Oleh. Ross A.R
(Aktivis Muslimah Medan Johor)
Beberapa waktu lalu, jagad sosial media dihebohkan dengan adanya tuak, beer, dan wine yang mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Hal ini sangat disayangkan, di mana Indonesia negeri mayoritas muslim ternyata memberikan label halal pada produk-produk yang jelas dan nyata-nyata keharamannya. Selain di atas, masih banyak lagi jenis-jenis makanan yang mendapatkan sertifikat halal padahal jelas mengandung bahan-bahan haram seperti babi alkohol dan sebagainya dan lebih mirisnya lagi makanan dan minuman seperti itu tersebar luas sehingga membingungkan dan meresahkan masyarakat muslim.
Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia. Sudah selayaknya jika masyarakatnya mudah untuk mencari makanan dan minuman halal serta terjaga dari makanan dan minuman yang haram. Namun, apa jadinya jika lebel halal yang seharusnya menjadi penjamin kehalalan bagi konsumen muslim malah terdapat pada produk-produk yang diragukan kehalalannya. Hal ini tentu akan mengkhawatirkan bagi umat muslim sendiri seperti yang ditemukan oleh MUI terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversional seperti itu tua bir dan wine yang mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (1/10).
Tentunya ini sangat menjadi lumrah ketika dalam sistem kapitalisme, di mana halal haram bukan menjadi acuan untuk menentukan kebijakan dalam negara. Keuntungan sebesar-besarnya menjadi standar yang tidak bisa dilepaskan dari sebuah ideologi yang berasaskan pemisahan agama dari kehidupan sehingga hal dari agama dijadikan sebagai simbol atau formalitas belaka dalam pengaturan kebijakan negara. Asas kapitalisme yang memprioritaskan materi tentu menjadi ladang basah bagi para penguasa.
Bertolak belakang dengan sistem Islam, di mana masalah makanan dan minuman negara memastikan semua produk di pasaran adalah produk halal, mulai dari bahannya cara pembuatannya hingga kemasannya dan lain sebagainya. Negara akan menugaskan para kadi hisbah (hakim) untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan ataupun pabrik. Para kadi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Bagi yang melakukan penipuan maka negara akan menegakkan hukum yang tegas.
Dalam negara Islam sendiri, ketika orang-orang nonmuslim yang ingin mengonsumsi bahan-bahan nonhalal, maka negara akan memastikan bahwa produk-produk itu ada di pemukiman atau kalangan non muslim saja. Sehingga tidak diperjualbelikan secara bebas.