Sengkarut Transportasi Laut, Inaugurasi Korporasi di Negara Demokrasi

 

Oleh: Ervan Liem

Banyak permasalahan bangsa yang bergulir dan sebagian besar masyarakat saat ini mengalami keterpurukan ekonomi, namun rezim seakan abai terhadap penderitaan tersebut. Rezim malah menggenjot proyek-proyek infrastruktur yang menghabiskan dana sangat besar, namun tidak berpengaruh dan hanya sedikit yang memberi kontribusi bagi penanggulangan permasalahan bangsa dan negara. Salah satu proyek besar tersebut adalah pembangunan infrastruktur pelayanan transportasi laut, yaitu pembangunan Tol Laut yang bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di Indonesia. Dengan terhubungnya pelabuhan maka diharapkan dapat menciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok, selain itu pemerataan harga logistik juga menjadi prioritas. Namun apa mau dikata, beberapa tahun berjalan program Tol Laut tersebut belum menampakkan progres yang signifikan, bahkan dari hasil penelusuran Kementerian Perhubungan justru terdapat indikasi monopoli yang terjadi pada program tersebut.

Selain daripada itu, banyaknya pembangunan pelabuhan seperti JIIP di Gresik ataupun Patimban di Subang yang juga merupakan proyek strategis nasional (PSN) telah menghabiskan dana besar. Pelabuhan Patimban sendiri menjadi salah satu PSN dengan investasi Rp.43,2 triliun di area seluas 369 hektare dan lahan cadangan 356 hektare. Pembangunan tahap I menyedot anggaran Rp.14 triliun dari APBN dan pinjaman Japan International Cooperation Agency atau JICA. Pembangunan pelabuhan seperti itu tentu sarat akan kepentingan korporasi. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan Pelabuhan Patimban yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas ekspor yang bersumber dari kawasan industri di sekitar Cikarang-Cibitung-Karawang hingga Cikampek. Tentunya para pemilik industri tersebut bukanlah rakyat kecil, melainkan korporasi besar yang sangat diuntungkan dengan adanya pelabuhan tersebut. Pemerintah menggandeng swasta besar untuk menginaugurasi pembangunan insfrastruktur laut agar seakan-akan proyek tersebut masih milik negara, meskipun pada kenyataannya dikuasai oleh swasta.

Proyek Insfrastruktur dan Transportasi Laut Menginaugurasi Korporasi

Tidak bisa dipungkiri bahwa transportasi laut di negara kepulauan seperti Indonesia ini memang sangat dibutuhkan, terutama untuk menjangkau pulau-pulau yang tidak terjangkau transportasi lainnya (darat dan udara). Transportasi laut yang sangat dibutuhkan masyarakat sejatinya memerlukan pengelolaan yang serius. Namun, hal ini tampaknya belum menjadi perhatian yang serius dari pemerintah, terbukti dari seringnya terjadi kecelakaan di laut akibat kebocoran pada kapal, moda yang usianya sudah tua, tidak adanya alat navigasi, tidak tersedianya alat-alat pengaman di kapal, dan sebagainya, sehingga korban jiwa terus berjatuhan. Lebih miris lagi, pengelolaan pelabuhan diserahkan kepada operator, sebagaimana disebutkan dalam UU 17/2008, pengelolaan pelabuhan dilaksanakan Badan Usaha. Sedangkan untuk menjalankan fungsi regulator, pemerintah membentuk Otoritas Pelabuhan (OP), yang dalam dunia maritim internasional disebut Port Authority. Otoritas Pelabuhan (OP) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhan yang diusahakan secara komersial.

