Oleh. Zaskia Rifky
(Siswi SMAIT Al-Amri)
Di akhir tahun 2021 ini, masyarakat Indonesia digegerkan dengan maraknya berbagai berita tentang moderasi beragama yang dicetuskan pertama kali oleh Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI) periode 2014-2019 yaitu Lukman Hakim Saifuddin pada tahun 2019. Tentu saja kata moderasi beragama sudah tidak asing lagi di telinga sebagian besar masyarakat.
Kata moderasi beragama itu sendiri dapat diartikan sebagai cara pandang, perilaku, dan sikap yang selalu mengambil jalan tengah, bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama. Moderasi beragama saat ini dianggap penting oleh masyarakat karena adanya keberagaman agama di Indonesia. Adanya moderasi beragama juga dianggap sebagai pemersatu bangsa. Padahal, kenyataan yang ada malah sebaliknya, moderasi beragama itu merupakan senjata baru yang dibuat oleh Barat untuk menyerang Islam dan kaum Muslim, serta menjauhkan mereka dari Islam kaffah dan perjuangannya. Bisa diibaratkan, moderasi beragama hanyalah racun berbalut madu yang bahkan tidak disadari oleh masyarakat yang mengonsumsinya.
Tak hanya itu, Barat bahkan menggunakan ulama-ulama su’u (jahat) yang diberi panggung oleh media-media mereka untuk mendakwahkan tentang moderasi beragama dan diperkuat dengan nash-nash syariat yang diinterpretasi sedemikian rupa sehingga tampaklah “Islam jalan tengah” ini seolah Islam yang sesungguhnya. Menteri Agama saat ini, Yaqut Cholil Qoumas juga berharap para ustadz di pesantren mampu menggaungkan dan mengimplementasikan moderasi beragama. Bagi Yaqut, kalangan pesantren merupakan komunitas yang telah memahami serta menerapkan moderasi beragama dalam kehidupannya. Untuk itu, menjadi tugas pesantren agar nilai itu tersebar ke khalayak luas.
βPesantren itu tidak harus dikuatkan lagi, karena memang sudah kuat kalau soal moderasi beragama. Kita tidak pernah sanksi bahwa pesantren sudah selesai urusan moderasi beragama,β ujar menag dalam keterangan tertulis dikutip dari laman Kemenag RI, Jumat (1/10/2021).
Padahal hakikatnya, moderasi beragama adalah pluralisme. Dr. Hamid Zarkasyi saat menjelaskan asal-usul dan makna pluralisme, menyimpulkan bahwa pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa βsemua agama adalah samaβ. Jelas saja ini sangat berbahaya bagi aqidah ummat karena bisa saja mereka dengan seenaknya pindah agama karena merasa bahwa semua agama benar.
Sungguh miris keadaan ummat di bawah naungan sistem kapitalisme. Mereka tidak sadar bahwa sedang berteman dengan musuhnya sendiri. Musuh nyata yang seharusnya diusir dan diperangi, justru disambut dengan baik. Inilah yang terjadi jika tidak diterapkan sistem Islam.
Radikalisme dan intoleransi yang seolah dijadikan kambing hitam pada problem utama ummat saat ini. Jika kasus radikalisme dan intoleransi ini memang ada, haruskah Islam kaffah yang disalahkan di sini? Tentu saja mereka bisa mempunyai pemikiran yang sedemikian rupa akibat teracuni oleh Barat yang terus mencekoki ummat dengan tsaqofah asing sehingga mereka tidak lagi menemukan jati diri Islam. Mereka dijauhkan dari pemahaman Islam yang benar sehingga muncullah istilah Islamophobia yang diderita oleh kaum Muslim sendiri.
Melihat itu semua, Barat semakin gencar untuk menghancurkan kaum Muslim. Mereka rekayasa Islam agar sesuai dengan nilai-nilai Barat. Salah satunya adalah moderasi beragama yang merupakan proyek mereka saat ini. Sekarang sudah jelas bukan, bahwa moderasi beragama yang menjadi problem utama ummat saat ini? Padahal, semua kunci kebaikan dan solusi atas semua problem yang dihadapi oleh ummat saat ini ada pada agama mereka sendiri, yakni Islam, ideologi yang begitu sempurna.