Rancangan Kota Layak Anak (KLA) Membuat Kekerasan Terhadap Anak (KTA) Tetap Mewabah?

Oleh. Asma Sulistiawati (Pegiat Literasi)

Harapan besar bagi seorang anak adalah untuk disayangi, bukan diperlakukan dengan keras. Maka dengan adanya antisipasi kota layak anak (KLA), akankah hal ini bisa diwujudkan?

Setelah menaikkan status kasus penyekapan dan eksploitasi seksual anak di bawah umur ke tahap penyidikan, Polda Metro Jaya akan melakukan gelar perkara pada, Senin (19/9/2022). Dalam kasus ini, remaja putri berinisial NAT (15 tahun) mengaku disekap dan dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun. Lanjut Zulpan, satu calon tersangka ini berperan sebagai perekrut anak ABG tersebut. Namun demikian, calon tersangka itu belum diamankan atau dilakukan penangkapan. Kemudian Zulpan juga tidak membeberkan apakah calon tersangka adalah terlapor berinsial EMT atau orang lainnya.

Sebelumnya, korban NAT tidak mengetahui bahwa pekerjaan yang ditawarkan oleh terlapor berinisalial EMT adalah pekerja seks komersial (PSK). Selama 1,5 tahun itu, ia menghasilkan uang sebagai pemuas nafsu para pria hidung belang. Korban hanya dijanjikan penghasilan yang besar dan akan dipercantik oleh pihak terlapor. Menurut MRT, sebenarnya dia menaruh curiga kepada anaknya terkait pekerjaannya selama 1,5 tahun sejak Januari 2021 silam. Hanya saja, setiap ditanya korban selalu tidak menyampaikan pekerjaan yang sebenarnya. Kemudian setiap pulang ke rumah, korban tidak pernah lama hanya sekitar 20 menit langsung balik lagi ke apartemen tempat dia bekerja sebagai PSK.

Selain itu, kata MRT, anaknya sempat memberikan uang hasil pekerjaannya tersebut. Kemudian ia meminta agar uang tersebut dibayarkan untuk biaya sekolahnya. Namun itu yang pertama sekaligus terakhir, karena setelah itu korban tak pernah memberinya uang hasil dari kerjaannya tersebut. Bahkan selama masa penyekapan itu korban menerima tekanan dan ancaman (Republika.co.id, 19/9/2022).

Dikutip dari Mediaindonesia, sejak Januari hingga Juni 2021, sebanyak 3.122 laporan kasus kekerasan terhadap anak yang masuk Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simponi PPA). Dari jumlah tersebut, angka kekerasan seksual paling mendominasi. Laporan itu masuk melalui layanan call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang baru diaktifkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada Januari lalu.

Dengan kasus yang terlalu membludak membuat penguasa harus berpikir keras bagaimana menyelesaikan. Kasus anak bukanlah hal sepele, karena kasus anak bukannya menurun malah meningkat.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat kenaikan permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual terhadap anak sepanjang 2021 mencapai 426 aduan. Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menuturkan angka laporan ini melonjak 91 persen dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 223 laporan. “Langkah-langkah serius harus segera diambil pemerintah,” kata Edwin melalui keterangan tertulis, Rabu, 26 Januari 2022. (tempo.co, 26/01/2022).

Ini bukan hanya permainan angka saja, tapi tentang harga anak yang sedang dipertaruhkan. Jika melihat catatan statistik, Indonesia termasuk negara gawat kekerasan. Betapa tidak, dari tahun ke tahun memperlihatkan peningkatan kasus kekerasan terutama pada ibu dan anak yang dilakukan para pelaku dan dengan berbagai modus. Ironisnya, fenomena ini masih kurang mendapat tanggapan publik. Padahal, Indonesia sudah menjadi negara dengan kasus kekerasan yang tinggi di Asia. Peran orang tua dalam keluarga yang menjadi bagian dari masyarakat yang sangat minim dalam melindungi, mendidik, dan mengawasi anak-anaknya di dalam pergaulan baik di lingkungan keluarga dan sekitar tempat tinggal.

Ada juga faktor yang disebabkan pendidikan karakter anak di sekolah masih kurang memadai. Sehingga anak-anak sangat mudah terkontaminasi dengan pergaulan bebas dan mudah terbujuk rayu oleh orang-orang yang tidak memedulikan masa depan anak-anak. Kota Layak Anak (KLA) makin banyak diaangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah. Faktanya kekerasan thd anak tak kunjung turun malah makin beragam modus dan makin banyak korban. Hal ini mengindikasikan kegagalan negara dalam melindungi anak dan kemandulan program KLA untuk memberi jaminan sistem, lingkungan yang dibutuhkan anak.

Lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku kekerasan. Sanksi yang diberikan terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek Jera. Faktor penegakan hukum ini cukup memberikan andil terulangnya kembali kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan. Lalu faktor ekonomi dalam keluarga turut memengaruhi terjadinya kasus kekerasan. Berbagai faktor penyebab maraknya kasus kekerasan terhadap anak ini menunjukkan adanya kegagalan sistematis dari sistem kapitalisme- sekuler dalam melindungi keluarga dan anak-anak.

Oleh karena itu, kita butuh sistem pengaturan lain yang lebih melindungi, mengayomi, dan meminimalkan kasus kekerasan, khususnya terhadap anak. Perlindungan anak hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam yaitu dengan tiga pilar, antara lain:

Pertama, ketakwaan individu. Islam mewajibkan negara untuk terus membina ketakwaan rakyatnya, yaitu melalui kurikulum pendidikan. Seluruh perangkat yang dimiliki dan sistem pendidikan baik formal maupun informal. Negara menjaga suasana ketakwaan di masyarakat antara lain melarang bisnis dan media yang berbahaya, semisal menampilkan kekerasan dan kepornoan.

Kedua, kontrol masyarakat. Individu rakyat yang bertakwa tidak akan melakukan kekerasan terhadap anak. Masyarakat bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu masyarakat tidak melakukan pelanggaran terhadap hak anak. Masyarakat juga akan mengontrol negara atas berbagai kebijakan negara dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.

Ketiga, penerapan sistem dan hukum Islam oleh negara secara menyeluruh dalam seluruh aspek.

Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, negara akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok tiap individu (pangan,sandang dan papan), juga akan mampu menjamin pemenuhan kebutuhan dasar akan kesehatan pendidikan dan keamanan dengan begitu, tekanan ekonomi sebagai salah satu faktor pemicu terbesar munculnya pelanggaran terhadap hak anak bisa dicegah dari awal.

Dalam ranah hukum, negara akan memberikan sanksi yang tegas dan keras terhadap pelaku kekerasan maupun kejahatan terhadap anak, baik fisik maupun seksual. Dimana sanksi tersebut mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan orang lain.

Sistem Islamlah yang akan menciptakan suasana kondusif bagi perlindungan terhadap anak dari berbagai faktor pemicu kekerasan terhadap anak, mengunci pintu munculnya kekerasan anak, memberikan hak sesuai fitrah tanpa mengeksploitasi.

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi