PPN Merangkak Naik, Ekonomi Rakyat Makin Tercekik

Oleh. Nur Afni
(Ibu Peduli Negeri)

Sudah menjadi ciri khas dalam sistem demokrasi yang menjalankan ekonomi negara ditopang oleh utang dan pajak. Saat negara tidak mampu lagi menambah utang, maka di saat itu pula negara mengambil kebijakan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Rakyat senantiasa dihipnotis dengan berbagai slogan bijak, yang menyatakan “orang bijak taat pajak” atau slogan lain yang secara eksplisit mengatakan bahwa dengan membayar pajak, maka rakyat turut berkontribusi membangun negara yang hasilnya hanya untuk kemakmuran hidup rakyat. Benarkah demikian?

Dalam dunia perekonomian, kebijakan fiskal selalu menjadi topik yang menarik karena menyentuh hajat hidup orang banyak. Salah satu isu yang kini tengah menjadi perhatian adalah rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, juga sudah menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN awal tahun depan tetap berjalan. Bahkan beliau mengatakan, “Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannnya,” kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Rabu (13/11/2024).

Meskipun tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan negara, namun langkah ini justru memunculkan pertanyaan besar terkait apakah kebijakan ini dapat menggerakkan ekonomi secara berkelanjutan, atau justru menjadi beban tambahan bagi masyarakat dan dunia usaha? Jika berkaca pada negara ASEAN lainnya, PPN RI masuk dalam jajaran PPN tertinggi di ASEAN urutan kedua, setalah Filipina.

Menaikkan PPN ditempuh untuk menyehatkan ekonomi negara, tetapi faktanya negara justru semakin menambah beban dan kesengsaraan bagi rakyat. Hal ini tentulah sangat menyayat hati rakyat dan sangatlah zalim, terlebih di tengah situasi ekonomi rakyat yang semakin sulit dan minimnya lapangan pekerjaan yang disediakan oleh negara. Sebab jika PPN naik, maka harga barang dan jasa juga akan naik.

Pada akhirnya, masyarakat akan lebih berhati-hati untuk mengeluarkan uangnya, alhasil konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat pun semakin menurun. Jika konsumsi rumah tangga menurun, maka tidak akan ada perputaran ekonomi. Jika dulu, hanya perusahaan atau toko besar yang dijadikan sasaran pajak, namun sekarang UMKM bahkan penjual gerobak dan perorangan pun dijadikan sasaran pajak oleh negara. Seolah tidak ada yang boleh lepas dari pungutan pajak.

Berbagai cara dilakukan oleh negara untuk menarik pajak dari rakyat, salah satunya dengan bergabung dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis (Automatic Exchange of Information atau EAol). Darinya, negara akan mendapatkan informasi tentang perpajakan secara otomatis. Sehingga, dimana pun harta seseorang disimpan bahkan di luar negeri sekalipun dan dalam bentuk apapun tetap akan ketahuan, dan tetap akan ditagih pajaknya. Inilah bentuk kepengurusan rakyat dalam sistem kapitalisme sekularisme, sistem yang memisahkan aturan agama dari kehidupan, sehingga melahirkan pemimpin yang tidak amanah dalam mengurusi urusan rakyatnya. Dalam sistem kapitalisme sekularisme, pajak digunakan untuk menutupi defisit anggaran akibat sistem ekonomi berbasis utang. Akibatnya rakyat terus dipalak melalui berbagai pungutan/pajak, termasuk PPN yang membebani semua kalangan termasuk golongan yang berpenghasilan rendah.

Negara yang seharusnya berkewajiban mengurus dan mensejahterakan rakyatnya, tetapi justru negara dalam sistem kapitalisme sekularisme ini hanyalah menambah penderitaan bagi rakyatnya. Padahal faktanya, Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, akan tetapi rakyatnya hidup dalam kesulitan dan bahkan kemiskinan ekstrem dikarenakan SDA yang seharusnya menjadi hak mutlak rakyat tetapi justru dikuasai dan dinikmati oleh segelintir pihak.

Semua kondisi ini terjadi karena peran negara didalam sistem kapitalisme ini hanyalah sebagai regulator para kapital dan oligarki semata, bukan sebagai pengurus urusan rakyat. Rakyat justru dijadikan sebagai alat bagi pendapatan negara. Sedangkan korupsi yang terjadi di negara ini semakin merajalela. Bahkan banyak perusahaan besar yang mendapat keringanan pajak dari pemerintah, salah satunya adalah perusahaan smelter cina yang tidak perlu bayar pajak dan bahkan diberikan banyak fasilitas oleh negara, dan bahkan banyak para pejabat yang duduk di atas malah terbebas dari pajak.

Situasi ini sangat berbanding terbalik dengan PPN yang dibebankan kepada masyarakat luas dan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Jangankan bayar pajak, untuk kebutuhan sehari-hari pun rakyat sudah kesulitan, sungguh sangat terlihat jelas bahwa negara dalam sistem kapitalisme sekularisme telah gagal dalam mensejahterakan rakyatnya. Di tengah karut-marutnya problem kehidupan yang dialami oleh rakyat, negara seolah tidak peduli dan malah menambah daftar panjang kesengsaraan hidup rakyat. Apakah masyarakat masih berharap bahwa sistem buatan manusia ini, yaitu sistem kapitalisme sekularisme ini mampu menyejahterakan kehidupan rakyat?

Coba kita melihat fakta, bagaimana sistem Islam mengatasi defisit anggaran ketika pemasukan negara lebih rendah dibandingkan dengan pengeluaran yang wajib dipenuhi. Seorang khalifah atau pemimpin negara akan memberlakukan pajak namun hanya kepada orang kaya saja dan itupun hanya sementara saja. Artinya, pajak tidak dibebankan kepada masyarakat luas apalagi masyarakat yang memiliki penghasilan rendah.

Khilafah akan berupaya seoptimal mungkin untuk mengatasi krisis negara tanpa membebankan sepenuhnya kepada rakyat dengan meningkatkan pungutan/pajak. Namun mengutamakan pembelanjaan negara dari sumber pendapatan seperti, harta anfal, ghanimah, fai, khumus, kharaj dan jizyah. Sumber pendapatan lainnya ialah harta milik umum, harta milik negara, usyur, dan harta sedekah/zakat. Dalam Islam, sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum, menjadi hak sepenuhnya bagi rakyat dan tidak boleh dikuasai oleh sebagian pihak. Negara akan mengelola sumber daya alam yang ada dan mendistribusikannya dengan memberikan banyak subsidi bagi rakyatnya, wajar jika kita lihat bahwa pendidikan, kesehatan, dan keamanan dijamin oleh negara dan diberikan kepada rakyat secara gratis.

Sudah saatnya umat bangkit dan bersatu untuk menegakkan kembali sistem Islam di muka bumi ini. Hanya sistem Islam yang mampu melahirkan pemimpin yang amanah, adil dan bertakwa. Sehingga kehidupan rakyat terjaga dan sejahtera, karena hanya pemimpin dalam sistem Islam yang mampu menerapkan seluruh syariat sang pencipta di segala aspek kehidupan dan bernegara.

Karena sejatinya, syariat Islam bukan hanya mengatur perkara ibadah semata, namun memiliki aturan di segala lini kehidupan. Hanya pemimpin dalam sistem Islam yang mampu mengurusi urusan umat dengan sepenuh hati. Kita lihat bagaimana sejarah mencatat bagaimana khilafah Islamiyyah selama lebih dari 13 abad berhasil menciptakan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyatnya tanpa harus memalak rakyat dengan berbagai pungutan/pajak.

Sudah saatnya umat bangkit dan bersatu dan tinggalkan sistem kufur ini, kembalilah kepada sistem yang shahih, yakni sistem Islam yang lahir dari sang pencipta yaitu Allah Swt. sehingga negara kita menjadi sebuah negeri yang “rahmatan lin alamain” yang penuh dengan keberkahan dari Allah Swt. Tanda-tanda sebuah negara (pemerintahan) akan hancur adalah dengan makin besarnya pajak yang dipungut dari rakyatnya. Wallahualam bisawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi