Oleh HM Ali Moeslim (Penulis dan Pembimbing Haji & Umroh)
SIAPAPUN yang rindu dengan perubahan, mestinya belajar pada sejarah, mestinya perubahan itu betul-betul bisa mewujudkan perubahan yang hakiki, makanya tidak cukup hanya bermodalkan semangat atau kesadaran akan adanya fakta kedzaliman atau kerusakan semata, juga diperlukan kesadaran ke mana perubahan itu harus diarahkan, jika asal berubah bisa menimbulkan kerusakan berikutnya, bahkan jatuhnya korban atau biaya yang sia-sia. Rasulullah mengingatkan kita dengan sabdanya;
لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ
“Seorang mukmin tidak boleh jatuh ke satu lubang dua kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sejak awal Orde Reformasi hingga rezim Jokowi-Ma’ruf, jualan resep mujarab isu perubahan terus disuguhkan kepada masyarakat. Namun alih alih terjadi perubahan, masyarakat menganggap bahwa kerusakan yang dirasakan selama 10 tahun pemerintahan ini lebih parah dari kerusakan yang ditimbulkan oleh pemerintahan sebelumnya. Misalnya, korupsi di masa ini semakin massif, perekonomian masyarakat semakin terpuruk, utang luar negeri semakin menggunung, pengangguran semakin menggila, penguasaan asing dan aseng terhadap SDA hampir semua dan kebijakan Pemerintah tetap mengabdi kepada oligharki.
Penyebab utama kerusakan ini bukanlah semata personil rezim yang berkuasa, sebab, kalau kita perhatikan personil rezim telah silih berganti, namun kondisi kehidupan masyarakatnya tetap tidak bergeser dari keterpurukan.
Faktor penyebab utama yang sesungguhnya adalah sistem yang digunakan oleh rezim tersebut. Sebab, ketika sistem itu rusak, siapapun personil rezim yang menjalankannya akan menghasilkan kebijakan yang rusak pula.
Untuk menilai apakah suatu sistem itu rusak atau tidak maka harus dilakukan penilaian terhadap ideologi yang mendasari-nya. Sebagaimana diketahui, ada tiga ideologi yang ada di dunia saat ini, yaitu Kapitalisme, Sosialisme dan Islam. Ideologi Kapitalisme dan Sosialisme telah terbukti gagal mengantarkan manusia menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Bahkan keduanya telah menimbulkan berbagai kerusakan hampir di seluruh dimensi kehidupan.
Dengan memperhatikan tuntutan perubahan akhir akhir ini, nampak hanya gerakan revisi saja, perbaikan sistem demokrasi yang kini bercorak oligarki menjadi sistem demokrasi yang pro rakyat. Solusinya perbaikan sistem demokrasi, sekali lagi solusinya tidak beranjak bahwa kerusakan di negeri ini dianggap hanya karena “kerusakan” demokrasi.
Padahal kerusakan yang terjadi sebagai konsekuensi penerapan kapitalisme, bukan semata produk rezim. Jadi, kezaliman yang terjadi hakikatnya merupakan akibat kezaliman sistem politik demokrasi, akidah sekularisme, dan ideologi kapitalisme.
Semestinya, kita belajar dari gerakan Reformasi silam dengan pergantian rezim saja, rezim berikutnya tetap saja melahirkan berbagai UU pesanan para pemodal—sekadar tambal sulam sistem yang makin memberi karpet merah bagi kekuasaan oligarki.
Pasca-reformasi pun tidak pernah lahir UU kecuali selalu bercorak kapitalisme dan neoliberalisme. Dari sini tampaklah bahwa sistem demokrasi dan kapitalisme hanya memberi harapan palsu perubahan.
Terdapat dua model konsep perubahan di dunia. Pertama, Perbaikan (revisi) sistem melalui pergantian rezim. Upaya perubahan lahir dari kesadaran atas berbagai kekurangan dalam peraturan-perundangan yang diterapkan akibat kelemahan rezim dalam menerapkan sistem. Pelaku perubahan tidak pernah memikirkan bahwa akar problematik kehidupan terletak pada ideologi dan sistem yang diterapkan rezim. Perbaikan sistem secara bertahap inilah yang disebut reformasi (islah).
Kedua, Perubahan Menyeluruh (Revolusi) yakni perubahan yang mengharuskan adanya perubahan aspek mendasar, yakni ideologi bagi sebuah negara dan masyarakat. Perubahan mengharuskan terlebih dahulu adanya suatu proses membangun keyakinan, standardisasi, dan pemahaman baru di masyarakat. Ini karena di tengah masyarakatlah sistem kehidupan yang baru akan diterapkan secara keseluruhan, bukan secara bertahap. Perubahan sistem inilah yang dikenal dengan revolusi (taghyir).
Mesti diperhatikan bahwa penentu terjadinya perubahan terletak pada ada tidaknya bangunan ideologi baru yang diterima masyarakat sebagai keyakinan, standardisasi, dan pemahaman hidup mereka. Penerimaan rakyat terhadap ideologi baru tentu karena mereka telah menyaksikan betapa ideologi lama dianggap tidak mampu menyolusi berbagai problematik kehidupan.
Agar terjadi perubahan, Rasulullah SAW memberikan contoh dengan kita melakukan aktivitas dakwah, mengajak masyarakat agar mau diterapkan aturan Allah SWT dan siap memperjuangkannya. Dakwah yang dilakukan Rasulullah saw. tidak hanya berorientasi pada perubahan individual, tetapi berorientasi perubahan sistemik. Mengubah sistem sistem politik, sistem hukum, sistem ekonomi, sistem sosial budaya dan lainnya.
Inilah yang disebut membangun kesadaran ideologis. Rakyat tidak hanya menyadari pentingnya mengganti orang dan sistem yang rusak, tetapi juga memahami bahwa sistem pengganti yang baik dan seharusnya diperjuangkan itu hanyalah sistem yang diturunkan oleh Zat Yang Mahabaik. Itulah sistem Islam.
Bandung, 27 Agustus 2024/22 Safar 1446