Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
Siapa yang tak mengenal kampanyr ketahanan pangan di 10 dasa terakhir ini. Negara menggalakkan lumbung pangan demi memenuhi ketersediaan pangan. Bahkan, menteri pertahanan juga sempat ikut ambil bagian dalam mewujudkan ketahanan pangan negeri ini.
Kenapa Ketahanan Pangan Sulit Diwujudkan?
Syahdan, pangan merupakan kebutuhan jasadiah yang asasi bagi manusia. Jika tidak tepenuhi kebutuhan pangan ini, maka akan menimbulkan kematian. Jamak diketahui, krisis pangan melanda dunia, termasuk negeri yang dijuluki “Negeri Khatulistiwa.”
Tak dinafikan, negara tidak tinggal diam atas krisis pangan yang melanda. Salah satu upaya pemerintah mengatasi masalah ini dengan cara mendorong peningkatan keberagaman konsumsi pangan masyarakat melalui Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA). Upaya tersebut salah satunya dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pola Pangan Harapan.
Kepala NFA, Arief Prasetyo Adi melalui keterangannya, di Jakarta, Ahad (4/6/2023), mengatakan bahwa diterbitkannya Perbadan tentang Pola Pangan Harapan (PPH) bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional yang mengedepankan keberagaman konsumsi pangan dan keterpenuhan gizi masyarakat (Republika.co.id, 4/6/2023).
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi mengatakan, swasembada pangan merupakan tantangan besar. Negara hanya mengucurkan 0,6 persen dari total anggaran negara untuk bidang pangan. Selain itu, Arief menyampaikan tidak semua lahan yang tersedia di dalam negeri dapat jadi area pertanian. Dengan demikian, menurutnya, ketimpangan ketersediaan pangan antar daerah menjadi hal yang lazim (Katadata.co.id, 2/6/2023)
Sejauh ini, pemerintah sudah menganggarkan dana sebesar Rp104,3-Rp124,3 triliun untuk meningkatkan produk pangan domestik pada 2024 mendatang. Adapun anggaran ini naik dibandingkan tahun ini sebesar Rp 104,2 triliun (Republika.co.id, 4/6/2023).
Kucuran anggaran dana tersebut juga digunakan untuk penguatan dukungan sarana dan prasarana penyimpanan maupun pengolahan hasil pertanian, penguatan tata kelola sistem logistik nasional, dan konektivitas antar wilayah serta penguatan cadangan pangan nasional. Namun demikian, anggaran dana yang cukup besar itu tak jua membuahkan hasil. Ketahanan pangan masih di ambang kritis.
Wajar jika terbersit pertanyaan ‘kenapa ketahanan pangan susah diwujudkan?’ Di satu sisi, negara memang sudah mencurahkan upaya agar ketahanan pangan tetap stabil. Namun, di sisi lain, dukungan negara terhadap sektor pertanian amatlah minim. Betapa tidak, pupuk yang menjadi salah satu bahan vital dalam pertanian dicabut subsidinya. Biaya pengelolaan pertanian dirasa berat oleh petani.
Selain itu, negara ini masih setengah hati menutup keran impor komoditas pangan. Polemik yang kerap terjadi adalah, keran impor terbuka saat panen raya. Kondisi bisa berimbas pada kelesuan petani yang seakan ditelantarkan tanpa dukungan. Semua ini tentu terjadi karena negara memiliki pandangan kemandirian rakyat itu penting agar tidak membenani negara.
Sehingga, ketahanan pangan yang digalakkan tak jua menemui hasil signigikan, justru terjun bebas menjumpai krisis. Kebijakan pangan di negeri ini bertumpu pada sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi ini condong pada kepentingan kapital (pemilik modal). Asasnya jelas manfaat alias memperoleh keuntungan materi yang besar. Maka, tampaklah liberalisasi pertanian berhasil menyingkirkan petani pribumi yang tak memiliki banyak modal.
Dengan demikian, korporasi raksasa menguasai sektor pertanian dari hulu ke hilir. Saat kapitalisasi pertanian berjalan, maka yang ada hanyalah hubungan bisnis antara perusahaan besar dan petani kecil, termasuk rakyat kecil. Sementara negara hanya berfungsi sebagai regulator. Potret yang ada adalah ambisi korporasi dalam menggarap bisnis pertanian. Sehingga, kebijakan ketahanan pangan di sistem kapitalisme ini hanya sabatas angan.
Jika demikian, kedaulatan pangan menjadi kembang kempis. Lepasnya tanggung jawab negara dari kewajiban ini telah menjadikan pendanaan pangan dari APBN seakan tampak tidak menjadi prioritas. Kalaupun ada dan cukup besar, tidak mampu menyelesaikan persoalan pangan di negeri ini karena seakan salah fokus pengelolaan.
Ketahanan Pangan Bukan Sebatas Angan
Ketahanan pangan tentu sangat bisa diwujudkan. Jika penyebab ketahanan pangan hanya menjadi angan adalah sistem kapitalisme yang berasal dari manusia, maka hendaklah sistem itu diganti dengan sistem yang berasal dari Pencipta manusia, yakni sistem Islam. Sistem politik Islam akan menjadikan negara hadir di tengah rakyat sebagai pemelihara urusan rakyat. Sementara sistem ekonomi Islam menjadikan negara bertanggung jawab atas terjaminnya kebutuhan pokok individu rakyat dan kebutuhan pokok komunalnya.
Negara wajib membiayai dan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat, memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kemampuan. Salah satu kebutuhan pokok individu ini adalah pangan. Maka, negara wajib memastikan tak ada satu pun rakyat yang kelaparan. Tanggung jawab untuk merealisasikan ketersediaan pangan ada di pundak khalifah. Rasulullah saw. bersabda:
“Imam (Khalifah) adalah ra’in, yakni pengurus urusan rakyat dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam rangka membangun ketahanan pangan, negara wajib menjamin berjalannya proses produksi demi menjaga stok pangan. Negara akan mendukung dan membiayai usaha pertanian. Negara wajib memberikan kemudahan dalam pertanian, mulai mengakses bibit unggul, teknologi pertanian mutakhir, menyalurkan bantuan saprodi, menjamin ketersediaan pupuk, membangun infrastruktur pertanian, jalan, komunikasi, dan perairan.
Selain itu, negara wajib membina petani dengan berbagai seminar, penyuluhan, serta menyelenggarakan riset-riset pendidikan, pelatihan dan pengembangan terkait pertanian. Adapun terkait lahan pertanian yang masuk ranah harta milik individu, maka negara akan memantaunya benar-benar dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Jika tanah pertanian terlantar lebih dari tiga tahun, maka negara akan mengambilnya dan menyerahkannya kepada siapa pun yang kompeten menggarap lahan pertanian tersebut.
Bagi petani yang tidak punya modal bertani, akan dibantu oleh negara. Negara tidak akan mengimpor komoditas pangan, apalagi di saat panen raya.
Adapun terkait stabilisasi harga, Islam mengikuti hukum permintaan dan penawaran yang terjadi secara alami tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun, termasuk negara.
Apabila terjadi kelangkaan pangan di suatu wilayah, maka negara akan segera meminta wilayah lain yang berlimpah komoditas pangannya untuk memasok ke wilayah yang langka. Negara harus menegakkan patroli pasar agar tak terjadi kecurangan ataupun penimbunan. Dengan demikian, sistem Islam mampu mewujudkan ketahanan pangan yang sesungguhnya. Maka, sudah saatnya kaum muslim mencampakkan kapitalisme dan berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam secara menyeluruh, termasuk sektor pertanian demi menjaga ketahanan dan kedaulatan pangan.
Wallahu a’lam bishshawab.