Muhammad Ayyubi ( Direktur Mufakkirun Siyasiyyun Community)
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 akan tetap berjalan sesuai mandat Undang-Undang (UU). Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Kamis, 14 November 2024.
Kenaikan PPN 12 persen akan menaikkan harga harga di pasar secara siginifikan. Keadaan ini akan memukul daya beli masyarakat lebih kuat lagi. Karena lima bulan berturut turut sebelumnya deflasi tidak bisa dihindarkan.
Beban masyarakat semakin berat, ditengah PHK ribuan pekerja, sebagian industri yang berhenti karena kalah bersaing di pasar domestik, turunnya harga hasil pertanian akibat impor gila gilaan dan tsunami judol yang semakin membuat masyarakat kehilangan sebagian besar penghasilannya.
Kebijakan pemerintah menaikkan PPN menjadi 12 persen bisa dibaca sebagai sinyal bahwa keuangan negara sedang menipis akibat kebijakan kebijakan yang salah oleh pemerintah.
IKN, kereta api cepat, PSN PIK 1 dan 2, proyek jalan tol dan food estate salah salah dari proyek proyek yang menggerus pundi pundi APBN.
Maka tidak heran jika hutang luar negeri yang digagas pemerintah baru Prabowo dan kenaikan PPN 12 persen tidak bisa dihindarkan demi menjaga keberlangsungan roda ekonomi negara.
Sistem ekonomi kapitalisme yang tengah dijalankan pemerintah terbukti tidak bisa menyejahterkan rakyat, justru sebaliknya menyengsaraka rakyat dengan pajak yang tinggi, pungutan pungutan serta pemangkasan subsidi yang sejatinya hak rakyat.
Bandingkan dengan sistem ekonomi Islam yang dijalankan oleh Khilafah. Di mana sumber pemasukan utama negara dari sumber daya alam sebagai kepemilikan umum yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Misal batu bara, BBM, emas, perak, mineral, gas bumi, nikel, hasil hutan, hasil laut dan sejenisnya.
Prof. Fahmi Amhar pernah melakukan simulasi perhitungan pendapatan negara Khilafah dari Sumber daya alam ini jika dikelola oleh negara. Di dapati total pendapatan negara setiap tahunnya sebesar Rp. 5.500 triliun. Sungguh fantastis, jumlahnya dua kali lipat total APBN Indonesia yang hanya Rp. 2.200 triliun. Padahal baru kekayaan alam saja, belum ditambah dengan sumber pandapatan lainnya.
Ditambah lagi dari sumber ghanimah, fai, jizyah, kharah, usyur, rikaz, khumus, zakat dan dharibah. Tentu dengan sumber pemasukan negara yang melimpah seperti itu akan membuat Khilafah menjadi negara yang kaya raya dan tidak perlu lagi hutang luar negeri apalagi hutang swasta.
Praktik demikian itu pernah dan telah dijalankan di masa masa Khilafah yang terdahulu, sebagai contoh pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz dalam riwayat disebutkan tidak ditemukan lagi orang yang berhak menerima zakat karena tidak ada lagi delapan asnaf yang wajib mendapatkannya.
Kemakmuran rakyat ketika itu sudah pada titik di mana setiap orang terpenuhi hajat asasinya orang per orang. Prestasi yang tidak pernah dan tidak akan bisa diraih oleh sistem ekonomi mana pun di dunia ini.
Dengan sejarah yang gemilang seperti itu, tidak kah anda rindu untuk mengulang kembali masa keemasan Khilafah itu?[]