Radikal, Toxic untuk Negara

Oleh. Azizah Huurun’in

Dunia sedang dibingungkan dengan permainan kata, radikal dan terorisme. Memang tampak menyeramkan dengan sisi negatifnya. Namun, kalau kita melihat fakta yang diberikan, lucu sekali rasanya. Terlihat jelas ketidakadilan yang ditonjolkan.

Bagaimana tidak, baru-baru ini, Indonesia dihebohkan dengan perkataan sang presiden yang membuat daftar penceramah radikal. Nama-nama ustadz yang masyhur pun masuk dalam kategori tersebut. Parahnya, nama yang berada dalam kategori itu tidak diperbolehkan untuk diundang dalam acara-acara resmi.

Isu mengenai radikal dan Islam memang sudah mencuat sejak lama. Kata radikal hanya kamuflase, sebagai bentuk penolakan terhadap Islam kaffah. Sebab, nama yang terlist dalam kategori tersebut adalah penceramah yang ‘lurus’, tidak membelok pada pemerintah atau kepentingan politik.

Para penceramah ini kemudian dituduh antipemerintah, anti-Pancasila yang mana adalah kewajiban setiap rakyat Indonesia untuk menganut paham Pancasila. Maka, gelar radikal pun disematkan kepada mereka.

Semenjak masa pemerintahan periode Jokowi, Islam semakin disudutkan, dituduh tanpa bukti atau membuat bukti agar terlihat bersalah. Berita-berita penangkapan teroris identik dengan ciri muslim taat. Membingungkan, di tengah mayoritas agamanya sendiri, justru mereka ditangkap. Mirisnya lagi, tangan pemerintah memihak ke kubu kaum kapitalis.

Tanda tanya besar di sini. Bukan hanya negara Indonesia, belahan penjuru dunia lain sedang sibuk berperang dengan Islam yang dianggap teroris. De facto, justru umat Islamlah yang diteror, dijajah, digenosida bagai serangga. Padahal, mereka juga manusia yang harus diperjuangkan haknya. Namun, PBB menutup mata dan mulut. Negara lain yang tahu bahwa penjajahan terhadap Palestina, pengusiran di Rohingnya atau penangkapan di Uyhgur adalah kesalahan besar tak beradab, pun hanya menyalurkan bantuan tanpa memberi solusi revolusioner.

Kembali pada kata radikal yang diberikan. Radikal dalam bahasa mereka adalah orang yang terlalu fanatik pada agama, menjadi racun masyarakat karena kefanatikannya yang berlawanan dengan negara. Akhirnya, negara-negara itu menangkap ulama dan ustadz karena berlawanan dengan ideologi kapitalis yang mereka anut. Padahal, jelas kebathilan itu sendiri adalah mereka.

Sudah banyak kasus, bagaimana mereka menyudutkan Islam dengan kata radikal atau membuang jauh ajaran murni Islam. Peristiwa yang heboh mengenai pernyataan Kemenag tentang adzan yang seperti gonggongan anjing atau penangkapan ulama dengan tangan hukum tanpa bukti. Di samping permasalahan radikal dan teroris, masalah ekonomi Indonesia meninggi, menyaingi ributnya isu radikal.

Bobroknya sistem kapitalisme sudah tidak dapat disembunyikan. Kondisi yang tampak adalah menumpuknya permasalah dan ketidakadilan. Saat solusi utama disodorkan, pemerintah menggeleng tegas dan melancarkan serangan.

Islam, agama sempurna yang Sang Pencipta turunkan. Seharusnya menjadi acuan untuk langkah perbaikan negeri ini. Tap,i karena dasar pemerintahan adalah kapitalis, kesejahteraan rakyat dinomorduakan. Para penganut kapitalisme lebih memilih hak pribadi dan fokus menyerang hambatan.

Kemuliaan Islam sudah tercatat berabad-abad lalu, dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Semuanya menyatakan keberhasilan atas sistem ini. Lantas zaman sekarang Islam dipojokkan karena kedengkian dan kerakusan manusia. Egoisme dalam masyarakat justru adalah toxicnya, bukan agama Islam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi