Oleh Nur Aisah Salsabila
Isu baru yang menjadi perhatian saat ini adalah, rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Itu artinya beban masyarakat Indonesia meningkat, yang semula PPN 11 persen menjadi 12 persen, akan naik pada 1 januari 2025 (antaranews.com 16/11/24).
Penerapan tarif baru PPN sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tarif tersebut jadi terbesar kedua di ASEAN menyamai tarif Filipina yang saat ini sebesar 12 persen (cnbcindonesia.com 15/11/24).
Sri Mulyani Indrawati selaku menteri keuangan, juga sudah menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN awal tahun harus tetap berjalan. Dan yang menjadi tujuan utama kenaikan PPN adalah, untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang.
Namun, faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi utang. Sementara yang pasti adalah, menambah kesengsaraan rakyat, terlebih di tengah situasi ekonomi yang sulit saat ini, juga menyebabkan menurunkan daya beli masyarakat, dan kesusahan lainnya. Ditambah adanya problem korupsi dan pemerintah yang gemar berutang.
Pelaku usaha meminta pemerintah menunda kebijakan baru tersebut, khawatir akan memicu lonjaknya harga barang yang semakin menekan daya beli masyarakat terutama masyarakat mengengah bawah. Karena, ketika PPN naik maka harga barang dan jasa juga naik. Masyarakatpun harus lebih menghemat lagi untuk mengeluarkan uangnya, alhasil daya beli konsumsi rumah tangga akan menurun. Maka, perputaran ekonomipun terhambat.
Keinginan awal menaikkan PPN untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi hutang negara. Justru, akan menjadi bom waktu yang membahayakan kestabilan ekonomi negara di masa mendatang.
Situasi ini adalah konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Padahal, pajak menjadi beban berat bagi masyarakat. Di sisi lain, negara hanya menjadi regulator dan fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal. Faktanya, sebagian besar pembangunan yang ada tidak banyak memberi pengaruh nyata pada nasib rakyat. Negara gagal menjamin kesejahteraan bagi setiap individu rakyat.
Sistem yang berasaskan sekuler saat ini, telah nyata gagal membawa kebaikan bagi umat manusia. Aturan dalam sistem ini diserahkan pada akal manusia yang hanya menguntungkan segelintir pihak yakni para oligarki. Yang tidak memiliki kekuasaan akan tersingkir. Fakta ini tampak pada kasus pajak yang diberlakukan saat ini, pajak yang diharap bisa menunjang kesejahteraan rakyat, justru dilahab oleh pejabat yang korup.
Berbeda dengan sistem Islam, kepemimpinan dalam Islam menjalankan fungsi ra’awiyah (pengurusan urusan rakyat). pemimpin mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab. Islam menentukan sumber pendapatan negara dari banyak pos, untuk mencukupi berbagai kebutuhn rakyat, memudahkan akses rakyat untuk mendapakannya dengan mudah, bahkan gratis.
Sedangkan pajak (daribah) bukan menjadi sumber utama pemasukan negara, negara memungut pajak ketika keadaan tertentu saja yakni saat negara sedang kekurangan. karena wabah atau bencana. itupun dikenakan pada orang kaya saja, setelah tercukupi seluruh kebutuhannya. Realisasi dari pemasukan negara, untuk mendukung terwujudnya kesejahteraan rakyat, berupa kemudahan akses pemenuhan kebutuhan pokok dan sistem upah yang manusiawi sehingga masyarakat hidup sejahtera.
Wallahu a’alam bis ash-shawab.