Oleh : Khusnul Khotimah, S.Pd
Belakangan ini DPR RI telah menyepakati Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) yang mengatur kebijakan penambahan cuti melahirkan sebagai usul inisiatif DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna ke-26 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022.
Dilansir dari (detikNews.com, 30/6/2022) rapat paripurna yang digelar di gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (30/6/2022) tersebut dihadiri Ketua DPR Puan Maharani, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Lodewijk F Paulus, Rahmat Gobel yang dipimpin oleh Dasco tersebut menghasilkan persetujuan dari 9 fraksi dan sebagian besar pihak menyambut baik rancangan ini, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menilai bahwa RUU ini sangat penting bagi peradaban Indonesia ke depan. Akhirnya muncul pertanyaan benarkah RUU KIA menyejahterakan kaum perempuan?
Membela atau mendiskriminasi kaum ibu?
Dilansir dari (cnnindonesia.com, 13/6/2022) RUU KIA mengatur bahwa apabila pegawai perempuan menjalani cuti melahirkan selama 6 bulan, ia hanya akan mendapat gaji penuh untuk 3 bulan pertama. Dalam 3 bulan ke depan, hanya mendapat 70% dari gaji yang dibayarkan.
Kebijakan tersebut justru akan mendiskriminasi kaum perempuan karena perempuan akan memiliki nilai tawar yang jauh lebih rendah untuk bersaing dengan laki-laki di dunia kerja. Banyak perusahaan maupun pengusaha pada akhirnya memilih untuk tidak mempegawaikan perempuan, karena dianggap kurang berkontribusi selama kehamilan dan persalinan. Mereka akan memilih mempegawaikan laki-laki untuk menjaga produktivitas perusahaan.
Konsekuensinya maka akan ada banyak perempuan yang kesulitan mendapat pekerjaan. Hal ini dapat mendorong ketimpangan sosial, ekonomi, dan juga diskriminasi terhadap perempuan.
Kaum Perempuan Dalam Genggaman Kapitalisme
Bagai racun yang berbalut madu kebijakan RUU KIA sekilas terlihat sempurna untuk kaum perempuan namun sebenarnya masalah pegawai perempuan ini cukup kompleks, apalagi setelah diterapkannya kebijakan sistem kerja kontrak. Para kapitalis menjadikan perempuan seperti barang yang dapat diperjual belikan dan dieksploitasi mulai dari wajah hingga tubuhnya demi mendapat keuntungan sebesar-besarnya.
Padahal tidak sedikit kasus-kasus pelecehan hingga pemerkosaan terhadap pegawai perempuan marak terjadi. Namun sistem kapitalisme benar-benar tak memiliki mekanisme pengurusan yang jelas dan adil terhadap urusan rakyat, khususnya perempuan. Pembahasan RUU KIA semata-mata hanyalah bentuk tambal sulam mereka dalam menjawab persoalan. Mereka memberi solusi dari apa yang nampak saja, yaitu agar pegawai perempuan lebih loyal kepada perusahaan dan membuat pegawai perempuan berfikir dua kali untuk memiliki anak mengingat konsekuensi yang akan didapat untuk kedepannya.
Islam Solusi Tuntas Menyejahterakan Kaum Perempuan
Persoalan kesejahteraan perempuan bukan terfokus pada berapa lama masa cutinya. Mengingat di dalam Islam kehormatan perempuan benar-benar harus dijaga. Allah SWT telah memberikan seperangkat aturan bagi perempuan baik ketika di dalam maupun di luar rumah.
Maka, ketika perempuan ingin bekerja ia harus mentaati apa yang telah diatur syariat. Di antaranya jika perempuan keluar rumah, maka wajib menutup auratnya dengan sempurna dan tidak tabaruj dan Islam memandang kedudukan seorang perempuan adalah ummu wa rabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Sangatlah minim jika standar sejahtera hanya pada penambahan lamanya cuti, enam bulan adalah waktu yang sebentar untuk pendekatan antara ibu dan anak.
Secara menyeluruh persoalan kesejahteraan perempuan sejatinya menyangkut soal paradigma kepemimpinan dan penerapan sistem aturan yang diterapkan. Selama aturan sistem kapitalisme sekuler masih diterapkan maka masalah kesejahteraan perempuan adalah bentuk kesia-siaan dan omong kosong belaka. Untuk itu sebenarnya perempuan tidak membutuhkan kebijakan yang bersifat parsial tetapi harus menyeluruh.
Jika kita flashback pada masa kegemilangan Islam, Islam membuktikan kemampuannya dalam mensejahterakan rakyat, termasuk menjamin kesejahteraan perempuan termasuk dalam hal sandang, pangan, papan, dan sanksi.
Karena sistem Islam dibangun bukan hanya untuk kepentingan duniawi tetapi juga ukhrawi dimana ruhiyah menjadi landasan yang yang kokoh. Para penguasa menjalankan perannya dengan amanah sebab tahu betul bahwa semua perbuatannya akan dihisab.
Dengan diterapkannya sistem politik ekonomi islam kesejahteraan terhadap perempuan bukan hanya angan, sebab dalam praktiknya jaminan kesejahteraan perempuan melibatkan berbagai pihak mulai dari keluarga dalam hal ini suami atau walinya melalui hukum nafkah dan perwalian, juga melibatkan masyarakat melalui fungsi amar makruf nahi munkar, serta negara sebagai pelindung dan penjaga umat melalui penerapan hukum Islam atas landasan keimanan. Sehingga semua celah kerusakan benar-benar akan tercegah dan perempuan bisa dengan sempurna menjalankan perannya sabagai ummu wa robbatul bait.
Sudah saatnya kita tinggalkan sistem kapitalis sekuler dan kembali kepada sistem Islam. Sistem peradaban agung dimana melahirkan generasi-generasi tangguh pelopor perubahan hakiki dan hanya sistem Islamlah yang mampu dan menjamin kesejahteraan rakyat terutama perempuan dalam berbagai hal.
Wallahu a’lam bishshawab.