Oleh. Asrofah
(Pemerhati Masalah Remaja)
Proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) sering kali diwarnai dengan berbagai kekisruhan yang merugikan rakyat. Di berbagai daerah, kita menyaksikan mobilisasi kepala desa (kades) untuk mendukung calon tertentu, praktik suap yang mencoreng demokrasi, serta janji-janji yang tidak realistis. Salah satu contoh terbaru adalah pernyataan calon bupati yang viral karena menjanjikan pemilihnya masuk surga.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), K.H. Zainut Tauhid Sa’adi, menilai kampanye semacam ini sangat berlebihan dan melampaui batas kepatutan. Menurutnya, masalah surga dan neraka adalah hak prerogatif Tuhan, bukan hak seseorang untuk menentukan. Kiai Zainut juga mengingatkan bahwa calon bupati seharusnya menyadari bahwa mereka akan memimpin daerah dengan keragaman etnis, agama, dan budaya. Oleh karena itu, narasi kampanye harus menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman dan persatuan.
Kiai Zainut meminta seluruh kontestan Pilkada untuk menghindari kampanye yang bersifat hitam, saling menjelekkan, dan memfitnah. Sebaliknya, kampanye sebaiknya menekankan visi, misi, dan program-program yang mendidik dan mencerdaskan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa harapan ini sering kali terabaikan.
Kekisruhan dalam Pilkada mencerminkan bahwa rakyat, yang seharusnya menjadi pusat perhatian dalam sistem demokrasi, justru sering kali menjadi korban dari berbagai kepentingan. Proses pemilihan yang seharusnya transparan dan adil sering kali dimanfaatkan oleh oligarki untuk mengamankan kekuasaan dan kepentingan mereka. Biaya yang dikeluarkan untuk Pilkada sebagian besar berasal dari uang rakyat, namun hasilnya malah menciptakan masalah baru. Masyarakat terpecah-belah, konflik horizontal muncul, dan ketidakpuasan terhadap pelayanan publik meluas. Rakyat yang berharap pada perubahan justru mendapati kondisi yang lebih buruk.
Mobilisasi kades untuk pemenangan calon tertentu memang sering terjadi dalam setiap kontestasi, tetapi pada November 2024 ini terlihat semakin masif. Kades yang dipilih langsung oleh masyarakat memiliki basis massa yang kuat dan berpengaruh terhadap warganya. Dalam struktur pemerintahan desa, kades merupakan pengambil keputusan serta memiliki kendali atas anggaran desa. Oleh karena itu, mereka menjadi ujung tombak elite politik dalam memuluskan keinginan politik, dan sering kali aktif mencari peluang untuk mendekati calon paslon demi mendapatkan imbalan atau akses kekuasaan.
Politik kotor dalam Pilkada juga erat kaitannya dengan praktik politik uang. Suap berkedok pengajian sering terjadi menjelang pemilihan. Dalam kondisi ini, para kandidat merasa dibenarkan untuk melakukan segala cara demi meraih kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa sistem politik yang ada telah menjadi sangat transaksional, di mana jual beli jabatan dan kebijakan menjadi hal yang umum. Dengan biaya Pilkada yang diprediksi mencapai lebih dari Rp41 triliun, jelas bahwa rakyat yang menjadi sumber utama pendanaan ini harus menanggung beban yang berat. Sebagian besar dari dana tersebut berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat.
Sebagai akibat dari sistem yang berbiaya tinggi ini, muncul fenomena “bohir politik” atau pemilik modal yang bersedia menjadi sponsor bagi para elite politik. Sistem ini menciptakan ketergantungan yang merugikan rakyat, karena keputusan kebijakan sering kali lebih menguntungkan oligarki daripada masyarakat. Infrastruktur dan program pembangunan lebih sering diarahkan untuk memenuhi kepentingan para sponsor daripada kebutuhan dasar rakyat, seperti perbaikan jembatan yang sudah reyot atau pengembangan layanan publik yang lebih baik.
Di tengah ketidakpuasan ini, alternatif sistem pemerintahan yang diusulkan oleh Islam menawarkan solusi yang lebih baik. Dalam sistem Islam, penunjukan kepala daerah (Wali dan Amil) dilakukan oleh Khalifah, yang bertugas berdasarkan kebutuhan masyarakat dan mengutamakan amanah. Sistem ini menciptakan akuntabilitas yang lebih baik, karena kepala daerah tidak hanya bertanggung jawab kepada pemilih, tetapi juga kepada Khalifah dan, pada akhirnya, kepada Allah.
Khalifah bertugas memilih individu yang amanah, berintegritas, dan memiliki kapabilitas. Dengan kepemimpinan yang tepat dan penerapan hukum syariat, rakyat akan dikelola dengan baik. Dalam sistem ini, kesejahteraan masyarakat bisa lebih terjamin karena kebijakan diambil berdasarkan prinsip keadilan dan kepentingan umum. Oleh karena itu, dengan penunjukan kepala daerah oleh Khalifah, proses pemilihan menjadi lebih sederhana dan tidak memerlukan biaya tinggi seperti dalam sistem demokrasi saat ini.
Kisruh dalam proses Pilkada ini menunjukkan bahwa sistem demokrasi yang ada saat ini masih memiliki banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Rakyat sering kali terjebak dalam permainan politik yang merugikan mereka. Harapan untuk memiliki pemimpin yang amanah dalam sistem demokrasi nyatanya hanya ilusi, karena sistem ini justru melindungi kepentingan oligarki. Dengan demikian, perlu adanya pemikiran ulang tentang mekanisme pemilihan yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat. Hanya dengan pendekatan yang lebih berlandaskan pada amanah dan integritas, diharapkan rakyat bisa hidup lebih sejahtera dan tidak lagi menjadi korban dalam proses politik yang ada.