Oleh. Ummu Fatimah, S.Pd.
Masih banyak petani yang mengeluhkan ketersedian pupuk, terutama pupuk bersubsidi untuk menunjang produksi tanaman. Sedangkan sebagai gantinya petani merasa tidak sanggup dengan pupuk nonsubsidi yang harganya mahal. Hal ini sebagaimana yang dialamai oleh sejumlah petani di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan (Sulsel). Mereka mengeluhkan sulitnya mendapat pupuk subsidi jenis urea di pengecer. Mereka menyebut kondisi ini selalu terjadi setiap tahun ketika musim tanam tiba (detik.com, 17/4/2024).
Begitu pula dengan sejumlah petani di Kampung Fajar Mataram, Kecamatan Seputih Mataram, yang mengeluhkan kelangkaan pupuk subsidi di Lampung Tengah di hadapan anggota DPRD Kabupaten Lampung Tengah pada kegiatan reses, Kamis, 18 April 2024. Antonius Rejo salah satu petani mengaku selama musim tanam padi dan jagung kesulitan mendapatkan pupuk subsidi meski telah menyerahkan KTP sebagai sarat administrasi. Namun untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman, petani terpaksa membeli pupuk nonsubsidi dengan harga yang sangat tinggi (lampost.co, 18/4/2024).
Keluhan tidak hanya soal kelangkaan, tetapi juga terkait banyak aturan pemerintah yang dianggap menyulitkan petani dalam mendapatkan pupuk subsidi. Misalnya harus terdaftar di kelompok tani agar bisa memperoleh pupuk dari pengecer. Di mana dalam pendistribusianya, PT Pupuk Indonesia (Persero) menyatakan, pupuk bersubsidi hanya dapat ditebus pada kios pupuk lengkap (KPL) resmi di wilayah masing-masing dan tidak dapat ditebus oleh petani yang tidak terdaftar dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Sesuai dengan7 kriteria yang diatur oleh Permentan Nomor 10 Tahun 2022. Sebagaimana yang disampaikan oleh GM Wilayah 2 Pupuk Indonesia Roh Eddy Andri Wismono di Jakarta Sabtu, 20 April 2024.
Dalam aturan tersebut, petani yang berhak mendapatkan alokasi subsidi pupuk adalah petani yang tergabung dalam kelompok tani, terdaftar dalam Sistem Informasi Manajemen Penyuluh Pertanian (Simluhtan), menggarap lahan maksimal dua hektar, dan menggunakan kartu tani (untuk wilayah tertentu). Pupuk subsidi juga hanya bisa dinikmati oleh petani yang menggarap 9 komoditas tanaman yang ditentukan sesuai aturan seperti padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, kopi, tebu dan kakao. Di luar komoditas itu, petani tidak mendapatkan subsidi.
Selain keluhan langka dan aturan yang terkesan rumit, praktik di lapangan kerap ditemukan penjualannya melebihi harga eceran tertinggi (HET) dan diduga ada permainan mafia pupuk. Sederet masalah pupuk masih menumpuk. Soal jumlah dan kemandirian produksi, bahan baku yang sulit karena ketergantungan dengan impor juga menjadi masalah yang ikut menambahi. Sudah ada upaya pemerintah dengan menambah alokasi dana untuk menambah produksi dalam memenuhi kebutuhan pupuk di tahun 2024 ini, namun belum juga menuntaskan masalah.
Seringkali petani dibuat pusing. Tidak hanya masalah pupuk, semua hal yang menunjang produksi tanaman semua serba dirasa memberatkan. Masuk musim tanam harga bibit, obat pertanian, pupuk semua naik. Giliran panen harga komoditi anjlok, petani seringkali merugi. Lantas kapan petani akan sejahtera. Tentu harus dicarikan solusi mendasar yang ampuh mengatasi semua masalah.
Pupuk, Hak Semua Petani
Menurut hemat kami, permasalahan pupuk ini tidak hanya terletak pada masalah kemapuan produksi dan pengaturan distribusi, tetapi ada masalah sistematis yang berperan. Paradigma kapitalisme telah mewarnai semua sendi kehidupan termasuk pertanian. Ketika semua diukur dengan materi maka urusan pemenuhan kebutuhan rakyat akan memperhitungkan keuntungan dan kerugian.
Adanya pembagian pupuk, yaitu pupuk subsidi dan nonsubsidi bisa jadi merupakan cara negara menekan pengeluaran namun menciptakan kesenjanagan. Padahal seharusnya semua petani mendapat layanan yang sama dalam pemanfaatan pupuk dan setiap hal yang diperlukan dalam bertanam.
Negara harusnya mampu memproduksi pupuk secara mandiri. Tidak bergantung dengan pihak swasta. Tidak bergantung dengan impor. Negara harus mempunyai pabrik pupuk negeri dengan jumlah yang memadai dan cukup memproduksi pupuk dalam memenuhi kebutuhan seluruh petani. Bukan karena biaya produksi tinggi kemudian engan memberi subsidi karena takut merugi.
Masalah kelangkaan disinyalir juga diakibatkan banyaknya oknum yang mencari lahan cuan. Memanfaatkan kewenangan yang mereka punya dengan sengaja menahan distibusi pupuk dan menjualnya dengan harga yang tidak semestinya. Para petani pun tetap membelinya karena terpaksa.
Kapitalisme melahirkan aturan yang merugikan. Kapitalisme juga melahirkan oknum-oknum nakal. Seyogiayanya, kaum muslim, khususnya petani segera campakkan dan pilih sistem yang menyejahterakan.
Perhatian Islam Terhadap Pertanian
Tidak ada sistem yang sempurna selain sistem yang datang dari wahyu Allah Swt., yaitu sistem Islam. Islam hadir dengan seperangkat aturan yang sempurna dan paripurna. Begitu juga dalam mengatur kemaslahatan umat. Sejatinya dalam Islam, negara dalam hal ini khalifah dan juga para pejabatnya adalah pelayan umat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah saw.,
“Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Dalam Islam, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan umat akan selalu mendapat perhatian. Begitu juga kebutuhan petani akan pupuk dan segala macam sarana dan prasarananya dalam bertanam. Negara akan memperhatikan ketersedianya dan mendistribusikannya kepada petani dengan merata tanpa perbedaan. Pupuk sebagai bagian vital dalam penyediaan komoditas pangan yang tidak lain adalah kebutuhan primer rakyat, pengelolaannya tidak semestinya mengandung aspek bisnis ataupun untung rugi.
Negara harus mampu memproduksi pupuk secara mandiri dengan membangun pabrik dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pupuk petani. Tidak bergantung dengan pihak asing dan pihak swasta. Islam memberikan jaminan kepada semua rakyatnya melakukan usaha, termasuk petani. Negara berkewajiban membantu semua petani yang kesulitan, baik berupa modal maupun sarana prasarana dalam produksi pertanian, termasuk pupuk. Hal ini karena petani punya posisi strategis untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dan menciptakan ketahanan pangan dalam negeri.
Selain itu, Islam mempunyai pos-pos pendapatan yang digunakan dalam pembanggunan pabrik pupuk milik negara, mulai dari penyediaan bahan baku sampai dengan proses produksinya. Pos-pos pendapatan negara sangat banyak, seperti jizyah, fai, kharaj, ghanimah, pengelolaan SDA, dan sebagainya. Harta negara itua dikelola oleh baitul mal untuk kesejahteraan rakyaatnya. Negara akan membiayai berbagai macam riset dan penelitian yang membantu petani meningkatkan produksi pertanian, mencari inovasi baru dalam mewujudkanya.
Untuk mengatasi oknum-oknum korup, para mafia, dan pelaku kecurangan, Islam mempunyai sanksi yang akan menjerakan. Tidak hanya itu, secara preventif, Islam senantiasa membangun ketaatan seluruh rakyatnya termasuk para pejabat negara. Islam akan membentuk pejabat dan rakyat menjadi orang yang beriman dan bertakwa sehinga enggan melakukan kemaksiatan. Dengan kembali pada Islam, petani dan rakyat sejahtera, kehidupan aman sentosa. Sudah saatnya Islam kembali diterapkan. Wallahu a’lam bishowab.