Sebagai contoh pelaksanaan di lapangan adalah apa yang dikatakan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, mengenai operator Pelabuhan Patimban Subang yang telah ditunjuk pada tahun lalu serta pengumuman lelang operator pelabuhan Patimban di akhir Desember 2020. Kementerian Perhubungan telah mendapatkan perusahaan operator yang lolos tahap prakualifikasi proyek kerja sama pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) Pelabuhan Patimban, Jawa Barat. Padahal, baik KPBU maupun operator, keduanya sama-sama berorientasi mengeruk keuntungan dalam bisnis yang dijalankannya, bukan berorientasi memberikan layanan transportasi kepada masyarakat. Justru masyarakat menjadi sasaran untuk meraih keuntungan materi. Adanya tol laut yang digadang-gadang akan meningkatkan perekonomian masyarakat pun, nyatanya hanya menguntungkan korporasi, namun belum dirasakan manfaatnya secara luas oleh masyarakat. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga kini. Sedangkan pemerintah sebagai regulator, mengklaim telah melakukan upaya membuat regulasi untuk kemudahan masyarakat dalam bertransportasi laut dan mengatasi kecelakaan kapal. Antara lain melakukan ratifikasi terhadap beberapa undang-undang Internasional yang terkait keselamatan pelayaran dan membuat undang-undang pelayaran. Akan tetapi, upaya tersebut belum membuahkan kesejahteraan masyarakat.

Yang terbaru, dari hasil penelusuran Kementerian Perhubungan (Kemenhub), justru terdapat indikasi monopoli yang terjadi pada program Tol Laut. Dugaan monopoli didapati karena ada permasalahan pada ekosistem logistik, khususnya di wilayah Indonesia Timur. Ekosistem logistik tersebut meliputi perusahaan pelayaran, pengirim, penerimaan, dan jasa pengurusan. Praktik monopoli bisa ditelusuri melalui sistem informasi muatan dan ruang kapal (IMRK). Ketika pada akhirnya monopoli berpeluang terjadi, sebagian besar karena ada shipper atau forwarder yang menguasai booking order container. Padahal, dalam IMRK seharusnya sudah otomatis terdesain adanya pembatasan. Dilansir dari detikfinance, tak pelak pemerintah menuduh adanya pihak swasta yang melakukan monopoli terhadap aktivitas Tol Laut. Pengusaha pun merespons, mereka mengatakan pemerintah hanya mencari kambing hitam.

Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita menyebutkan bahwa hingga kini tujuan Tol Laut masih belum tercapai. Zaldy juga menyatakan pendekatan skema yang digunakan program Tol Laut tidak berbeda dengan skema kapal perintis yang sudah ada sejak zaman Orba. Menurutnya, subsidi yang diberikan untuk biaya pelayaran kurang tepat. Memberikan subsidi pada pelayaran yang sebagian besar adalah BUMN untuk Tol Laut, maksud Zaldy, justru seperti menggarami air laut. Tidak bisa menurunkan disparitas harga dan dampaknya sangat jangka pendek. Pasalnya, inflasi masih tinggi di daerah-daerah yang hanya bisa dicapai dengan pelayaran laut. Jika pun ada penurunan harga, Tol Laut ini baru mampu menurunkan harga sekitar 10-20% dari harga normal. Dan itu pun terjadi hanya selama beberapa saat ketika kapal datang.

Mencermati hal tersebut, tentu bisa ditelusuri mulai dari bagaimana pemerintah melelang sejumlah trayek Tol Laut. Langkah ini sama saja dengan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Namun ketika kemudian ada pihak swasta lain yang memprotes kebijakan Tol Laut ini, mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Karena para pemegang hak hasil lelang trayek, notabene adalah swasta besar. Sebagai sesama swasta, meski berskala besar dan kecil, berlomba meraih sebesar-besarnya profit tetaplah tujuan utama. Dengan kata lain, pemerintah menggandeng swasta besar untuk menginaugurasi proyek Tol Laut, agar seakan-akan proyek ini masih milik pemerintah. Padahal, pelakunya di lapangan adalah swasta besar, bukan pemerintah itu sendiri. Ironisnya, korbannya adalah swasta kecil. Tak heran jika ada sebagian pihak swasta yang juga menuding bahwa tidak ada kontrol yang baik dari pemerintah dalam menjalankan program Tol Laut, bahkan butuh waktu beberapa tahun untuk pemerintah sadar bahwa ada yang tidak beres dengan program Tol Laut. Wajar jika dana triliunan rupiah yang digelontorkan untuk Tol Laut menjadi sia-sia. Pemerintah sebagai pihak penyedia subsidi semestinya mengatur aspek ini. Namun itu tidak dilakukan oleh Kemenhub selama Tol Laut berjalan.

Dampak Negatif Inaugurasi Korporasi Transportasi Laut

Masalah yang berlarut-larut dalam pengelolaan transportasi laut bersumber dari penerapan sistem kapitalisme neoliberalisme. Sistem ini mengizinkan pemerintah berlepas tangan dalam melayani rakyat. Pemerintah hanya boleh berperan sebagai regulator yang melayani para korporasi, bukan melayani rakyat. Berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah terkesan hanya memihak kepada korporasi, akibatnya arah kebijakan ekonomi tidak lagi berkiblat kepada kesejahteraan rakyat. Sistem ini menjadikan transportasi laut sebagai lahan komersial yang akan mendatangkan materi. Oleh karena itu, korporasi sebagai operator orientasi utamanya adalah mencari keuntungan, bukan pelayanan. Tidak mengherankan jika keuntungan yang diperoleh adalah milik korporasi semata, masyarakat tidak mungkin akan dapat merasakan keuntungan tersebut. Tidak heran pula jika keamanan, kenyamanan, dan keselamatan pengguna moda transportasi laut tidak dijamin oleh operator. Hal lainnya, konsep neoliberalisme telah memandulkan kemampuan negara, terutama yang berkaitan dengan pendanaan. Konsep neoliberalisme yang menerapkan anggaran berbasis kinerja hanyalah memfasilitasi korporasi mengomersialkan pengelolaan transportasi laut.

Dengan konsep Tol Laut yang didesain untuk korporasi, maka konsekuensi negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, hanya sebatas regulator, pelayan, dan pemberi fasilitas bagi korporasi atau swasta. Sedangkan korporasi bertindak sebagai operator di lapangan. Jadi jangan heran jika korporasi juga yang akan meraup semua keuntungan. Sangat wajar jika negara dengan sistem ekonomi kapitalis neoliberal sebagaimana negeri kita saat ini, mustahil mampu menjadi pelayan masyarakat secara langsung, alih-alih menguntungkan masyarakat dan mengemban mandat mengurusi urusan masyarakat, justru penyelenggara negarapun bingung dengan kebijakan yang ditentukannya sendiri. Program Tol Laut yang ditujukan untuk menekan biaya logistik nyatanya belum memberikan dampak signifikan, memang biaya atau ongkos angkutan program tersebut sudah dapat ditekan, karena diberikan subsidi. Tapi penurunan ongkos tersebut hanya dinikmati oleh para pedagang dan tidak berdampak pada penurunan harga. Dengan demikian, disparitas harga antara satu wilayah dengan wilayah lain masih terjadi. Sekali lagi bahwa Inaugurasi korporasi berdampak pada hanya berpura-puranya keberhasilan rezim, pemerintah mengandeng swasta untuk menginaugurasi proyek Tol Laut dan insfrastrukturnya agar seakan-akan proyek tersebut milik pemerintah.

Strategi Islam Mengelola Insfrastruktur dan Transportasi Laut

Islam memandang bahwa transportasi laut adalah urat nadi kehidupan, yang juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karenanya, semua yang termasuk fasilitas publik dilarang untuk dikomersialkan. Negara dalam sistem Islam berwenang penuh dan bertanggung jawab langsung memenuhi hajat publik, khususnya pemenuhan hajat transportasi publik yang aman, nyaman, murah, dan tepat waktu, serta memiliki fasilitas penunjang yang memadai. Aman adalah safety and secure; nyaman: bersih, tidak pengap, dan tidak berdesakan; tarif murah artinya mengedepankan aspek pelayanan daripada keuntungan; tepat waktu adalah sedikit mungkin pergantian moda angkutan; dan memiliki fasilitas penunjang yang memadai berupa toilet, air bersih, dan lain-lain. Negara tidak dibenarkan hanya menjadi regulator, sebagaimana sabda Rasul Saw., “Pemerintah adalah raa’in dan penanggung jawab urusan rakyatnya.” (HR. Al Bukhari).

Ketersediaan transportasi publik yang memadai menjadi hak rakyat, tidak boleh terjadi dharar (kesulitan, penderitaan, kesengsaraan) yang menimpa masyarakat. Seperti sabda Rasul Saw., “Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada membahayakan (baik diri sendiri maupun orang lain).” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan ad-Daraquthni). Negara wajib membangun infrastruktur transportasi laut berupa pelabuhan dan kelengkapannya. Penyediaan moda transportasi laut maupun infrastrukturnya tidak boleh diserahkan kepada swasta (korporasi). Pembangunan infrastruktur transportasi mutlak mengacu pada politik dalam negeri Khilafah, yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah; bukan konsep batil MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi) yang dijiwai paradigma neoliberal KBE (Knowledge Based Economy) dan reinventing government.

Wewenang dan tanggung jawab semua itu sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Apa pun alasannya, tidak dibenarkan jika pembangunan infrastruktur menggunakan konsep KPS (Kemitraan Pemerintah dan Swasta), demikian juga variannya termasuk konsesi. Negara juga wajib memenuhi kebutuhan publik berupa sarana IT, seperti penggunaan AIS kapal (Automatic Identification System). Negara mengelola sarana tersebut secara langsung, tidak boleh hanya sebagai regulator. Negara harus mengedepankan pelayanan daripada keuntungan. Pengelolaan institusi moda transportasi publik wajib ditangani negara secara langsung dengan prinsip pelayanan (raa’in dan junnah). Apa pun alasannya, institusi moda transportasi publik seperti PT. PELNI tidak dibenarkan dikelola dengan prinsip untung rugi, yaitu berstatus BLU (Badan Layanan Umum). Negara wajib menggunakan anggaran yang bersifat mutlak (ada atau tidak khas negara yang diperuntukkan pembiayaan transportasi publik dan infrastrukturnya, yang ketiadaannya berdampak dharar bagi masyarakat, maka wajib diadakan negara), salah satu sumbernya adalah harta milik umum.

Apa pun alasannya, negara tidak dibenarkan menggunakan anggaran berbasis kinerja. Negara juga wajib mengelola kekayaannya secara benar (sesuai syariat Islam), sehingga memiliki kemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan fungsi dan tanggung jawab pentingnya. Negara juga harus menjalankan sentralisasi kekuasaan, tidak dibenarkan menjalankan desentralisasi kekuasaan, namun untuk teknis pelaksanaan bisa bersifat desentralisasi. Kebijakan yang diambil negara harus bersifat independen, tidak tergantung negara asing, juga tidak perlu meratifikasi undang-undang Internasional. Strategi pengelolaan transportasi publik dalam Islam mengacu kepada tiga prinsip utama, yaitu: a. Kesederhanaan aturan; b. Kecepatan dalam pelayanan; dan c. Individu pelaksana yang kapabel. Penerapan sistem Islam semacam ini harus menyeluruh dalam semua bidang kehidupan, tidak hanya transportasi laut saja, sehingga negara akan maju dan kesejahteraan akan dicapai dengan gemilang.

Sistem pemerintahan Islam (Khilafah), lahir dari hukum syara’, bukan lahir dari para pemikir di kalangan manusia itu sendiri. Dengan demikian kedudukannya lebih kuat karena yang menetapkannya adalah Sang Pencipta manusia. Sejarah mencatat bagaimana Khilafah di masa Turki Utsmaniy berhasil mencapai kemakmuran dengan tingkat ekonomi yang maju karena pemerintah mampu mengendalikan rute-rute perdagangan utama lintas benua. Dengan Konstantinopel (Istanbul) sebagai ibu kotanya dan kekuasaannya atas wilayah yang luas di sekitar cekungan Mediterania, Khilafah Utsmaniy menjadi pusat interaksi antara dunia Timur dan Barat selama lebih dari enam abad lamanya. Bagi Khilafah Utsmaniy, visi geopolitiknya dibangun dengan cara memperkuat negara berbasis kekuatan maritim. Dengan konsep ini pulalah seyogyanya program Tol Laut dibangun. Bukan dengan konsep Inaugurasi Korporasi, yang mengukuhkan korporat swasta besar untuk mengelola dan menguasai jalur transportasi strategis. Dengan sistem Islam, segala sesuatunya dapat berjalan lancar sesuai cita-cita. Keberhasilan sistem pemerintahan Islam, Khilafah, telah terbukti berabad-abad lamanya menyejahterakan masyarakatnya, termasuk kesuksesannya mengelola transportasi laut hingga menguasai perdagangan global.

Dibaca

 119 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi