Sertifikasi Halal dalam Kapitalisme, Benarkah untuk Perlindungan?


Oleh. Ilma Rabiya

Awal 2023 masyarakat diinformasikan untuk segera mengantongi sertifikat halal pada produk-produk yang saat ini telah dan akan beredar dipasaran. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menyampaikan ada tiga kelompok kategori produk yang wajib memiliki sertifikat halal. Apa saja?

Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Ketiga, produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Tiga kelompok produk ini harus sudah bersertifikat halal pada 17 Oktober 2024.

Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Muhammad Aqil Irham sebagai Kepala BJPH Kemenag, ia mengatakan “Jika produk belum bersertifikat dan beredar di masyarakat, akan ada sanksinya,” ungkapnya di Jakarta pada Sabtu (7/1/2023).

Aqil menerangkan sanksi yang akan diberikan mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga penarikan barang dari peredaran. “Ini sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam PP Nomor 39 tahun 2021,” ujarnya.

Di satu sisi, kewajiban sertifikasi ini sangat baik untuk menjadi bagian dari pelayanan rakyat terutama umat Islam yang memang diwajibkan dalam ajaran agamanya harus memakan makanan yang halal dan thayyib. Hanya saja di sisi lainnya, ada kekhawatiran tentang kewajiban sertifikasi halal ini dapat menjadi komoditas yang dikapitalisasi sehingga makin menyulitkan masyarakat, terutama masyarakat kecil.

Sertifikasi halal seharusnya merupakan layanan negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang ditetapkan oleh syariat. Namun, dalam sistem sekuler-kapitalisme hari ini, sertifikasi halal sangat rentan untuk menjadi komoditas yang dikapitalisasi dengan biaya yang telah ditentukan.

Saat ini untuk harga permohonan sertifikat halal mulai dari Rp300.000,00 untuk Usaha Mikro dan Kecil. Usaha Menengah dimulai dari Rp5.000.000,00, sedang untuk Usaha Besar dan/atau berasal dari luar negeri ada di angka Rp12.500.000,00. Selain harga permohonan sertifikat halal, ada juga harga untuk perpanjangan sertifikat halal setiap beberapa tahunnya (sumber: kemenag.go.id).

Meskipun dalam proses masa penahapan pertama kewajiban sertifikat halal ini BJPH telah membuka program Sertifikasi Halal Gratis (Sehati) untuk satu juta kuota, tetap saja tahun-tahun selanjutnya tak menjamin program ini ada setiap tahun. Terlebih program ini bergantung pada kondisi keuangan negara juga.

Wajah negara dengan sistem kapitalisme ini sangat rentan menjadikan rakyat sebagai sumber uang, sehingga tak heran jika rakyat seringkali menjadi sasaran pemalakan melalui berbagai cara. Hal ini sudah menjadi sebuah fakta yang umum beredar, dari mulai kenaikan BBM yang sempat dicabut subsidinya dengan alasan untuk menyelamatkan kas negara sampai kenaikan PPN menjadi 11 persen.

Sertifikasi halal seharusnya merupakan layanan negara untuk melindungi rakyatnya atas kewajiban yang ditetapkan syariat. Namun sayangnya dalam sistem kapitalisme, sertifikasi halal menjadi komoditas. Ia didorong bukan berasal dari keimanan kepada Allah SWT melainkan karena faktor ekonomi dan matrealistik. Ini tentu berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam.

Dalam Islam negara berperan menjadi penjaga dan pelindung umat, sehingga sudah pasti negara akan menjamin setiap produk makanan yang beredar di tengah-tengah umat, bukan malah menjadikan masyarakat sebagai pelaku bisnis sebagaimana yang ada pada sistem kapitalisme. Artinya kehalalan suatu produk yang dikonsumsi oleh warga negara merupakan tanggung jawab negara yang didorong oleh ketaatan kepada Allah Swt.

Akidah Islam yang menjadi dasar negara dalam menjadikan semua urusan diatur dalam syariat Islam, termasuk di antaranya makanan dan minuman. Negara tidak hanya bertindak sebagai pengawas, melainkan turut membantu mendanai setiap upaya jaminan kehalalan produk.

Negara menjamin dan mengatur segala proses makanan dan minuman terjamin dari awal kehalalannya, dari distribusi, proses pembuatan dan diedarkannya suatu produk. Tidak hanya itu, Islam bahkan harus mensterilkan bahan haram dari pasar agar tak membuat masyarakat bingung dalam membedakan halal dan haram.

Negara akan menempatkan seorang hakim (qadhi) untuk melakukan patroli dan menyelesaikan permasalahan di pasar termasuk mencegah penjual menjual barang haram kepada kaum muslim. Bahkan, negara akan memberikan sanksi tegas jika masih ada penjual yang memaksakan penjualan produk haram beredar di masyarakat sebagai tindak kezaliman.

Lalu bagaimana untuk masyarakat nonmuslim (ahlul dzimmah) yang tidak diatur halal dan haram? Dalam hal makanan, ahlul dzimmah berhak mengikuti aturan agama mereka. Negara tidak akan mengusik prilaku mereka selama yang mereka lakukan hanya di ranah pribadi (private). Sebagaimana keterangan dari Imam Abu Hanifah menjelaskan, “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.” (Imam Abu Hanifah).

Penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan akan memberikan ketenangan bagi seluruh masyarakat yang ada dalam negara. Sebab, Islam dijamin keterikatannya dengan syariat Islam kaffah.

Wallahu’alam bishawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi