Rasisme dan Sikap Hipokrit HAM

Oleh. Ainun Afifah

Prancis  tiba-tiba membara menyusul tewasnya seorang remaja berusia 17 tahun Nahel Merzouk keturunan Aljazair di tangan polisi, yang mencoba menghentikannya karena melanggar lalu lintas, Selasa lalu, 27 Juni 2023. Demonstrasi yang diwarnai kerusuhan pun membara di hampir seluruh kota mulai Rabu, keesokan harinya, dan terus berlanjut (tempo.co, 4/7/2023).

Hal ini bukan pertama kalinya terjadi. Pada tahun 2005, kekerasan meletus di pinggiran Paris Clichy-sous-Bois dan menyebar ke seluruh Prancis setelah dua remaja keturunan Afrika tersengat listrik di gardu listrik saat mereka bersembunyi dari kejaran polisi. Kematian Nahel telah membuka luka lama tentang kekerasan polisi dan rasisme sistemis di dalam lembaga penegak hukum, terutama pada warga non-pribumi berpenghasilan rendah di pinggiran kota besar di Prancis.

Rasis dan Islamofobia di Prancis
Bukan hal yang tabu bahwa rasisme dan islamofobia di Prancis merupakan masalah sosial paling serius. Selain terhadap warna kulit, keluhan rasisme biasanya berupa antisemitisme, serta prasangka terhadap muslim (islamofobia). Data kepolisian 2019 menunjukkan ada 154 tindakan antimuslim dilakukan pada 2019. Pada 1970-an, muncul gerakan anti-Arab. Kelompok Muslim juga selalu merasa dianak-tirikan, misalnya dengan larangan pemakaian burkah.

Sebuah studi yang dilakukan harian Arab News bekerja sama dengan YouGov (firma riset berbasis internet) ada 3 dari 10 responden mengatakan agama atau asal ras memiliki dampak negatif pada karir mereka. Ini juga sejalan dengan hasil sebuah survei pada 2015 dari Institut Montaigne yang menunjukkan bahwa di Prancis nama Mohammed empat kali lebih kecil kemungkinannya untuk direkrut dalam suatu pekerjaan daripada yang bernama Michel.

Bukan hanya terhadap muslim, tapi juga terhadap agama non-Kristen lainnya. Tindakan telah dilaporkan terhadap anggota kelompok minoritas seperti Yahudi, Afrika, dan orang Asia. Dari data yang sama, data kepolisian menunjukkan 1.052 tindakan anti-Kristen dan 687 anti-Yahudi dilakukan pada 2019 di negara dengan populasi lebih dari 67 juta itu.

Paradoks HAM
Penembakan Nahel menggambarkan hal yang paradoks dan hipokritnya HAM yang digadang gadang oleh negara Barat. Slogan menjunjung tinggi kebebasan nyatanya tidak untuk kulit hitam dan muslim. Mereka dengan derasnya menggaungkan HAM tapi pada saat yang sama juga membombardir negeri-negeri muslim dan mendeskriminasi kaum muslim. Parahnya, Barat memonsterisasi Islam dengan narasi teroris, radikal, dan intoleransi. Nyatanya Baratlah yang teroris dan paling intoleran dengan menganiaya Muslim baik negeri mereka maupun negeri muslim sendiri.

Bertambah jelaslah standar ganda dan hipokritnya ide HAM yang lahir dari barat dengan ideologi cacat mereka. Sejatinya, HAM yang digaungkan hanya berpihak pada Barat dan upaya Barat meminggirkan Islam dari kehidupan sekaligus alat untuk menghadang umat islam menegakkan aturan Islam secara kaffah.

Perspektif Islam
Dalam Islam, negara wajib menghormati agama lain dan mewujudkan toleransi sesuai tuntunan Islam. Masyarakat yang heterogen dalam Islam adalah sunatullah yang tidak dapat ditolak bagi setiap negara-bangsa di dunia ini karena sudah dikabarkan dalam Al-Quran Surat al Hujurat ayat 13,

”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Pada masa Islam diterapkan dalam institusi Khilafah dulu, terbukti bahwa Khilafah berhasil memimpin dengan banyak ras, suku, bahkan beragam agama hidup damai dalam naungan Khilafah. Tidak ada sejarah yang mengatakan bahwa Khilafah pernah melakukan diskriminasi terhadap penduduk minoritas sekalipun baik secara historis maupun empiris. Khilafah dapat mempersatukan umat di seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. Bagi non muslim Khilafah bisa menjadi tempat mereka berlindung karena khilafah menjamin perlindungan terhadap rakyatnya, memberikan rasa aman.

Aturan Islam memiliki peran untuk melindungi jiwa. Dalam Islam, jiwa manusia sangat berharga, sebagaimana yang terdapat pada surah Al-Maidah ayat 32, “…Barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia ….”

Sungguh, sejatinya aturan Islamlah yang mampu memberikan rasa damai, aman, dan nyaman kepada masyarakat. Bukan HAM ciptaan Barat yang sarat akan kepentingan. Oleh sebab itu, pentingnya menerapkan islam sebagai sebuah sistem yang mengatur setiap lini kehidupan sehingga tercapai kedamaian dan kesejahteraan yang hakiki.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi