Propaganda Terorisme Mengorbankan Nyawa

Oleh. Ahsani Annajma
(Penulis dan Pemerhati Generasi)

Tagar pray for dr.Sunardi menggema dan menjadi trending di jagat maya. Dokter ini dikenal sebagai orang baik, ringan tangan dengan sering memberikan pengobatan gratis. Dokter juga seorang penulis aktifdan telah menghasilkan karya, serta dikenal sebagai pejuang kemanusiaan. Nahas, nasibnya tak seharum namanya. Ia harus menjadi korban, setelah ditembak mati oleh Densus 88 karena diduga menjadi gembong teroris (9/3/2022). Saat proses pembekukan, korban dinyatakan melawan, sehingga ditembak hingga tewas di tempat. Padahal, menurut kesaksian orang di sekitarnya, korban sudah mengalami keterbatasan fisik, bagaimana mau melawan?

Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) mengungkapkan, terduga merupakan kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) dan menjabat sebagai Amir Hikmat, aktif di lembaga kemanusiaan Hilal Amar Society (pikiranrakyat.com, 10/3/2022). Baru terduga, belum berstatus resmi menjadi  pelaku, sudah dihabisi dengan biadab? Di mana keadilan yang seringkali diteriakkan oleh kelompok HAM dan kebebasan?

Di sinilah letak kejanggalan, tindakan aparat yang menggunakan senjata api untuk melumpuhkan terduga atau tersangka dalam proses sistem peradilan pidana disebut extrajudicall kiilling (tindakan merampas nyawa di luar putusan pengadilan). Hal ini secara otomatis akan menghilangkan hak hidup dan hak tersangka jika nantinya terbukti tidak bersalah.

Publik heran dan mempertanyakan sikap BNPT yang gerabak-gerubuk membidik oknum yang baru terduga dan menimbulkan potensi keresahan masyarakat. Mengapa sikap cekatan ini tidak ditunjukkan juga pada aksi teroris KKB Papua yang jelas-jelas membunuhi orang-orang yang tak bersalah dengan sangat beringas serta menimbulkan teror di tengah masyarakat Papua? Mereka tidak sekadar melakukan teror, bahkan menampakkan keberanian ingin melepaskan diri dari NKRI. Namun sayang, belum terlihat tindakan tegas sedikit pun dari aparat negara. Mengapa demikian?

Menyasar Islam dan Ajarannya

Terorisme, radikal, dan kawan-kawannya seperti sudah menjadi makanan sehari-hari rakyat hari ini. Sejak awal kemunculannya, seperti tragedi bom Bali, serta drama penangkapan para peneror itu, membuat publik berpikir seolah mereka ada dan nyata. Namun, seiring berjalannya waktu, isu ini bagaikan sajian drama yang telah tertulis dalam skenario dan disutradai dengan kemasan yang apik. Meski beberapa orang tidak percaya, namun tidak sedikit pula yang masih termakan oleh skenario ini. Beberapa terduga teroris langsung ditembak mati di tempat, membuat publik bertanya benarkah teroris itu ada?

Meninjau istilah terorisme, berarti mengacu pada tindakan yang menebar teror atau ketakutan. Artinya, segala tindakan yang mengarah pada menebarkan rasa takut dapat diduga sebagai terorisme. Pada kenyataannya, isu terorisme yang kembali digoreng saat ini selalu menjadikan Islam sebagai bulan-bulanan. Terbukti, beberapa kasus temuam terorisme diiringi dengan identitas yang tertinggal, dan teridentifikasi seorang muslim. Mereka pun membunuh karakter seorang muslim, dengan image good looking adalah radikal, tercermin pada orang yang menutup aurat dengan sempurna, baik laki-laki dan perempuan, berjenggot, memiliki perilaku santun, dan dikenal baik dalam pergaulan masyarakat, mampu bahasa arab, dan lainnya.

Tak hanya itu, para eksekutor juga membidik ajaran Islam dengan menstigma negatif ajaran jihad dan Khilafah. Mereka menilai seorang muslim yang taat yang berpegang teguh dan mempelajari hukum-hukum syariat, seakan-akan wajib diwaspadai dan dicurigai sebagai gembong teroris.

Stigma dan Islamofobia Merugikan Muslim

Tidak dimungkiri, stigma negatif ini secara tidak langsung akan menjauhkan kaum muslim dari agamanya. Sikap Islamofobia terhadap agamanya sendiri makin menguat. Mereka menjadi takut untuk mempelajari Islam secara kaffah (menyeluruh). Kalau umat sudah takut dan jauh dari Islam, tidak tahu jati dirinya sebagai muslim, maka  kebangkitan Islam dan umatnya hanyalah angan-angan kosong. Hal ini adalah yang menjadi cita-cita Barat sejak dahulu agar umat Islam hancur berkeping-keping tak bersisa selain jasad.

Belajar dari kasus di India, yang menyerukan genosida kepada kaum muslim adalah pendeta Hindu. Mengapa perang terhadap terorisme dan radikalisme ini seolah hanya ditujukan kepada kaum muslim saja? Kelihatannya benar, sebagaimana yang disampaikan oleh jurnalis investigatif Australia, John Pilger, bahwa korban terbanyak dari terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya, tidak ada perang melawan terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme.

Dalam salah satu artikel yang tertulis di lamannya, John Pilger menyebutkan bahwa,  Amerika sebagai aktor utama yang menyebabkan umat Islam menjadi korban terorisme. Lebih lanjut, John Pilger menyatakan AS menggunakan segala kekuatannya untuk menjadi teroris terbesar di dunia. Kampanye War on Terrorism (WOT) yang di setting AS, hanyalah legitimasi untuk melakukan agresi militer demi kepentingan politik.

Akal-akalan Barat

Dalam catatan sejarah, isu terorisme ini muncul pasca peristiwa serangan WTC 9/11 di kota New York, (AS) tahun 2001. Sejak saat itu, Amerika menyatakan War on Terrorism dan diikuti oleh seluruh negara di dunia untuk melawan terorisme. Padahal, sejatinya Amerikalah otak dibalik pemboman dan pembunuhan masyarakat tak berdosa di negara itu.

Namun realitasnya, narasi WOT ini hanya ditujukan kepada Islam saja. Invansi yang terjadi di sejumlah negeri-negeri Islam seperti agresi AS atas muslim di Irak dan Suriah, penjajahan Israel atas muslim Palestina, pembantaian atas muslim India oleh kaum Hindu, penindasan dan kriminalisasi muslim Uighur oleh Cina, dan genosida muslim Rohingnya yang dilancarkan oleh etnis Budha di Myanmar, atas pelakunya tak pernah dilabeli dengan sebutan terorisme. Padahal perbuatan mereka terkategori tindakan teror bahkan pelanggaran HAM berat.

Sementara kelompok-kelompok Islam atau seorang muslim yang dicurigai berafiliasi dengan gerakan teroris ditindak tegas, dilabeli teroris, ditangkap, bahkan ditembak mati walau keterlibatan mereka sebatas dugaan. Karenanya, isu terorisme yang sering diangkat oleh negara-negara Barat ditujukan hanya untuk menyerang Islam. Bahkan dipropagandakan di negeri-negeri muslim, tak terkecuali Nusantara. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah untuk menciptakan framing buruk dan fobia terhadap Islam. Padahal, Islam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan teror. Sementara pelakunya sampai sekarang masih bebas berkeliaran.

Berharganya Nyawa Seorang Muslim dalam Islam

Sejatinya, apa yang kita saksikan hari ini sangat menyayat hati. Bukan hanya sekali terjadi, melainkan berkali-kali membuat seorang muslim dikorbankan hingga kehilangan nyawanya. Ingatkah peristiwa eksekusi biadab terhadap enam orang yang pernah terduga teroris? Kasus yang sama terjadi lagi oleh dokter Sunardi, penembakan secara biadab oleh kekuatan bersenjata dari aparat negara telah membuat mereka kehilangan hak hidupnya. Mirisnya, insiden itu melibatkan sesama muslim. Bukankah Rasulullah Saw. lewat hadisnya sudah mengingatkan kepada kita bahwa nyawa seseorang mukmim lebih berharga dari nilai dunia dan seisinya?

“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR Nasai, Turmudzi)

Artinya, nyawa seseorang bukanlah seperti barang atau mainan, yang jika tidak suka dapat dirusak dan dibuang begitu saja. Namun, mengapa saat ini nyawa tak ubahnya mainan rosok yang tak berguna? Mudah sekali orang melayangkan nyawa? Dalam Islam, darah dan nyawa seorang muslim sangat dilindungi, dan haram untuk ditumpahkan tanpa alasan yang hak.

“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian haram atas kalian seperti haramnya hari ini, di bulan ini, di negeri ini.” (HR Muslim 3009)

Pembunuhan dalam Islam merupakan dosa besar. Islam sebagai aturan kehidupan, tak hanya berhenti dengan mengatakan betapa berharganya nyawa seorang muslim. Lebih dari itu, Islam juga memberikan serangkaian hukum yang merealisasi penjagaan atas nyawa layaknya sesuatu yang sangat berharga. Penjagaan nyawa itu hanya bisa terealisasi dengan kekuasaan eksekutif yang menerapkan serangkaian hukum Islam secara kaffah (menyeluruh).

Penjaga itu tidak lain adalah khalifah laksana perisai yang menerapkan syariat Islam serta menjamin pelindungan nyawa manusia. Islam memandang sanksi hukum ini sebagai zawajir (tindakan preventif) dan jawabir (kuratif). Sehingga, orang lain yang akan melakukan kesalahan yang sama, dapat dicegah dan tidak muncul keinginan yang sama. Untuk mencegah pembunuhan yang disengaja, Islam memberikan sanksi yang keras berupa hukuman qishash kepada pelaku pembunuhan. Allah SWT. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh: orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan wanita dengan wanita.” (QS Al-Baqarah: 178).

Qishash adalah tuntutan hukuman mati atas pembunuh karena permintaan keluarga korban. Hukum ini memberikan rasa keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan, sekaligus menjadi pencegah tindakan kejahatan serupa. Jika keluarga korban tidak menghendaki qishash, mereka juga bisa menuntut diyat atau denda pada para pelaku pembunuhan. Diyat yang dimaksud adalah 100 ekor unta, 40 di antaranya dalam keadaan bunting.

Begitulah mulianya syariat Islam dalam melindungi nyawa manusia. Karena itu, sepanjang sistem Islam tegak sejak Rasulullah Saw. di Madinah, kemudian dilanjutkan oleh Khulafaurrasyidin, seorang muslim mendapatkan perlindungan yang luar biasa. Tidak setetes pun darah tumpah melainkan ada pembelaan dari negara. Bahkan, para pelaku kriminal pun masih mendapatkan perlindungan sampai kemudian terbukti mereka bersalah di pengadilan dan layak mendapatkan hukuman setimpal, termasuk hukuman mati.

Ironi yang kita saksikan hari ini, betapa murahnya nyawa seorang muslim. Begitu pula tidak terjaga dan tidak ada jaminan perlindungan negara. Padahal, semestinya negaralah yang berwenang menjamin keselamatan nyawa rakyatnya. Cukup melabeli mereka dengan stempel terorisme atau radikalisme, kehormatan dan darah mereka bisa dirusak kapan saja.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi