Oleh. Suryani, S.A.P.
(Kontributor MazayaPost.com)
Diketahui sejak 2018 berdiri, SMP Negeri 60 menumpang belajar di SD Negeri Ciburuy. Mereka hingga saat ini belum memiliki gedung atau bangunan sendiri sehingga puluhan siswa SMP Negeri 60 Kota Bandung di Jalan Cisereuh, Kecamatan Regol, Kota Bandung, Jawa Barat terpaksa harus belajar di taman sekolah dan selasar kelas secara bergantian alias belajar di luar ruangan. Sejak tahun 2022 hingga saat ini, siswa belajar di luar ruangan kelas.
Puluhan siswa SMPN 60 Bandung yang belajar di taman sekolah atau di selasar kelas berjumlah 2 rombongan belajar (rombel) dari total 9 rombel. Sedangkan dari 7 rombel lainnya belajar di ruangan kelas. Humas SMPN 60 Bandung yakni Rita Nurbaeni mengaku telah mengajukan permohonan gedung kepada Dinas Pendidikan Kota Bandung. Namun hingga saat ini, belum mengetahui pasti bagaimana perkembangan permohonan permintaan tersebut (Metrotvnews.com, 28/9/2024).
Sungguh miris melihat insfrastruktur pendidikan yang begitu minim serta jauh dari kata memadai. Masalah seperti ini tentu tidak hanya terjadi di sekolah SMPN 60 Bandung saja, tetapi juga di berbagai pelosok negeri, terlebih lagi di daerah yang tertinggal. Padahal pendidikan merupakan kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi setiap individu rakyat, tidak lain tujuan nya agar peserta didik menjadi insan yang memiliki kedalaman dan kecemerlangan berpikir, generasi pemimpin, serta problem solver yang menentukan masa depan suatu bangsa.
Berdasarkan realita, belum adanya mekanisme pemeliharaan gedung sekolah yang efektif. Hal ini menunjukkan minimnya perhatian negara terhadap masa depan pendidikan serta pemenuhan pendidikan bagi setiap individu rakyat. Sistem pendidikan hari ini menjadikan peran Negara dalam mengurusi urusan rakyatnya “setengah hati” karena yang dipikirkan semata keuntungan materi yang bakal mereka peroleh. Urusan pendidikan cenderung diserahkan kepada pihak swasta sehingga membuat perencanaan pendidikan tidak matang dan melahirkan banyak sekali persoalan yang tidak tertangani.
Negara memang telah menyiapkan anggaran untuk pendidikan, parahnya di sistem pendidikan hari ini telah melahirkan praktik pengelolaan anggaran yang korup karena jauh dari nilai agama. Akibatnya, dengan alokasi dana pendidikan yang sedikit tentu tidak dapat terserap sempurna. Tidak meratanya anggaran yang sampai ke daerah-daerah untuk membangun gedung sekolah, karena banyaknya anggaran yang dikorupsi sehingga dana yang diperuntukkan untuk pembangunan gedung sekolah tidak tepat sasaran, kurang perawatan, dan pemeliharaan.
Akar masalahnya adalah sistem sekularisme-kapitalisme yang diemban oleh negara sehingga berlepas tangan dalam urusan pendidikan. Pemerintah juga gagal menjadi ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Padahal pendidikan merupakan tanggung jawab penguasa.
Selain mencerdaskan anak bangsa, juga investasi pemikiran, masa depan dan peradaban. Boro-boro mencetak generasi terbaik, pemerintah malah memposoisikan pendidikan sebagai ladang bisnis untuk meraup materi sebanyak-banyaknya.
Berbeda dengan pengelolaan pendidikan dalam Islam, yakni sistem Khilafah yang memosisikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok rakyat yang disediakan oleh negara. Kemudian diberikan kepada rakyat dengan biaya murah bahkan gratis. Hal ini dikarenakan Khilafah memiliki sumber pemasukan yang besar dan beragam, di antaranya seperti dari pendapatan kepemilikan umum seperti minerba, tambang dan migas. Juga fai, kharaj, jizyah, dan dhoribah yakni pajak.
Sedangkan yang mengelola biaya pendidikan, Khilafah menunjuk para pejabat yang amanah untuk menghindari terjadinya korupsi. Para pejabat yang ditunjuk oleh khalifah tentu mereka yang sadar bahwa jabatan mereka akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Selain itu, Khilafah juga mejamin keberlangsuangan sistem pendidikan yakni terwujudnya infrastruktur pendidikan, sarana dan prasarana, serta asrama dan pemenuhan kebutuhan hidup para pelajar, termasuk uang saku mereka. Wallahualam bisawab