Rumah Layak untuk Rakyat, Mungkinkah Terwujud?

 

Oleh. Arsanti Rachmayanti (Pegiat Literasi)

Harga rumah di Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kenaikan harga rumah tersebut turut diakui oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Dedy Syarif Usman. Dedy mengatakan kekhawatiran akan kenaikan harga rumah itu memunculkan istilah Millenial Generation Homeless.

Istilah itu merujuk pada fenomena para anak muda yang tidak mampu membeli rumah karena harga kelewat tinggi. “Karena gaji yang diterima dengan kewajiban uang muka dan cicilan itu agak sulit,” kata Dedy.

Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah mengatakan, harga rumah memang sulit turun. Itu karena semua harga bahan untuk pembuatan rumah juga naik, mulai harga besi, semen, hingga tanah. “Harga tanah ini tidak pernah ada turunnya. Apalagi di perkotaan yang mana lahan itu sempit dan terbatas,” ujarnya.

Lanjutnya, juga ketersediaan lahan sebagai tempat hunian pun berkurang, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Sempitnya lahan perkotaan akibat pembangunan kantor-kantor, mal, rumah mewah, hingga pabrik, menyebabkan harga tanah makin melonjak tajam. Sementara itu, jumlah penduduk di negeri ini tambah banyak. Idealnya, kebutuhan perumahan meningkat, khususnya di wilayah perkotaan yang memiliki kepadatan penduduk tinggi, khususnya akibat tingkat kelahiran dan urbanisasi.

Badan Pusat Statistik memperkirakan, pada 2023 ini, penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan akan terus meningkat menjadi 66,6 persen. Jakarta menjadi kota terpadat dengan penduduk sebanyak 10 juta jiwa. Dengan pertambahan penduduk yang pesat itu tidak sebanding dengan kemampuan mereka membeli rumah.

Director Research and Consultancy Services Leads Property, Martin Samuel Hutapea dalam Property Market Outlook 2023 menyatakan rata-rata orang Indonesia membeli rumah harus menyiapkan budget Rp1 miliar, bahkan bisa sampai Rp5 miliar. Jakarta menjadi wilayah dengan harga jual rumah paling tinggi, yakni Rp2,5 miliar, Bekasi Rp1,5 miliar, Depok Rp 1,8 miliar, Bogor Rp 1,9 miliar, dan Tangerang Rp3,1 miliar (CNBCIndonesia.com, 1/12/2023).

Rumah Mahal dalam Sistem Kapitalisme

Data lain menyebutkan, setidaknya ada 81 juta milenial tidak mampu membeli rumah. Ketakmampuan ini lebih disebabkan oleh kurangnya gaji yang didapatkan, yang hanya cukup untuk membiayai kebutuhan primer (pangan dan sandang) sehingga mereka tidak dapat menyisihkan uang untuk membeli hunian (papan). Artinya, generasi milenial yang homeless terjadi bukan karena mereka malas bekerja atau malas beli rumah, melainkan akibat sistem yang diterapkan. Perumahan atau apartemen atau rumah susun dalam sistem saat ini tidak disediakan sendiri oleh pemerintah. Tetapi, pemerintah menggandeng pihak luar yaitu swasta (developer) untuk mengerjakan proyek itu. Bagi developer, ini adalah ajang bisnis yang menjanjikan dan proyek strategis yang bisa mendatangkan keuntungan.

Para pengusaha tentu tidak mau rugi. Mereka akan menaikkan harga beberapa kali lipat. Ditambah jumlah lahan yang makin lama makin sempit, tentu menyebabkan harga tawar turut naik.

Inilah prinsip kapitalisasi di bidang papan. Orang memanfaatkan kebutuhan dasar manusia untuk mendapatkan keuntungan besar. Mereka tidak peduli rakyat mau tidur di mana, kalau hujan berteduh di mana. Mereka hanya memikirkan uang.

Bagaimana dengan program pemerintah, seperti kerja sama dengan pengembang, KPR, hingga bantuan bedah rumah? Ini terlihat sebagai solusi tambal sulam. Pemerintah ingin menjadi penyelamat dengan program KPR, tetapi nyatanya program itu justru mencekik rakyat. Rakyat dipaksa terjebak pada riba bertahun-tahun lamanya, merasakan tidak tenang karena dihantui cicilan utang tiap bulannya. Dengan segala kesulitan ini, dapat kita lihat bahwa negara tampak berlepas tangan. Sikap pemerintah terlihat sebagai penyedia regulasi, menghubungkan rakyat dengan para korporasi.

Pandangan Islam

Islam sangat memperhatikan perihal pengadaan tempat tinggal yang dipandang sebagai sebagai kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi. Saat ini, pembangunan terjadi karena berorientasi pada kapitalistik, sedangkan Islam membangun dengan orientasi mengurusi kebutuhan rakyat. Islam sebagai agama yang sempurna telah memiliki panduan untuk mengatasi masalah tempat tinggal. Beberapa hal yang akan dilakukan antara lain;

Pertama, Islam mewajibkan setiap laki-laki bekerja. Negara akan menyediakan lapangan pekerjaan, atau memberikan lahan untuk diolah, atau memberikan modal usaha. Dengan begitu masyarakat bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Kedua, apabila ada rakyat yang tidak mampu bekerja karena alasan syar’i, sudah menjadi kewajiban keluarganya dengan membantu memberikan tempat tinggal, pakaian, hingga makanan.

Ketiga, jika tahap sebelumnya tidak dapat dilaksanakan, hal itu akan menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan. Tempat tinggal itu bisa dibangun dari uang negara atau harta milik umum. Rumah tersebut pun dapat dijual dengan harga terjangkau, disewakan, bahkan diberikan cuma-cuma.

Selain aturan di atas, Islam membuat kebijakan lain yang akan mendukung rakyat memiliki rumah. Beberapa kebijakan di antaranya adalah larangan menelantarkan tanah, mengatur sebab-sebab kepemilikan tanah, mengelola tanah yang tidak ada pemiliknya untuk dijual, dikelola, atau diberikan kepada yang membutuhkan, mengelola harta milik umum, hingga melakukan transaksi dengan halal dan tidak ribet. Semua itu hanya bisa terwujud dalam negara yang menerapkan aturan Islam. Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi