Oleh. Usniati, Ana, dan Suharti
(Penulis Ideologis dan Pemerhati Sosial)
Bulan Agustus akan segera berlalu. Namun, uforia peringatan HUT (hari ulang tahun) kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), masih terasa hingga saat ini. Karnaval dan berbagai aneka lomba digelar seantero negeri untuk memeriahkannya. Mulai dari tingkat RT hingga ibukota. Dari sekolah taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas (SMA). Semua, tumpah ruah merayakan HUT-RI ke 79 tahun. Kemeriahan itu juga nampak di daerah kabupaten Banyuasin Sumatra Selatan.
Namun, walaupun sudah berusia 79 tahun kemerdekaan NKRI dan kemeriahan tahunan tersebut digelar, rupanya tidak membuat naiknya taraf kesejahteraan rakyat. Seyogianya, usia 79 tahun sudah matang dalam berbagai hal. Faktanya, jauh panggang dari api. Tingkat kemiskinan tidak berkurang pada tiap tahunnya tapi mirisnya, makin bertambah. Khususnya di daerah kabupaten Banyuasin Sumatra Selatan.
Faktor Penyebab Kemiskinan
Jika memperhatikan faktornya, bahwa problem kemiskinan yang dialami warga Banyuasin disebabkan karena beberapa hal, diantaranya:
Pertama, karena tingginya angka pengangguran. Tingkat pengangguran ini menimpa individu terutama diusia produktif. Kalaupun ada yang bekerja, tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Pilu memang, karena berbagai kebutuhan pokok harganya mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Ditambah mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan. Makin kesini, beban rakyat justru makin berat.
Kedua, tingkat pendidikan yang rendah. Faktor ini dipicu oleh tingginya biaya pendidikan. Menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Keinginan menyekolahkan anak-anaknya dihadapan pada fakta mahalnya biaya. Faktor ini menyebabkan anak – anak usia sekolah tidak bisa mengenyam pendidikan. Walhasil, mereka tidak memiliki keterampilan khusus (keahlian ) untuk mencari kerja demi meningkatkan taraf hidupnya.
Ketiga, infrastruktur yang tidak memadai seperti jalan rusak. Jalan merupakan sarana paling krusial bagi masyarakat. Terutama bagi masyarakat pedesaan. Namun, jika akses jalan rusak, membuat penduduk sulit untuk menjual hasil pertanian ataupun hasil perkebunan dan menghambat aktivitas lainnya,
Keempat, tidak efektifnya pendistribusian hasil sumber daya alam (SDA). Akibat dari tidak meratanya distribusi SDA ini, masyarakat tidak merasakan manfaatnya walaupun SDA melimpah. Justru, kemiskinan terjadi disekitar tempat berdirinya perusahaan-perusahaan besar.
Kelima, belum maksimalnya layanan air bersih dan pasokan listrik yang terbatas. Maka, kondisi ini juga menjadi faktor pendukung lambatnya pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat.
Sungguh ironi, Indonesia sudah merdeka 79 tahun, tetapi rakyatnya masih banyak mengalami kesulitan hidup alias hidup dibawah garis kemiskinan.
Islam, Solusi Sistemik
Tidak bisa dimungkiri, bahwa arah kebijakan yang diterapkan oleh negara dipengaruhi total oleh sistem yang berlaku saat ini. Sistem itu adalah demokrasi kapitalis sekuler. Sistem ini meniscayakan, setiap pemimpin mendahulukan kepentingan para pemilik modal besar (kapital), para pemilik perusahaan raksasa, yang dulu saat kampanye mengeluarkan modal besar untuk mendukung terpilih dirinya sebagai pemimpin.
‘Tak pelak, SDA besar yang ada tidak dikelola sendiri oleh negara untuk rakyat. Malah, diserahkan pada para pengusaha swasta asing maupun domestik, sebagai kompensasi atas dukungannya dulu. Sehingga terjadi praktek eksploitasi SDA. Akibatnya, rakyat tidak merasakan hasil SDA negeri sendiri padahal seharusnya, hasil SDA ini menjadi faktor penunjang kesejahterakan rakyat.
Sedangkan dalam sistem Islam, SDA berupa tambang merupakan milik umum (rakyat). Sebagaimana terdapat dalam sebuah hadis Nabi berikut:
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu, padang rumput, air dan api”.(HR. Abu Daud dan Ahmad).
Karena itu, SDA yang menjadi hajat hidup orang banyak, dikelola oleh negara dan manfaatnya digunakan untuk melayani kebutuhan rakyat. Dalam memperoleh haknya, rakyat mendapatkannya dengan percuma. Dengan demikian, tidak ada rakyat yang luput dari mendapatkan kesejahteraan.
Dalam kehidupan sistem Islam, selain rakyat hidup dalam suasana keimanan yang tinggi, mereka juga hidup dalam limpahan keberkahan dan kecukupan materi. Kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar rakyat dicukupi oleh negara, kalau pun harus membayar, tentu dengan harga yang terjangkau. Demikian pula dengan pendidikan dan layanan kesehatan, rakyat memperolehnya dengan murah bahkan gratis.
Selama kurun 14 abad sistem Islam memimpin dunia, bukan tidak pernah mengalami fase kekurangan bahan makanan. Fase itu pernah terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab Ra. Saat itu datang musim kemarau panjang, yang mengakibatkan paceklik.
Khalifah Umar menyadari tanggungjawabnya, ia harus mampu mengatasi kondisi sulit itu. Selain menggencarkan doa beliau juga mempunyai kebiasaan baru. Usai mengimami shalat isya, beliau segera pulang ke rumah dan melanjutkan shalat malam hingga menjelang subuh. Mendejatkan diri dan mohon pertolongan kepada Allah Swt.
Namun, kondisi rakyat makin dihimpit kesulitan karena kemarau ‘tak kunjung berlalu. Akhirnya sang Khalifah memutuskan berkirim surat untuk meminta bantuan kepada beberapa gubernur. Di antaranya kepada Amr bin Ash di Mesir, Muawiyah bin Abi Sufyan di Syam, Sa’ad bin Abi waqqash di Irak.
Serta merta, ketiga pemimpin wilayah itu mengirimkan bantuan berupa bahan makanan pokok dan pakaian yang sangat banyak. Mencukupi kebutuhan masyarakat Hijaz hingga usai paceklik.
Masya Allah, begitulah Islam mengatasi paceklik dengan tuntas. Jika ada individu yang lemah secara ekonomi dan tenaga, negara segera turun tangan. Memberikan pelatihan dan lapangan kerja bagi laki-laki lalu menyantuni bagi yang sudah tua (lansia ) dan janda yang sendirian.
Dengan demikian, tidak ada rakyat yang hidup miskin. Mereka juga hidup dalam suasana keimanan yang terjaga. Maka, sudah seharusnya, sistem hari ini ditinggalkan umat. Kembali kepada sistem yang telah terbukti menyejahterakan, memuliakan dan menyelamatkan. Wallahu a’lam bis ash-shawab.