Oleh Naning Prasdawati, S.Kep.,Ns
(Komunitas Setajam Pena)
Keluarga merupakan penentu dan kunci dari kemajuan suatu negara. Oleh karena itu, pemerintah berusaha mewujudkan keluarga yang berkualitas yang intervensinya dimulai sejak prenatal (masa sebelum kehamilan), masa kehamilan, dan masa 1000 hari pertama kehidupan manusia. (Kemenkopmk, 30/06/24)
Karena itu, intervensi dilakukan negara terutama pada perempuan. Mulai dari remaja putri dengan pemberian tablet tambah darah untuk memastikan mereka betul-betul sehat dan kelak setelah menikah, siap hamil, bimbingan perkawinan bagi calon pengantin, cek kesehatan sebelum menikah, cek HB darah, cek lingkar lengan, dan memberikan intervensi gizi untuk ibu dan bayi hingga 1000 hari pertama kehidupan. (Kemenkopmk, 30/06/24)
Selain itu pemerintah juga menyediakan fasilitas pemantauan kesehatan dan gizi ibu dan bayi yang terstandar di Posyandu dan Puskesmas mulai dari alat timbang terstandar, alat ukur antropometri, dan juga penyuluhan gizi dengan kader-kader yang terlatih. Diharapkan program ini dapat mempercepat penurunan stunting hingga mencapai target sesuai ketentuan SDG’s yakni dibawah 20%. (Kemenkopmk, 30/06/24)
Sekilas dapat kita saksikan bahwa solusi yang dicanangkan oleh pemerintah masih di level teknis, antisipatif bukan kuratif dan bahkan tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Jika permasalahan kualitas generasi dititik beratkan hanya pada peran keluarga, faktanya fungsi keluarga hari ini tidak dapat terwujud dengan baik. Hal ini disebabkan karena realitas sulitnya beban hidup yang harus dipikul keluarga. Beban kemiskinan, sulitnya lapangan pekerjaan, biaya hidup yang tidak murah, perceraian, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), stunting, terjerat judol, pinjol dan lain sebagainya.
Munculnya perkara ini tidak saja karena kualitas SDM (sumber daya manusia) yang rendah, lebih dari itu, kondisi ini disebabkan oleh hal yang lebih sistemik. Kemiskinan dan ragam kesulitan yang membelit masyarakat hari ini, akibat dari kebijakan negara yang berdampak pada kualitas dan fungsi keluarga. Sebagai contoh, legalisasi UU (undang- undang) Minerba yang menghalalkan pihak swasta pemilik modal untuk terus menerus menguasai kita. Dan ini secara tidak langsung menyebabkan kemiskinan struktural. Karena hasil SDA yang harusnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat, seperti membiayai sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain, justru hasilnya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.
Akibatnya, banyak keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan. Anak-anak mereka stunting karena orang tuanya tidak mampu memberikan gizi terbaik. Belum lagi jika beban ekonomi ini menjadikan orang tua tidak dapat memberikan perhatian yang serius pada asupan anak dikarenakan kesibukan keduanya untuk mencari nafkah demi kebutuhan keluarga. Dimana hal ini pun juga tidak menutup kemungkinan terjadi masalah turunan lainnya, seperti perselingkuhan di dunia kerja yang berujung pada perceraian dan lainnya.
Belum lagi, generasi berkualitas yang dimaksud dalam program tersebut juga butuh dikaji definisinya. Jika hanya mengejar orientasi kualitas seperti kesehatan fisik, kecerdasan intelektual dan lain-lain. Maka jelas bahwa orientasi kebijakan tersebut hanya bervisi duniawi. Padahal tingginya peradaban yang kelak akan diwujudkan generasi mendatang, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan hal-hal yang sifatnya fisik dan duniawi semata.
Sejatinya, bangunan keluarga ideal tidak akan pernah terwujud di dalam sistem sekuler kapitalis hari ini. Keluarga ideal hanya mampu diwujudkan dalam negara yang mengadopsi Islam tidak hanya sebagai agama namun sebagai sistem kehidupan. Sebab, Islam tidak saja mengatur ibadah ritual, namun Islam juga memiliki seperangkat aturan kehidupan yang paripurna, termasuk konsep tentang kehidupan keluarga.
Sebelum bangunan keluarga terbentuk, Islam telah menyatakan bahwa akad pernikahan merupakan mitsaqan ghalidzan (ikatan yang kuat). Ikatan ini akan mendorong setiap pasangan untuk berupaya menjaga keutuhan rumah tangganya semaksimal mungkin. Sebab, selain akad ini disaksikan oleh segenap keluarga dan masyarakat, lebih dari itu, akad ini juga akan Allah mintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Kehidupan yang dijalankan setelah pernikahan haruslah mampu mewujudkan ketenangan, kenyamanan serta cinta dan kasih sayang diantara pasangan.
Islam juga mengatur sejumlah hak dan kewajiban setiap pasangan agar kehidupan dalam rumah tangga berjalan harmonis. Sebagaimana Allah berfirman di dalam QS. Ar Rum : 21, kepemimpinan atau qawwam dalam keluarga berada ditangan suami.
Tugas ini merupakan kewajiban yang Allah berikan kepada laki-laki. Kepemimpinan disini tidak bermakna diktator. Seperti di dalam QS. An Nisa’ : 34 bahwa kepemimpinan di dalam berumah tangga merupakan kepemimpinan yang membawa kebaikan dan maslahat bagi kedua belah pihak. Makna qawwam disini artinya meluruskan, yakni laki-laki bertugas untuk menjaga seluruh kepentingan istrinya baik kepentingan dunia maupun akhirat. Selain itu, Allah juga meletakkan kewajiban nafkah ada di pundak laki-laki (QS. Al Baqarah : 233).
Sedangkan dari sisi peran istri, maka Allah menjelaskan di dalam QS. At Tahrim : 6, bahwa kewajiban istri adalah menjadi al-umm wa rabbatul bayt dan madrasatul ula. Konsep ini akan menjadi jalan terwujudnya pendidikan aqidah dalam keluarga. Ketika peran ini berjalan beriringan, maka bukan hal yang mustahil untuk bisa mewujudkan generasi berkualitas, generasi sholih dan sholihah.
Namun, untuk mewujudkan tatanan kehidupan keluarga yang ideal ini, tentu membutuhkan support system yang mumpuni. Dalam Islam, negara diposisikan sebagai raa’in dan junnah untuk membangun kebijakan dalam rangka menyiapkan keluarga tangguh dan melahirkan generasi cemerlang pembangun peradaban mulia.
Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menjamin jalur penafkahan sehingga kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Disamping pengelolaan harta kepemilikan umum yang alokasinya adalah mengcover kebutuhan asasi masyarakat, seperti kebutuhan terhadap akses pendidikan, kesehatan secara langsung. Negara juga akan menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya agar kaum laki-laki dapat menjalankan perannya dengan optimal.
Selain itu, sistem pendidikan Islam yang diterapkan juga akan membantu pendidikan aqidah generasi diluar pendidikan yang diajarkan orang tua di rumah. Ditambah sistem pergaulan Islam yang akan menjaga interaksi diantara masyarakat agar tetap bersih, terhormat dan benar. Dari sini terlihat jelas perbedaan konsep keluarga yang dibangun dalam Islam vs Kapitalisme. Maka sudah saatnya, kita hijrah menuju penerapan Islam Kaffah agar mimpi mewujudkan generasi berkualitas tidak lagi menjadi ilusi.
Wallahu a’lam bis ash-shawab.