Remisi: Refleksi Sistem Hukum dan Solusi dalam Perspektif Islam

Oleh. Sarah Fauziah
(Bandung, Jawa Barat)

Pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly, mengumumkan pemberian remisi kepada 176.984 narapidana dan anak binaan. Pemberian remisi ini dianggap sebagai bentuk apresiasi negara terhadap narapidana yang menunjukkan dedikasi dan disiplin tinggi dalam program pembinaan. Langkah ini juga diklaim menghemat anggaran negara hingga Rp274,36 miliar (tempo.co, 18/08/2024).

Namun, tingginya jumlah narapidana yang mendapat remisi memperlihatkan lemahnya sistem sanksi yang berlaku saat ini. Meskipun remisi diberikan sebagai penghargaan, banyaknya pelaku kejahatan yang tetap kembali ke penjara menunjukkan bahwa sanksi yang ada tidak menimbulkan efek jera yang diharapkan.

Keadaan ini makin diperburuk oleh kondisi lembaga pemasyarakatan yang penuh sesak, atau overkapasitas, dan seringkali dianggap sebagai tempat yang mudah diakses bagi mereka yang mampu membayar. Dalam pandangan Islam, kondisi ini adalah cerminan dari kelemahan sistem hukum yang dibuat oleh manusia dan diterapkan dalam kerangka demokrasi. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pembuat hukum, yang seringkali tidak memberikan jaminan keamanan dan keadilan sejati. Penguasa lebih fokus pada penghematan anggaran dan mengatasi masalah overkapasitas di penjara, daripada mencegah kejahatan sejak awal.

Islam menawarkan solusi melalui sistem sanksi atau uqubat yang lebih komprehensif. Sistem ini tidak hanya mengatur tentang tindakan kriminal, tetapi juga mencakup berbagai aspek kehidupan yang bertentangan dengan ajaran agama. Sanksi dalam Islam dibagi menjadi empat kategori: hudud (sanksi terhadap pelanggaran hak Allah), jinayat (sanksi terhadap tindakan kriminal serius seperti pembunuhan), takzir (sanksi yang ditentukan oleh otoritas berdasarkan jenis pelanggaran), dan mukhalafat (sanksi terhadap pelanggaran peraturan negara).

Keunikan dari sistem sanksi Islam terletak pada dua efek yang dihasilkan: zawajir (efek pencegahan) dan jawabir (efek kuratif). Efek zawajir mencegah individu lain dari melakukan pelanggaran yang sama, sementara efek jawabir berfungsi untuk membersihkan pelaku dari dosa dan mendorong mereka untuk bertobat.

Dengan mekanisme seperti ini, kejahatan bisa ditekan hingga minimal. Selain itu, Islam menekankan pentingnya pendidikan dalam membentuk individu yang berakhlak mulia. Sistem pendidikan Islam bertujuan untuk mencetak generasi yang memahami dan menerapkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika individu yang berpendidikan ini terjun ke masyarakat, mereka akan menjadi pemimpin yang adil dan berusaha menegakkan hukum yang sesuai dengan syariat Islam. Penerapan sistem Islam dalam pemerintahan, diyakini mampu menciptakan keamanan dan keadilan sejati. Dengan landasan hukum yang berasal dari Allah, masyarakat akan hidup dalam kedamaian dan keteraturan, sesuatu yang sangat dirindukan oleh umat saat ini.

 

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi