Oleh. Afiyah Rasyad
Siapa yang tak kenal dengan perjanjian rahasia antara penguasa dan pengusaha? Benar, kongkalikong yang satu ini menjadi debut yang terus diminati hingga menyuburkan oligarki. Secuil kepedulian penguasa dan pengusaha untuk rakyat kecil sepertinya telah sirna dimakan ambisi dunia. Rakyat tak pernah dianggap ada sehingga tak terpikir untuk mengurusnya dengan sepenuh jiwa.
Bayang-Bayang Oligarki
Saat ini, sepertinya tak ada sejengkal ruang pun yang memuliakan perempuan dan memperlakukan generasi sebagai agen perubahan. Ruang hidup perempuan dan generasi banyak terampas oleh segudang ide kapitalisme dalam urusan lahan. Berbagai konflik perempasan ruang hidup, termasuk bagi perempuan dan generasi terus mengintai langkah kaki.
“Tak ada asap jika tak ada api,” peribahasa ini tentu menjadi penguat bahwa perampasan ruang hidup ada sebabnya. Belum lama ini, sekitar September lalu ada bentrok antara wargaRempang dan aparat. Betapa banyak perempuan yang turun ke jalan untuk menuntut hak hidupnya dan menolak relokasi. Betapa pula generasi saat itu ikut menjadi korban. Bukan hanya karena mereka harus siap sekolah di lingkungan baru, tetapi gas air mata sempat menyapa mereka yang sekadar ingin bertahan di tanah kelahirannya.
Entah apa yang merasuki jiwa aparat ataupun penguasa hingga membabi buta dalam merelokasi warga Rempang. Kasus Rempang bukan yang pertama kali, ada berbagai konflik yang tersulut karena dalih PSN (Proyek Strategis Nasional). Sebut saja warga Pulau Komodo, konflik Wadas, KSPN Labuan Bajo, dan sejumlah konflik lainnya. Pada intinya, konflik lahan (agraria) dan juga perampasan ruang hidup makin marak. Permasalahannya pun kian kompleks.
Problem perampasan ruang hidup dan perampasan lahan mengundang sebuah pandangan kritis dari Setara Institue. Jelang satu dekade pemerintahan Presiden Jokowi, Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hassan mendesak agar pemerintah segera menghentikan PSN karena dianggap sering berbenturan dengan masyarakat. Hal ini terutama berkaitan dengan HAM. Ia juga berpendapat, dalam PSN, masyarakat adalah pihak yang kerap dirugikan. Masyarakat juga selalu menjadi pihak yang sering dikorbankan, bahkan harus mengalami kekerasan hingga terusir dari tanah kelahirannya (TribunNews.com, 10/12/2023).
Dampak dari perampasan ruang hidup ini kian mengantar kemiskinan ke jurang terdalam. Betapa banyak keluarga yang hidup berbalut kemiskinan. Ibu terpaksa berjibaku dengan kehidupan di luar rumah demi menambah pundi-pundi materi. Beban ganda merampas muruah dan amanah agungnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Banyak perempuan yang ditimpa stres ataupun rasa tak bahagia.
Sementara generasi akan kehilangan ruang bermain yang nyaman dan aman bagi tumbuh kembang fisik, akal, jiwa, dan akidahnya. Mereka juga terampas kasih sayang ayah, terutama ibunya yang sudah melalang buana di kehidupan umum. Selain itu, generasi juga disibukkan dengan sejumlah program pendidikan yang memalingkan mereka dari hakikat hidupnya. Duta wisata, duta lingkungan, duta moderasai, atau program sejenis lainnya menyibukkan mereka pada hal yang sejatinya tak akan pernah menyelesaikan permasalahan perampasan ruang hidup.
Hal itu jelas keterpurukan sedang menguasai kehidupan perempuan dan generasi. Bayang-bayang oligarki yang merupakan anak kandung demokrasi nyata membelenggu ruang hidup mereka. Namun, mengapa pemerintah seperti menutup mata terhadap perampasan lahan yang menyebabkan kesengsaraan pada rakyat? Alih-alih membela rakyat, mereka malah berdiri membela dan melindungi korporasi.
Sudah menjadi rahasia umum, bagaimana Kontestasi politik yang ada saat ini. Biaya kontrstasi politik sangat mahal dalam sistem politik demokrasi. Hal ini melahirkan politik transaksional antara penguasa dan pengusaha. Jadilah kebijakan yang ada ditunggangi dan disetir oligarki.
Jika ditelaah, ada sejumlah kebijakan yang melegalisasi perampasan lahan demi investasi disahkan di tengah derasnya penolakan rakyat. Misal UU 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Omnibus Law UU 11/2020 Cipta Kerja). Kebijakan ini justru menjadi legal formal bagi pengusaha untuk mendominasi penguasa ke mana suka.
Sementara upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik perampasan lahan dan ruang hidup dengan pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) ataupun yang sejenisnya sungguh hanya tambal sulam. Meski narasi seolah ingin yang terbaik bagi rakyat, dengan memberi kompensasi, konsinyasi, advokasi, dll., tetapi tetap saja keuntungan oligarki yang utama didahulukan dan dilindungi. Terlebih lagi, adanya kerja sama antarlembaga seperti ini kerap terjadi, tetapi mandul dalam penyelesaiannya. Buktinya, konflik lahan malah kian subur. Sudah menjadi rahasia umum jika konflik sektoral selalu mewarnai perjalanan sistem pemerintahan dalam demokrasi.
Islam Melindungi Ruang Hidup
Proyek strategis yang digadang-gadang untuk pertumbuhan sebuah negeri, nyatanya berbuah kezaliman, salah satunya perampasan ruang hidup ataupun lahan. Selain itu, kesenjangan sosial, kemiskinan, dan penderitaan rakyat (termasuk perempuan dan generasi) terus menjadi hiasan kehidupan. Penguasa muslim seharusnya tak lagi tutup mata, koreksi tata kelola lahan dan seluruh aturan kehidupan harus ditegakkan.
Balutan sistem demokrasi jelas membawa kesengsaraan dan kezaliman di muka bumi, bahkan merampas ruang hidup dan kebahagiaan seluruh manusia, terutama perempuan maupun generasi. Penguasa tak hadir sebagai pemeliharaan urusan rakyat di negeri ini. Penguasa hanya menjadi regulator yang menjembatani rakyat dengan korporasi dan oligarki. Nahasnya, sejumlah pembangunan strategis itu nyatanya menguntungkan oligarki.
Kondisi tersebut jelas berbeda dengan sistem Islam. Pembangunan dalam sistem Islam merupakan tanggung jawab penuh negara. Negara dalam Islam memiliki visi utama melayani urusan seluruh rakyatnya. Pembangunan yang ditegakkan di tengah rakyat, mulai dari perencanaan, perancangan, modal, hingga pelaksanaan, seluruhnya dipantau dan dikelola oleh negara.
Islam mewajibkan khalifah untuk merancang pembangunan semata demi kemaslahatan umat. Meski pembangunan untuk fasilitas umum, khalifah akan mengkaji seberapa butuh rakyat dan seberapa darurat jika infrastruktur itu tidak dibangun. Apalagi urusan perusahan, khalifah tidak akan pernahmengizinkan perusahaan mana pun merampas ruang hidup hanya demi meraih keuntungan materi. Usaha yang dibangun di tengah rakyat tak boleh sampai menzalimi mereka.
Pembangunan dalam Islam tak sebatas mengacu pada kemajuan fisik yang materialistis. Islam menjadikan pembangunan harus berlandaskan ruhiah yang akan senantiasa mewujudkan kedekatan manusia kepada Penciptanya, yakni Allah Swt. Seluruh bangunan, transportasi, industri, kawasan ekonomi atau pusat industri seluruhnya akan membeawa suasan ruhiah dan menumbuhkan idrak shillah billah. Megahnya bangunan akan membawa ketakwaan kepada manusia, termasuk pada perempuan dan generasi.
Adapun pembangunan industri, selain dilihat dari kemaslahatan umat, prosesnya pun harus memperhatikan hak rakyat. Haram hukumnya negara merampas tanah dan ruang hidup rakyat dengan alasan apa pun, apalagi alasan pembangunan proyek asing. Jika sangat dibutuhkan dan darurat, seperti pembangunan transportasi yang itu harus melewati tanah rakyat, khalifah harus memberikan edukasi dan penyadaran dengan dialog yang penuh hikmah sampai rakyat paham urgensi pembangunan tersebut dan sukarela menjual tanahnya pada negara. Namun demikian, negara wajib mengganti kompensasi dengan harga setimpal beserta jaminan ruang hidup yang layak di tempat lainnya bagi pemilik rumah.
Betapa pentingnya khalifah hadir di tengah umat. Khalifah dalam pemerintah Islam akan menjadi perisai (junnah) dan periayah (pemelihara urusan umat). Nabi saw. bersabda,
«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ عَلَيْهِ مِنْهُ»
“Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim)
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya.” (HR. Bukhari)
Khatimah
Sepanjang sejarah peradaban Islam, membuktikan lahirnya peradaban mulia. Betapa perempuan dan generasi dilindungi, dijaga, dan dijamin keselamatannya. Peradaban Islam telah membawa kesejahteraan, keamanan, dan keadilan bagi seluruh umat manusia, terutama bagi perempuan dan generasi.