Polemik Kenaikan Upah

Oleh. Lia khusnul khotimah
(Apoteker)

Nasib buruh di Indonesia makin memprihatinkan. Ironi yang tampak jelas tergambar dalam sistem kapitalisme. Terlebih setelah pemerintah mengumumkan kenaikan upah minimum (UM) untuk tahun 2025 yang ternyata tidak cukup signifikan untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh yang makin mahal. Pada 7 November 2024, sebuah laporan dari CNBC Indonesia mengungkapkan bahwa kenaikan upah minimum untuk 2025 hanya sekitar 4,85%. Hal ini berarti kenaikan tersebut tidak sebanding dengan inflasi dan kenaikan harga barang-barang pokok yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Upah buruh yang terbilang rendah tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Fakta ini menggambarkan ironi ketidakadilan dalam sistem ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Kenaikan yang tidak sampai 5% ini sangat jauh dari angka yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan hidup. Pada akhirnya, kondisi ini jauh dari kata kesejahtera bahkan meningkatkan kesenjangan sosial.

Kenaikan Upah yang Tidak Memadai

Dalam laporan CNBC Indonesia, disebutkan bahwa meskipun ada kenaikan upah minimum untuk 202, angkanya sangat kecil dan tidak mampu mengimbangi peningkatan harga barang pokok. Kenaikan sebesar 4,85% ini jelas lebih rendah dari tingkat inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok yang sangat dirasakan oleh masyarakat, khususnya buruh. Sebagai contoh, harga bahan pangan seperti beras, minyak goreng, dan bahan kebutuhan lainnya terus mengalami kenaikan yang signifikan, sementara upah buruh tidak sebanding dengan biaya hidup yang makin tinggi.

Kenaikan upah yang minim ini juga tidak memperhitungkan kenyataan bahwa banyak buruh yang harus mengeluarkan biaya lebih untuk kebutuhan keluarga mereka, pendidikan anak, atau biaya kesehatan. Meskipun pemerintah mengklaim bahwa kenaikan upah minimum ini merupakan langkah positif, faktanya, bagi banyak buruh, ini hanya akan cukup untuk menutupi peningkatan biaya pajak dan beberapa kebutuhan pokok lainnya, tanpa memberikan ruang yang lebih luas bagi mereka untuk meningkatkan kualitas hidup.

Kapitalisme dan Upah Minimum: Buruh sebagai Faktor Produksi

Di dalam sistem kapitalisme, buruh seringkali dipandang hanya sebagai faktor produksi yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dalam banyak kasus, upah buruh ditekan seminimal mungkin untuk memaksimalkan laba perusahaan. Kenaikan upah yang sangat terbatas seperti yang terjadi pada 2024 ini adalah bukti nyata dari konsep kapitalisme. Para buruh diberi upah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, tanpa memperhitungkan kebutuhan manusiawi dan hak untuk hidup layak.

Konsep upah minimum dalam kapitalisme biasanya disesuaikan dengan standar hidup minimum yang ada di tempat kerja, namun hal ini tidak cukup untuk menutupi kebutuhan nyata buruh di lapangan. Upah yang diberikan sangat tergantung pada kemampuan pengusaha dan kebijakan pasar tenaga kerja, sehingga buruh sering kali terjebak dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan dan tidak bisa berkembang secara optimal. Dalam banyak situasi, buruh yang sudah bekerja keras selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun tidak merasakan adanya peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup mereka, karena gaji mereka selalu berstandar rendah.

Ketidaksetaraan dalam distribusi hasil produksi semakin terasa. Meskipun buruh memiliki andil besar dalam menciptakan barang dan jasa, keuntungan yang mereka terima tidak sebanding dengan kontribusi mereka. Keuntungan besar justru diperoleh oleh pengusaha yang mengendalikan modal dan pasar. Dalam sistem ini, posisi tawar buruh sangat lemah, karena mereka sering kali terpaksa menerima kondisi yang ada, dengan sedikit pilihan lain. Mereka terpaksa menerima upah yang rendah karena harus bersaing dengan ribuan para pencari kerja.

Ketidakadilan Sistem Kapitalisme

Sistem kapitalisme, dengan segala kebijakan dan regulasinya, memang sering kali berpihak pada kepentingan pengusaha dan merugikan buruh. Upah buruh sering kali ditekan seminimal mungkin agar pengusaha dapat meraih keuntungan yang lebih besar. Buruh, sebagai faktor produksi, hanya dianggap sebagai “alat” yang harus bekerja semaksimal mungkin dengan upah yang sering kali tidak mencukupi untuk hidup layak. Dalam hal ini, kebijakan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah lebih banyak berfokus pada kepentingan pengusaha dan menormalkan kondisi ekonomi yang tidak adil bagi buruh.

Bahkan dengan kenaikan upah yang hanya sekitar 4,85% pada tahun 2024, yang tidak sebanding dengan kenaikan pajak dan inflasi, buruh tetap tidak mendapat solusi yang efektif atas masalah kesejahteraan mereka. Kenaikan upah yang kecil ini justru mengungkapkan betapa terperangkapnya buruh dalam sistem yang mendewakan keuntungan semata dan tidak memperhatikan hak-hak dasar buruh sebagai manusia yang berhak hidup layak.

Solusi dalam Sistem Islam: Kesejahteraan dan Keadilan bagi Buruh

Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam Islam, buruh dan pengusaha memiliki kedudukan yang setara sebagai bagian dari masyarakat. Islam memandang buruh sebagai manusia yang memiliki hak untuk hidup layak dan mendapatkan imbalan yang adil sesuai dengan kerja yang mereka lakukan. Negara dalam sistem Islam, yang berlandaskan pada prinsip syariat, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pekerja mendapatkan upah yang sesuai dengan haknya dan dapat memenuhi kebutuhan hidup dengan sejahtera.

Di dalam Islam, buruh dibayar sesuai dengan kesepakatan yang adil antara buruh dan majikan. Upah buruh tidak hanya ditentukan berdasarkan kemampuan majikan untuk membayar, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan hidup buruh tersebut. Jika terjadi perselisihan terkait upah, maka khubara (para ahli yang kompeten dalam hukum Islam) akan turun tangan untuk menentukan besaran upah yang adil. Hal ini memastikan bahwa tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diperlakukan tidak adil.

Selain itu, Islam mengajarkan bahwa buruh dan pengusaha harus saling menghormati dan bekerja sama untuk mencapai kemaslahatan bersama. Islam menyamakan posisi buruh dan pengusaha dalam hal martabat dan hak-hak mereka, sehingga buruh tidak dipandang sebagai alat untuk mencapai keuntungan semata, tetapi sebagai individu yang memiliki hak untuk hidup dengan martabat dan kesejahteraan yang layak.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi