Sertifikasi Halal Sebagai Objek Memalak Rakyat?

Oleh. Edah Purnawati

Badan penyelenggara jaminan produk halal atau BPJPH Kementerian Agama menegaskan bahwa 2024 mendatang produk-produk yang tidak mengantongi sertifikat halal akan terkena sanksi. Dikutip dari Beritasatu.co (7/1/2023).

Pada 17 Oktober 2024 adalah berakhirnya masa penahanan pertama kewajiban sertifikasi halal. Berdasarkan undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 beserta turunannya ada tiga kelompok produk yang harus sudah bersertifikat halal seiring dengan berakhirnya penerapan pertama tersebut.

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tamabahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan (Kemenag.go.id, 7/1/2023).

Jika masa penahapan telah berakhir, tetapi produk belum bersertifikat halal dan masih beredar di masyarakat, maka produsen akan mendapatkan sanksi dari negara. Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham menerangkan, sanksi yang akan diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif hingga penarikan barang dari peredaran sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam PP nomor 39 Tahun 2021. Sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia (8/1/2023).

Keputusan Kepala BP Nomor 141 Tahun 2021 mengatur bahwa tarif layanan BLU BPJPH terdiri atas dua jenis, yaitu: tarif layanan utama dan tarif layanan penunjang. Tarif layanan utama terdiri atas sertifikasi halal barang dan jasa, akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), registrasi auditor halal, layanan pelatihan auditor dan penyelia halal, serta sertifikasi kompetensi auditor dan penyelia halal. Adapun tarif layanan penunjang mencakup; gedung dan bangunan, penggunaan lahan ruangan, penggunaan peralatan dan mesin, penggunaan laboratorium, dan juga penggunaan kendaraan bermotor (Kemenag.go.id 16/3/2022).

Meski di awal tahun 2023 BPJPH kembali membuka program sertifikasi halal gratis atau Sehati dengan satu juta kuota, tetapi sertifikasi halal yang sudah didapatkan di awal tahun diperpanjang dalam kurun waktu 4 tahun berdasarkan peraturan yang ditetapkan. Untuk permohonan perpanjangan sertifikat halal bagi usaha mikro dan kecil sebesar Rp200.000, usaha menengah Rp2.400.000,00, dan usaha besar atau berasal dari luar negeri sebesar Rp5.000.000,00. Sebagaimana dilansir dari Kemenag (16/3/2022).

Dalam Syariat Islam sertifikasi halal seharusnya merupakan layanan negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang telah ditetapkannya. Namun dalam sistem kapitalisme sekuler yang diterapkan saat ini, sertifikasi halal menjadi komoditas yang dikapitalisasi dengan biaya yang telah ditentukan.

Pemerintahan sekuler yang memberikan label atau sertifikat halal sejatinya tidak didorong oleh keimanan kepada Allah Swt., tetapi karena faktor ekonomi dan materialistik. Inilah wajah negara dengan sistem kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai sasaran pemakan.

Berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara berperan sebagai penjaga dan pelindung umat. Sehingga, negara akan hadir di tengah-tengah umat untuk menjamin kehalalan setiap produk makanan yang beredar. Bukan justru menjadi pelaku bisnis sebagaimana dalam sistem kapitalisme.

Artinya, kehalalan semua produk yang dikonsumsi warga negara merupakan tanggung jawab negara yang didorong oleh ketaatan pada Allah Swt. Akidah Islam yang menjadi dasar akan menjadikan semua urusan harus diatur dengan syariat Islam, termasuk makanan dan minuman dalam kehidupan bernegara.

Negara tidak hanya bertindak sebagai pengawas, tapi juga mendanai. Setiap upaya menjamin produk halal di tengah masyarakat dalam Islam, jaminan kehalalan sebuah produk akan ditentukan dari awal mulai proses pembuatan bahan, proses produksi, hingga distribusi akan senantiasa diawasi.

Para ahli dan ulama mengontrol dan mengawasi semua produk pangan yag dikonsumsi masyarakat benar-benar terjamin kehalalannya. Bahkan, Islam akan mensterilkan bahan-bahan haram dari pasar agar tidak membuat masyarakat bingung dalam membedakan halal dan haram.

Seorang hakim atau qadhi akan melakukan patroli dan menyelesaikan permasalahan di pasar, termasuk mencegah pedagang menjual barang haram pada kaum muslim. Negara akan memberlakukan sanksi tegas sesuai dengan ketetapan syariat Islam, yakni melalui ta’zir.

Setiap orang dari rakyat boleh mengadukan perkara kepada Mahkamah Mazhalim atas penguasa yang mengizinkan produk haram dijual bebas, baik keberadaannya sebagai wali ataupun khalifah. Rakyat mengadukan kezaliman ini ke Mahkamah Mazhalim agar memutuskannya dan menghilangkan kezaliman ini dalam hal makanan.

Ahlu dzimmah atau orang kafir yang rida hidup dalam sistem Islam berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik. Imam Abu Hanifah menyatakan Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka di dalam wilayah yang diatur oleh syariat.

Maka, selama hal tersebut dilakukan di dalam ranah kehidupan pribadi dan tidak dilakukan di tempat umum, negara tidak akan mengusik perilaku mereka yang sesuai aturan agama mereka. Namun, bila seorang ahli dzimmah membuka toko yang menjual bebas produk haram maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam. Penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan sejatinya akan memberikan rasa tenang di dalam jiwa seluruh rakyat.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi