Sengkarut Ibadah Haji, Mengapa Berulang?

Nur’afni
(Ibu Peduli Negeri)

Haji merupakan rukun Islam yang kelima. Di mana ibadah ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu. Baik secara finansial maupun fisik. Tidak dapat digambarkan kebahagiaan seorang muslim mampu bertamu ke rumah Allah Swt. Makkah dan Madinah adalah kota suci yang penuh dengan sejarah dan keindahan. Melihat Ka’bah dan bisa melaksanakan salat dengan khusyuk di masjid Nabawi, serta menjelajahi tempat-tempat bersejarah bagi kaum muslim, sungguh memberikan kebahagiaan yang luar biasa. Hukum mengenai ibadah haji tertulis di dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 97,

“… Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”

Namun, fakta yang terjadi saat ini tidaklah seperti apa yang kita bayangkan. Penyelenggaraan ibadah haji menuai kritik tajam, buntut keluhan dari banyak jemaah haji Indonesia atas pelayanan yang cenderung memprihatinkan. Kritik datang dari Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR yang mengungkapkan kondisi akomodasi jemaah yang memprihatinkan. Tenda jemaah haji Indonesia minim kapasitas hingga layanan toilet yang antre berjam-jam.

Ketua Timwas Haji Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyayangkan tenda sempit membuat ruang gerak jemaah tak lebih dari 1 meter. Kondisi ini mengakibatkan banyak jemaah yang tidak kebagian tempat tidur di dalam tenda. Tak cuma masalah tenda, kondisi toilet jadi keluhan jemaah RI lantaran jemaah bisa antre berjam-jam.

Tak cuma tahun ini saja, persoalan haji juga sempat terjadi pada tahun 2023 lalu. Kala itu, terjadi persoalan akomodasi dan transportasi jemaah haji selama Armuzna (Arafah, Musdalifah, dan Mina) tidak terkelola dengan baik. Hal ini membuat banyak jemaah haji asal Indonesia telantar di Muzdalifah hingga kesulitan mendapatkan makanan.

Pengamat haji dari UIN Syarif Hidayatullah Ade Marfuddin menyoroti fasilitas layanan haji yang disediakan oleh pemerintah tak sebanding dengan biaya besar yang sudah dikeluarkan jemaah. Ade menganggap belum ada manajemen pelayanan haji yang ditata secara komprehensif oleh pemerintah selama ini. Akibatnya, penyelenggaraan haji tiap tahun pasti ada kekurangan yang berulang di sana sini. Kemudian tahun ini mencuat persoalan fasilitas tenda jemaah di Mina yang minim kapasitas, kata Ade kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/6/2024).

Kondisi ini sangatlah miris. Biaya haji di Indonesia yang mengalami kenaikan setiap tahun, namun minim kapasitas dan pelayanan. Semua ini terjadi tidaklah terlepas dari sistem hidup ataupun ideologi yang diterapkan saat ini, yakni sistem kapitalisme sekularisme, yaitu sistem yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Sehingga berdampak pada pola pikir dan pola sikap penguasa negeri-negeri muslim termasuk pemimpin negara kita saat ini. Asasnya hanyalah materi semata dan standar kebahagiaannya hanyalah materi dan manfaat. Maka pelayanan publik juga dikomersilkan, seperti pendidikan, kesehatan, dan termasuk ibadah haji.

Penguasa yang seharusnya menjadi pelayan bagi rakyat tapi justru berubah menjadi pengusaha yang mementingkan materi(untung rugi semata). Bahkan ibadah haji dalam sistem kapitalisme sekuler merupakan peluang bisnis dan peluang pasar yang memberikan keuntungan yang besar, mulai dari transportasi, katering, perhotelan, perizinan, pembimbingan yang serba komersil.

Sangat berbanding terbalik dengan penyelenggaraan haji di dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam, Seorang kepala negara sungguh sangat mengoptimalkan perhatian dan pelayanan kepada seluruh jemaah haji dari berbagai negara. Mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik sebagai tamu Allah Swt. tanpa ada unsur bisnis ataupun mengambil keuntungan dari ibadah haji. Karena, seorang pemimpin yang bertakwa memahami bahwasanya itu adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh negara.

Ada beberapa langkah yang dilakukan seorang pemimpin dalam sistem Islam tentang pelaksanaan ibadah haji. Pertama, penguasa (kepala negara) akan membentuk staf khusus dalam memimpin dan mengelola pelaksanaan ibadah haji agar berjalan dengan sebaik-baiknya. Tentu saja mereka dipilih dari ketakwaan dan keahliannya dalam memimpin.

Kedua, biaya penyelenggaraan haji disesuaikankan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayah serta pembiayaan yang dibutuhkan saat pergi dan kembali dari tanah suci (tanpa adanya unsur bisnis). Ketiga, penguasa (kepala negara) mengatur kuota pemberangkatan haji. Dengan begitu, keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi calon jemaah haji. Negara akan lebih memprioritaskan jemaah haji yang belum pernah haji. Namu, merekasudah memenuhi syarat dan kemampuan.

Keempat, negara akan menghapus visa haji. Di dalam sistem Islam, kaum muslim berada dalam satu kesatuan wilayah tanpa adanya sekat-sekat negara. Kelima, negara akan membangun sarana dan prasarana untuk kelancaran, ketertiban, keamanan, dan kenyamanan para jemaah haji. Bahkan pada saat pandemi atau wabah, kepala negara tetap menyelenggarakan pelaksanaan ibadah haji dengan melakukan penanganan sesuai dengan protokol kesehatan. Seperti menjamin sanitasi, memberikan vaksin, mempersiapkan tenaga kesehatan, tenaga medis, alat kesehatan yang memadai.

Sudah saatnya umat kembali kepada Islam yang lahir dari Sang Khaliq yaitu Allah Swt. agar penjagaan terhadap rukun Islam dan aturan kehidupan berjalan sesuai dengan syariat Sang Pencipta. Wallahualam bishawab.

 

 

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi