Salah Data Pengentasan Kemiskinan, Bagaimana Bisa?

Oleh. Tri S, S.Si.

Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menilai, sistem pendataan penerima bantuan sosial (bansos) di Kementerian Sosial (Kemensos) masih buruk. Sebab, diduga ada ribuan pemilik perusahaan yang terdaftar sebagai penerima bansos. Pahala menilai, persoalan ini timbul lantaran masih minimnya koordinasi antar lembaga.

Selain itu, dia menyebut, tak jarang para pengusaha mencatut nama orang lain untuk menyamarkan asetnya. Pahala melanjutkan, pihaknya menawarkan program yang dibuat oleh Stranas PK untuk mencegah permasalah tersebut. Dia menjelaskan, dalam konsep yang disiapkan, setiap perusahaan wajib mencatat nama-nama pengendalinya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Kewajiban itu, sambung dia, sebenarnya juga sudah sering ditegaskan oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham. Namun, masih saja banyak pengusaha yang mengabaikan kewajiban itu. Padahal, kata dia, ada sanksi yang menanti.

Oleh karena itu, Pahala menambahkan, Stranas PK ingin mendorong agar setiap perusahaan dapat mencatat beneficial ownership. Dia mengatakan, untuk mendukung program ini, pihaknya berkoordinasi dengan Tim Percepatan Reformasi Hukum. Kelompok yang dibentuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD itu diyakini bisa membantu mendorong adanya aturan hukum yang mengikat agar perusahaan melaporkan nama-nama pemiliknya ke negara. Menurut dia, perlu ketegasan untuk mencegah pemalsuan data (republika.co.id, 15/6/2023).

Perlu disadari bahwa masyarakat dalam kategori rentan miskin ini sangat berpotensi kembali miskin hanya dengan perubahan harga-harga kebutuhan pokok seperti BBM, listrik, kesehatan dan lain sebagainya. Tak hanya masyarakat rentan miskin saja, tetapi berimbas juga pada masyarakat kelas menengah apabila kebutuhan sekunder mengalami kenaikan. Maka, kemerosotan perekonomian penduduk Indonesia akan berdampak keseluruh lapisan masyarakat. Lantas apa yang perlu dilakukan oleh negara untuk menanggulangi permasalahan ini.

Bantuan sosial atau subsidi bagi masyarakat miskin menjadi solusi dangkal sebab hanya membantu pada segi peningkatan angka statistik saja. Jikalau bansos habis dan subsidi dicabut, maka angka kemiskinan akan melonjak kembali. Apa yang direkomendasikan oleh Bank Dunia dalam upaya meningkatkan jumlah kelas menengah belum dapat merealisasikan pengehentas kemiskinan secara total, jika solusi tersebut masih dibebankan kepada individu tanpa ada sokongan dari negara dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Lapangan pekerjaan menjadi solusi andalan dalam mengentaskan kemiskinan, namun sayang kondisi nyata yang masih dirasakan adalah minimnya lapangan pekerjaan. Masyarakat berbondong-bondong melahirkan UMKM meski tantangan yang harus dihadapi sangat besar, sebab pasar masih dikuasi oleh para kapitalis, konglomerat, dan perusahaan besar yang melakukan penerobosan hingga tingkat UMKM.

Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa kemiskinan massal adalah kondisi laten akibat Kapitalisme, sebab yang hanya bisa dilakukan negara adalah mengotak-atik angka bukan menghilangkan kemiskinan secara nyata. Pengentasan kemiskinan secara total adalah sesuatu yang utopis dalam sistem demokrasi yang ada dalam sistem Kapitalisme, sebab sistem ini hanya melindungi sektor-sektor yang dikuasai para kapitalis. Berbeda dengan sistem Islam bahwa negara itu berkewajiban menghapus kemiskinan secara sempurna dan sistematis.

Standar miskin yang ditetapkan pemerintah sesungguhnya tidaklah sesuai fakta. Hitungan angka terkadang tak sama dengan realita. Boleh saja target kemiskinan nol persen. Namun, RUU Cipta Kerja yang kontroversi itu justru berpotensi menyumbang peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Sulit kerja lalu menganggur dan akhirnya sulit memenuhi kebutuhan hidup. Terlebih, sikap negara yang terkesan lepas tanggung jawab.

Kesusahan rakyat tak dipandang oleh mereka yang memegang kekuasaan. Dalam fitrahnya, siapa pun tak ingin miskin. Semua manusia pasti menginginkan sejahtera. Kondisi miskin tidak serta merta berdiri sendiri. Meski ada kemiskinan lantaran memang bagian dari ujian kehidupan.

Namun, tak jarang kemiskinan terjadi karena sistem yang diterapkan. Sistem ekonomi kapitalisme hari ini adalah penyebab utama kemiskinan yang terjadi. Yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin.

Dalam Islam, kemiskinan tidak diukur dari pendapatan dan pengeluaran, tetapi dari pemenuhan kebutuhan dasar perorangan. Kebutuhan itu mencakup sandang, pangan, papan, pendidikan, keamanan, dan kesehatan yang layak. Namun, dalam kapitalisme, kemiskinan dihitung dengan dipukul rata. Tak melihat satu per satu realitas kebutuhan dasar rakyat sudah terpenuhi atau tidak.

Mungkinkah kemiskinan nol persen terwujud? Mungkin saja, asal berhentilah menerapkan sistem ekonomi kapitalis-liberal yang jelas menyengsarakan. Target kemiskinan nol persen tentu bisa asalkan menerapkan kebijakan yang memihak rakyat. Jangan kejar rakyat dengan pajak segala rupa. Lakukan swasembada pangan secara mandiri. Jangan banyak utang dan kejar investasi asing yang bikin rugi.  Kelola kekayaan alam kita sendiri. Tidak ada jual beli dalam aset negara. Berilah fasilitas pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat. Rakyat juga jangan dibebani dengan berbagai tarif yang memberatkan.

Jika itu dilakukan, mungkin saja kemiskinan berkurang drastis. Hal itu pernah terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dalam dua tahun kepemimpinannya, hampir tidak ditemukan penduduk miskin. Bahkan, sang khalifah sampai dibuat bingung harus diserahkan pada siapa harta zakat yang terkumpul karena rakyatnya merasa tidak  berhak menerima zakat. Semua sejahtera dan kebutuhan dasarnya terpenuhi.

Itu adalah contoh nyata sepanjang sejarah. Kemiskinan nihil bisa saja asal ekonominya berbasis syariah. Kalau berbasis kapitalisme-liberal target itu seperti mimpi yang sulit terwujud.

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi