadi tugas negara untuk memastikan produk makanan dan minuman yang beredar di tengah-tengah masyarakat adalah produk yang halal.
Dalam Islam, keberadaan produk halal termasuk bagian dari jaminan negara di mana negara memastikan pada setiap pelaku usaha memahami produk yang mereka jual adalah produk halal. Jaminan kehalalan ini diberikan oleh negara dengan melakukan uji produk halal dan pengawasan secara berkala. Pelayanan ini diberikan secara cuma-cuma oleh negara. Negara akan mempermudah proses administrasi uji coba dan pengawasan secara murah dan mudah.
Selain itu, negara berkewajiban menjaga rakyat agar selalu dalam ketakwaan berbagai celah dan sarana yang menghantarkan pada kemaksiatan akan ditutup dan dilarang. Seperti Pabrik miras, pabrik narkoba, klub-klub malam, bar, serta tempat-tempat hiburan lainnya. Negara yakni Khilafah juga wajib bertanggung jawab dalam pengawasan produk pangan yang beredar di tengah-tengah masyarakat agar tidak ada produk haram dan hanya ada produk halal saja yang beredar di tengah-tengah masyarakat.
Negara Islam menjadikan standar produksinya sesuai dengan syariat Islam yakni halal dan haram baik dari segi zatnya maupun cara memprosesnya. Sehingga, pemberian nama pada produk yang diproduksi tidak boleh melanggar syariat Islam. Pun juga, Khilafah akan menegakkan hukum yang menjerakan kepada siapa saja yang melanggar, membuat, dan mengedarkan produk haram di tengah-tengah kaum muslim.
Ali Bin Abi Thalib meriwayatkan, Rasulullah saw. bersabda, “Rasulullah mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali, Abu Bakar juga 40 kali, sedangkan Usman 80 kali ke semuanya adalah sunnah tapi yang ini ( 80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim)
Dengan demikian, tidak ada lagi yang berani memproduksi, mengedarkan, menjual, dan meminum produk haram. Karena semuanya yang berkaitan dengan produk haram akan dikenai sanksi. Inilah model penjagaan negara Islam kepada rakyat terkait dengan produk halal, sehingga rakyat tetap terjaga kesucian baik jiwa dan raganya. Wallahualam bisawab.