Potret Nasib Anak Hari Ini, Kontradiksi Peringatan Hari Anak Nasional?

Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi (Pemerhati Generasi)

Hari Anak Nasional diperingati oleh negara kita setiap tanggal 23 Juli setiap tahunnya. Tanggal tersebut dipilih sebagai penetapan Hari Anak Nasional sebagai bentuk atensi yang diberikan oleh pemerintah untuk kesejahteraan anak, melalui keputusan presiden (Keppres) No. 44, tahun 1984. Di mana Undang-undang yang berkaitan dengan kesejahteraan anak disahkan.

Karena seperti yang kita tahu, anak adalah investasi besar sebuah negara. Gemilang atau redupnya masa depan suatu bangsa ditentukan oleh nasib anak-anak hari ini. Jika anak sejahtera dan dipenuhi segala hak-haknya untuk bisa tumbuh dan berkembang dengan baik dengan segala fasilitas yang memadai, maka bisa dipastikan bahwa suatu negara tersebut akan jaya di masa depan. Namun hal itu justru kebalikannya, jika hari ini anak-anak sebagai generasi penerus bangsa tidak mendapatkan hak-haknya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, maka jangan kaget jika suatu bangsa bisa mengalami kegelapan, rusak dan hancur.

Untuk itu, salah satu bentuk upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan dan mengoptimalkan kesejahteraan anak di negara kita adalah salah satunya dengan cara memperingati Hari Anak Nasional.

Titik poin dalam hal perayaan salah satu hari besar nasional ini adalah “Kesejahteraan Anak”. Yang menjadi sebuah pertanyaan besar adalah, apakah selama 39 tahun hari anak dirayakan, anak-anak Indonesia telah mengalami kesejahteraan?

Undang-undang tentang kesejahteraan anak terdapat dalam undang-undang perlindungan anak, di mana dalam pasal 1 ayat 2 tertulis dengan jelas bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.”

Pasal 21 “Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan
suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau
mental.

Pasal 23 ayat 1, negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan
kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban
orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung
jawab terhadap anak.

Ayat 2, negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan
anak.

Pasal 44
Ayat 1, pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan
upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap an memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam
kandungan.”

Pasal 48
Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9
(sembilan) tahun untuk semua anak.

Pasal 53 ayat 1, pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan
dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari
keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat
tinggal di daerah terpencil.

Pasal-pasal di atas jelas tertuang dalam undang-undang perlindungan anak untuk meningkatkan kesejahteraan anak di negara ini. Dan muncul pertanyaan lagi, apakah pasal-pasal dalam undang-undang tersebut telah terlaksana dengan baik untuk mensejahterakan anak-anak?

Nyatanya kian hari pemberitaan tentang kasus-kasus yang berkaitan dengan anak kian marak. Dari segi kesehatan, angka stunting makin tinggi, padahal Indonesia dikenal dunia dengan kekayaan sumber daya alamnya. Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), di tahun 2021 kasus stunting sebanyak 24,4% dan hanya turun sedikit di tahun 2022 menjadi 21,6%, yang artinya angka stunting tersebut masih meninggi. Sungguh tidak imbang dengan kekayaan negara ini. (Kemenkes.go.id, 25/01/2023).

Menurut Menteri Kesehatan, Budi Gunadi, tingginya prevalensi stunting anak di Indonesia karena kurangnya asupan protein hewani, nabati dan zat besi sejak dalam kandungan. (Mediaindonesia.com, 25/01/2023).

Artinya apa? Untuk mengatasi kasus stunting di Indonesia, anak-anak membutuhkan banyak nutrisi yang mengandung protein dan zat besi, di mana nutrisi tersebut bisa didapatkan dari ikan, telur, dan daging-dagingan.

Namun di sisi lain, harga bahan pokok dan termasuk di dalamnya harga ikan, telur dan daging-dagingan di pasar makin meninggi. Tingginya harga bahan pangan tersebut tidak sejalan dengan penghasilan yang diperoleh rata-rata masyarakat Indonesia.

Jadi, bagaimana anak-anak mendapatkan asupan gizi secara maksimal jika keadaan hidup di negara kita masih di bawah standar? Jangankan untuk bisa makan enak dengan lauk gizi seimbang berupa daging, telur, dan ikan, bahkan hanya untuk sekedar makan sesuap nasi saja sulit?

Untuk poin masalah kesehatan saja, pemerintah sudah lalai dan tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi anak. Menggalakkan program gizi seimbang dengan memberikan bantuan sosial (bansos), nyatanya dikorupsi. Selain korupsi juga penyaluran bantuan tersebut tidak merata, bahkan cenderung tidak tepat sasaran.

Selain kesehatan, kasus kekerasan juga banyak dialami oleh anak, baik oleh orangtuanya, oleh teman-teman sebayanya, bahkan yang lebih ngeri adalah makin tingginya tingkat kejahatan kekerasan seksual yang menimpa anak. Sementara, kasus bullying pada anak di sekolah, kian hari grafiknya kian meningkat. Bahkan, tak hanya menyebabkan korbannya merasa depresi, tetapi juga sampai meninggal dunia.

Contoh bullying hingga mengakibatkan kematian adalah kasus yang menimpa anak kelas 2 SD di Medan yang tewas setelah dianiaya oleh siswa kelas 6. (Tribunjabar.id, 29/06/2023). Kasus serupa juga terjadi sebelumnya di Sukabumi yang menimpa siswa SD yang dikeroyok temannya hingga tewas. (Liputan6.com,22/05/2023). Bahkan menurut survei, di kota Cilegon sendiri saja, korban kekerasan yang menimpa anak mencapai 30 kasus. (Selatsunda.com, 27/07/2023).

Sedangkan menurut data Komnas Anak, Indonesia menempati posisi ke 5 angka tertinggi kasus bullying terbanyak dari 78 negara. Sementara itu, menurut data KPAI pada 13 Februari 2023 tercatat kenaikan kasus angka bullying baik psikis maupun fisik sebanyak 1.138 kasus. (Jurnalsoreang.pikiran-rakyat.com, 28/02/2023).

Selain bullying, kasus kekerasan lain yang menimpa anak adalah kasus kekerasan seksual. Dalam hal ini, KemenPPPA mencatat jumlah kasus kekerasan seksual pada tahun 2021 ke 2022 mengalami peningkatan. Tahun 2021, 4.162 kasus meningkat menjadi 9.588 kasus pada tahun 2022. (Detik.com, 26/07/2023). Di Pekanbaru sendiri dalam 6 bulan terakhir tercatat sebanyak 79 kasus kekerasan pada anak dan 28 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual, yang ditangani oleh Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) hingga Juni 2023. (Voi.id, 28/07/2023).

Itu belum diperparah dengan kasus lain, seperti pemerataan pendidikan, layanan kesehatan yang kurang memadai bagi anak dengan ekonomi menengah ke bawah, serta maraknya tontonan-tontonan dewasa atau tidak edukatif bagi anak.

Ini artinya apa? Bahwa negara saat ini masih sangat jauh di bawah standar dalam hal kesejahteraan anak, keamanan, dan perlindungan anak untuk memenuhi hak hidup dan bertumbuh kembang dengan baik sesuai dengan undang-undang.

Adapun penanggulangan negara dalam hal ini juga masih sangat minim di saat kasus-kasus yang menimpa anak tersebut kian meningkat drastis. Ini berarti, ada ketimpangan di sana antara kasus yang semakin meningkat dengan penanganan yang sangat lambat bahkan cenderung tidak pada akar permasalahannya.

Parahnya, problematika kehidupan anak hari ini adalah wujud tidak optimalnya peran negara dalam mengayomi rakyatnya. Semua tidak lain karena sistem sekulerisme yang memisahkan aturan agama dengan kehidupan sehari-hari serta memandang segala sesuatunya dari materi. Selain itu juga menyuburkan kebebasan bagi setiap individu untuk melakukan sesuatu sesuai hatinya atas nama HAM.

Lihat bagaimana cara negara dalam mengatasi problematika anak tersebut. Misalnya saja untuk masalah stunting, seharusnya negara mengoptimalkan sumber daya alam yang begitu melimpah di negeri ini, bukan malah memberikan pengelolaan kepada investor, hingga akhirnya keuntungan dan kesejahteraannya hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja.

Alhasil, bahan pangan makin mahal karena adanya inflasi, sementara rakyat jelata hampir-hampir tak dapat menggapai bahan pangan alami itu untuk kehidupan sehari-hari. Parahnya justru kestabilan harga terjadi pada produk-produk olahan industri yang minim gizi dan cenderung bersifat sampah bagi tubuh.

Lalu terkait masalah kekerasan seksual yang menimpa anak, negara juga tidak maksimal memberikan efek jera kepada pelakunya. Tidak tegasnya hukum di negara ini menjadi angin segar bagi pelaku kejahatan kekerasan dan pelaku kejahatan seksual anak. Alih-alih mendapatkan hukuman mati, yang justru ada malah mendapatkan protes dari Komnas HAM, dan hukum pun bisa dengan mudah dibeli atau diringankan bagi siapa saja yang ber-uang.

Seperti contoh kasus kejahatan seksual yang menimpa seorang anak laki-laki di bawah umur dengan pelaku seorang artis papan atas, inisial SJ. Bukannya mendapatkan hukuman setimpal, setara dengan trauma yang dialami oleh korban akibat pelecehan seksual yang dilakukan pedangdut itu, justru pengadilan menetapkan hukuman penjara hanya 5 tahun saja, dengan pasal berlapis yakni kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan kasus penyuapan terhadap hakim. (Detik.com, 2/9/2021).

Berdasarkan fakta di atas dapat disimpulkan bahwa, negara dengan sistem kapitalisme benar-benar telah gagal dalam melindungi hak-hak dan kebutuhan anak. Problematika tersebut akan terus berlanjut jika akar dari permasalahannya tidak diatasi. Dan inilah kegagalan nyata dari praktik sistem kapitalisme, sekulerisme dan demokrasi.

Berbeda, jika yang diterapkan adalah sistem Islam. Seperti yang kita tahu, Islam tak hanya agama yang mencakup soalan spiritual saja, tetapi juga seluruh aspek kehidupan manusia. Baik itu kehidupan sehari-hari maupun urusan bernegara.

Islam memiliki hukum yang tegas yang datang langsung dari Sang Pencipta alam semesta, yaitu Allah azza wa jallah yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, dari yang terkecil dengan sangat terperinci, mengatur hubungan manusia antar individu, hingga bagaimana caranya mengatur sebuah negara dengan menerapkan hukum-hukum sesuai hukum yang Allah syariatkan, termasuk di dalamnya pengaturan soal urusan anak.

Di dalam negara Islam, negara membekali rakyatnya dengan tsaqofah Islam, membentuk keluarga Islami yang paham akan perannya masing-masing.

Seorang ayah mudah memberikan nafkah dan pendidikan Islam kepada anak istrinya, sementara ibu menjadi ummu warabatul bait dan madrasatul ula bagi anak-anaknya. Sementara itu, negara berkewajiban memberikan sarana pendidikan dan kesehatan secara gratis, termasuk didalamnya memudahkan setiap lelaki untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga, selain terjaminnya pendidikan dan kesehatan bagi anak, juga mudahkan mencari nafkah bagi para ayah, mengantarkan anak-anak dengan mudah mendapatkan pemenuhan gizi seimbang.

Selain itu, negara juga menjamin keamanan anak dengan mencegah tontonan-tontonan dewasa dan yang tidak edukatif. Sehingga anak tidak bebas mengakses situs-situs yang merusak moral.

Kabar baiknya, negara juga terus menjamin fasilitas penunjang untuk anak bebas mengeksplorasi minat dan bakat mereka hingga terbentuklah ilmuwan-ilmuwan Islam seperti di masa kekhilafahan.

Sehingga, anak tak hanya mendapatkan hak untuk meraih impian mereka yang ingin menjadi apapun sesuai minat dan bakat mereka, tetapi juga mendapatkan pemahaman Islam yang benar dalam penerapan kehidupan yang lurus sesuai dengan akidah Islam. Dengan demikian, tentu kegemilangan masa depan suatu bangsa akan dapat diraih dengan mudah.

Wallahua’lam bis shawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi