Oleh. Rindang Ayu
Jika ada aktivitas masyarakat yang dilakukan bersama-sama pada waktu yang bersamaan dan rutin dilakukan tiap tahunnya, maka itu adalah mudik. Tidak hanya saat menjelang lebaran seperti saat ini, sudah jamak diketahui bahwa mudik juga dilakukan tiap jelang hari raya kurban dan menjelang Natal dan Tahun Baru. Namun ironisnya, tidak hanya aktivitas mudiknya saja yang menjadi tradisi, polemik masalah seputar mudik yang selalu berulang dari tahun ke tahun seakan juga menjadi tradisi. Rawan macet, infrastruktur jalanan yang rusak, melambungnya harga tiket moda transportasi dan juga kecelakaan adalah sebagian dari masalah pelik seputar mudik.
Menurut Wakil Ketua Komisi D DPRD Provinsi Jawa Tengah Hadi Santoso, di wilayah Jawa Tengah saja, diperkirakan ada sekitar 12,9 juta pemudik yang akan memasuki wilayah tersebut pada tahun ini. Jumlah pemudik sebanyak itu bakalan menghadapi sekitar lebih dari 82 titik kemacetan lalu lintas yang dikarenakan oleh berbagai sebab, juga ada 67 proyek lantas yang belum selesai pengerjaannya, 127 titik banjir, 39 titik longsor di jalan provinsi, 52 titik longsor di jalan nasional. Hadi juga menambahkan bahwa ada lebih dari 64 titik rawan kecelakaan di jalan nasional dan 26 titik di jalan provinsi (Republika.co.id, 9/4/2023).
Bisa dibayangkan, data sebanyak itu di jalur mudik jalan raya di wilayah Jawa Tengah saja, cukup menjadikan keselamatan para pemudik jadi taruhan disaat mereka hendak pulang ke kampung halaman untuk bersilaturahmi. Belum lagi soal tiket moda transportasi seperti bis, kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang yang melambung tiap jelang lebaran. Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, mendesak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) segera mengatasi harga tiket jelang Lebaran. Baik moda transportasi darat, laut, maupun udara yang dirasakan masih mahal oleh masyarakat luas (Repulika, 5/4/2023). Padahal di saat yang sama, masyarakat harus menghadapi kenyataan harga kebutuhan pokok yang juga melejit di pasaran karena momen lebaran.
Namun, jika dilihat dari sistem kapitalistik yang diterapkan di negeri ini, semua masalah seputar mudik adalah sebuah keniscayaan. Sebab, sistem sekuler ini menjadikan negara tidak lagi wajib bertugas mengurusi rakyat, tapi hanya sebagai regulator. Sedangkan kepengurusan rakyat, termasuk infrastruktur dan transportasi, diserahkan pada pihak korporasi/swasta sebagai pemilik modal.
Tak heran, alih-alih mendapatkan layanan transportasi yang murah, aman dan nyaman, transportasi mudik rakyat justru dijadikan lahan bisnis penghasil cuan bagi penguasa dan korporasinya. Perbaikan jalan yang asal kebut, biaya tol yang mahal dan harga tiket yang di luar nalar adalah sebagian dari contoh perilaku penguasa yang lebih fokus menjalin kerja sama ekonomi dengan pengusaha transportasi dibandingkan memberi layanan terbaik di sektor transportasi. Terlebih lagi berita mengenai megaproyek transportasi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) yang nyaris menjadikan APBN sebagai jaminan hutang yang dituntut oleh China sebagai pemberi hutang (CNN Indonesia, 12/4/2023).
Sungguh, perilaku penguasa tersebut menyesakkan dada. Rakyat hanya dijadikan sapi perahan para pembuat kebijakan tersebut demi nafsu ambisius kepentingan kelompoknya, tanpa ikut merasakan manfaatnya secara langsung.
Jika polemik transportasi mudik ini ingin segera berakhir, maka tak ada pilihan solusi lagi selain mencabut akar permasalahannya dan menyelesaikannya dengan solusi tuntas dari Dzat Yang Maha Benar, yaitu Islam. Islam memandang bahwa aktifitas mudik bukan sekedar ritual tahunan semata. Namun, wujud pelaksanaan salah satu syariat Islam, yakni perayaan Hari Raya Idulfitri yang di dalamnya ada aktivitas birrul walidain dan silaturahmi setelah sekian lama seorang muslim jauh merantau.
Dalam kondisi tertentu, para pemudik tersebut juga digolongkan sebagai ibnu sabil, atau orang yang kehabisan bekal di perjalanan dalam ketaatan pada Allah. Islam juga memandang bahwa para pemudik tersebut adalah para musafir yang merupakan salah satu golongan manusia yang doanya diijabah oleh Allah.
Tujuan dan kedudukan para pemudik yang demikian indah dalam Islam, menjadikan negara yang menerapkan sistem Islam kaffah yaitu Kh1l4f4h, terdorong dan berkepentingan dalam menyelenggarakan proses mudik dengan sebaik-baiknya, yakni aman dan nyaman, bahkan gratis.
Kh1l4f4h akan menyediakan banyak tempat peristirahatan bagi para pemudik di perjalanan. Yang ibnu sabil juga akan mendapat pembagian zakatnya. Semua pintu kezaliman di sektor transportasi seperti mahalnya harga tiket moda transportasi dan infrastruktur akan ditutup rapat. Semua pembiayaan di bidang transportasi yang menguasai hajat hidup orang banyak ini akan ditanggung oleh negara dengan diambilkan dari pos-pos pengelolaan sumber daya alam yang dikelola secara mandiri.
Demikianlah, jika Islam diterapkan secara keseluruhan dalan bingkai Kh1l4f4h. Negara penuh berdaulat, rakyat sejahtera dalam ketaatan.
Wallahu a’lam bi showab.