Refleksi Hari Guru: Anomali Pendidikan Masa Kini

Oleh. Atiqoh Shamila

Twibbon Hari Guru Nasional (HGN) bertebaran di media sosial elektronik beberapa hari ini. Memang, setiap tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru di Indonesia karena tanggal tersebut dianggap berkaitan erat dengan perjuangan guru-guru pada masa lampau. Peringatan Hari Guru 2023 mengusung tema “Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar,” kata “Merdeka” berkaitan dengan kurikulum terbaru yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek yaitu kurikulum merdeka. Harapannya, dapat meningkatkan kualitas kompetensi peserta didik dalam hal literasi, numerasi, soft skills dan karakter.

Tema Hari Guru kali ini menimbulkan sederet pertanyaan mengingat realita generasi tersaji jauh dari harapan. Malah sebaliknya, faktanya generasi terbelenggu dengan berbagai masalah serius mulai dari kriminalitas, kesehatan mental, hingga melejitnya angka bunuh diri. Ada pertanyaan yang menggelitik, sejauh mana tema hari guru kali ini terealisasi pada generasi muda? Banyaknya masalah pada generasi muda yang kian hari kian miris menunjukkan bahwa kurikulum yang diterapkan saat ini tidak tepat dan berpotensi menimbulkan banyak problem. Buktinya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 2,355 pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus 2023 (republika.co.id, 9/10/2023).

Sebagian besar kasus terjadi dalam dunia pendidikan dengan perincian sebagai berikut, korban perundungan 87 kasus, anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, anak korban kebijakan pendidikan 24 kasus dan anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis, 236 kasus dan anak korban kekerasan seksual 487 kasus serta masih banyak lagi kasus-kasus yang tidak terlaporkan ke KPAI.

Ribuan kasus yang terjadi seakan menegaskan sistem kehidupan yang dianut negeri ini tidak memiliki sistem membangun generasi yang berkualitas. Kurikulum Merdeka yang digadang-gadang dapat meningkatkan kompetensi peserta didik pun tak mampu meminimalisir kasus-kasus dalam dunia pendidikan. Wajar, karena kurikulum ini lahir dari sistem yang mengabaikan dimensi ruhiyah bahkan cenderung berorientasi pada dunia saja. Pola sikap dan pola pikir generasi dididik untuk mencapai target-target duniawi sehingga mereka minim sekali yang masih mengenal pahala dan dosa, halal dan haram, benar dan salah menurut syariat. Maka munculnya beragam kasus yang menimpa generasi menjadi suatu keniscayaan karena perbuatan mereka tidak berpedoman pada aturan baku yang telah digariskan oleh Pencipta alam ini.

Kurikulum Terbaik Hanya dengan Islam

Sangat berbeda dengan Islam, Islam memiliki sistem pendidikan yang berkualitas, berasaskan akidah Islamiyah dalam membentuk kepribadian generasi yang tangguh, yang tidak rapuh terkena gempuran arus asing yang merusak. Sejarah mencatat, pada abad ke-10 masehi kota Cordoba ( salah satu kota terpenting dalam peradaban Andalusia) adalah surga bagi para sarjana, penerjemah, filsuf dan intelektual dari semua disiplin ilmu yang berkumpul di sana dalam jumlah besar. Saat itu Cordoba menjadi pusat intelektual Eropa. Dr. Abdurrahman Ali Al Hajji menggambarkan dalam tulisannya tentang pendidikan anak-anak Andalusia pada zaman gemilangnya, “Dahulu, pendidikan masyarakat Andalusia dimulai dari ilmu agama dengan Al-Qur’an sebagai tonggaknya. Setelah itu, baru ada spesialisasi berdasarkan potensinya.” (The Untold Islamic history, hal.193)

Sebagaimana dalam QS Lukman ayat 13 Allah Swt. berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ”Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

Ayat ini menegaskan bahwa akidah adalah pelajaran pertama yang ditanamkan pada anak sebagaimana dialog Lukman kepada anaknya. Lukman menyampaikan kepada anaknya nasehat-nasehat yang mengajak kepada ketauhidan, adab-adab yang baik, dan melarangnya dari kesyirikan.

Nyata, fakta sejarah pun mengungkapkan bahwa selama 14 abad Islam menjadi peradaban emas yang melahirkan generasi cemerlang karena pedomannya adalah Al Quran. Akidah Islam menjadi pondasi pendidikan dasar yang harus ditanamkan lebih awal. Akidah inilah yang akan menjadi tameng menjaga generasi agar tidak keluar dari koridor syariat. Maka sikap dan perbuatan setiap individu muslim dalam sistem ini otomatis sesuai dengan syariat. Tentunya jika Islam diterapkan secara komprehensif dalam semua lini kehidupan.

Terwujudnya generasi yang berkualitas tidaklah lepas dari keterpaduan tiga pilar, yaitu keluarga, masyarakat dan negara. Dari keluarga yang paham syariat Islam akan terbentuk anak-anak yang berkepribadian Islam dan taat syariat. Masyarakat pun auto terbiasa dengan perilaku dan sikap yang Islami, tatkala ada kemaksiatan dan pelanggaran syariat, masyarakatlah yang menjadi sistem kontrol.

Yang tak kalah pentingnya adalah peran negara, negara wajib membuat regulasi yang sejalan dengan syariat, memberi sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran dan melindungi generasi dari arus informasi asing yang berpotensi merusak generasi. Sinergi ketiga komponen inilah yang akan mampu mewujudkan generasi dambaan dan harapan umat, yaitu generasi yang ketaatannya luar biasa namun keilmuannya juga tak diragukan. Wallahu a’lam bisshawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi