Polemik Kampanye 16 HAKTP: Mengapa Sulit Menjadi Solusi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan?

Oleh. Afiyah Rasyad

Syahdan, zaman now kaum perempuan diliputi penderitaan. Mereka banyak tertimpa aksi kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Sungguh miris, kekerasan terhadap perempuan dilakukan oleh orang-orang dekat korban. Bahkan, kerap dijumpai demikian. Kini, polemik kekerasan yang menimpa perempuan menjadi momok berkepanjangan dan seakan tak dapat terselesaikan.

Baru-baru ini, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) digelar setiap bulan November. Tepatnya dari tanggal 25 November hingga 10 Desember. HAKtP merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Di Indonesia, HAKTP diinisiasi oleh Komnas Perempuan. Selain menjadi inisiator, Komnas Perempuan juga sebagai fasilitator pelaksanaan kampanye di wilayah-wilayah yang menjadi mitra Komnas Perempuan (kemenpppa.go.id, 25/11/2022).

Kampanye tahunan ini begitu masif diselenggarakan, bahkan sampai lahir Kampanye 16 HAKtP (16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan). Merujuk pada sejarahnya, HAKtP ini yang digagas oleh Global Women’s Institute sejak 1991. Berarti sudah tiga dekade lebih kampanye ini berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan sudah bermunculan sejak abad lalu dan terjadi di beberapa negara di dunia. Di Indonesia sendiri, Komnas Perempuan sudah terlibat dalam kampanye tersebut sepuluh tahun dari awal berdirinya, yakni sejak tahun 2001.

Tahun ini, HAKtP ini berjalan 16 hari, 25 November (HAKtP Internasional) dan berakhir pada 10 Desember (Hari HAM Internasional), rentang waktu yang menghubungkan secara simbolis antara kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan HAM. Sebab, kekerasan terhadap peremphan dianggap bagian dari pelanggaran HAM. Sayang sejuta sayang, keberhasilan kampanye tahunan yang telah berjalan selama 31 tahun ini seakan menunjukkan angka nol. Alih-alih perempuan terlindungi, justru kekerasan terhadap perempuan kian menjamur.

Pengaruh HAKtp dalam Menekan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP)
Duhai, ide kesetaraan gender menjadikan perempuan berlomba-lomba untuk keluar rumah demi sebuah predikat “pahlawan keluarga”. Kesamaan derajat yang diembuskan Barat memalingkan dan mencabut fitrah perempuan. Mereka berjibaku di ranah publik untuk bekerja layaknya laki-laki. Bahkan, tak jarang mereka menjadi tulang punggung keluarga. Mereka bahkan dituntut berdaya dan berjiwa pemimpin meski menentang syariat. Sayang berjuta sayang, ide kesetaraan yang diperjuangkan justru memberikan penderitaan.

Para perempuan yang berkiprah di dunia kerja harus menanggung beban ganda, menjadi ibu dan pengatur rumah tangga sekaligus tulang punggung keluarga. Meski di antara mereka juga banyak melepas peran domestik dengan menempatkan asisten rumah tangga. Bahkan, banyak pula yang urusan domestiknya terbengkalai begitu saja. Selain itu, kekerasaan di dunia kerja kerap menyapa mereka. Polemik kekerasa perempuan terus bertandang meski HAKtP telah 21 tahun digelar.

Komnas Perempuan dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) telah berjuang mengampanyekan ruang aman bagi perempuan dan mengecam kekerasan terhadap perempuan. Namun faktanya, kekerasan terhadap perempuan terus saja bergulir bahkan semakin masif. Pun ketika UU TPS sudah disahkan. Bahkan, berbagai program dilakukan demi menekan angka kekerasan terhadap perempuan, tetapi seakan menjumpai kebuntuan.

Munculnya kekerasan terhadap perempuan bisa dikatakan karena ulah perempuan itu sendiri dan atmosfer feminisme yang mendorong mereka menyalahi kodratnya. Sebaggus apa pun HAKtP dibuat, apabila perempuan tetap berada dalam pusaran gaya hidup dan cara pandang Barat, maka solusi total kekerasan terhadap perempuan hanya akan menjadi slogan saja. Sebab, akar persoalan belumlah tersentuh, hanya sebatas permukaannya saja.

HAKtP yang digelar dalam ranah paradigma Barat justru membiarkan perempuan tetap mengamini perempuan berjibaku sebagaimana laki-laki. Bekerja memanglah mubah (boleh) bagi perempuan, tetapi sistem kapitalisme yang ada saat ini memandang perempuan sama seperti komoditas. Nilai dari ujung rambut hingga ujung kaki diukur dengan materi. Sementara feminisme juga memberikan motivasi dan dorongan agar perempuan bekerja seperti laki-laki.

Bukan rahasia lagi, aturan yang dipakai saat ini adalah sistem kapitalisme yang dibuat oleh manusia yang bersifat lemah, terbatas, dan butuh pada yang lain. Cara pandang atas kehidupan sunggub keliru di mana kebahagiaan diukur dari banyaknya harta dan kemewahan. Kebebasan pun dijadikan acuan dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Sangat kontradiktif dengan program yang disusun dalam HAKtP, aturan yang berlaku justru menjadi asal muasal pemicu kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, pengatuh HAKtP yang terlahir dari ide Barat pengemban sistem kapitalisme sepertinya tak memberikan pengaruh signifikan dalam menekan kekerasan terhadap perempuan.

HAKtP Belum Mampu Menyelesaikan Persoalan Kekerasan terhadap Perempuan Secara Total
Setelah ditelaah HAKtP tidak memberikan pengaruh signifikan, maka solusi total sepertinya masih jauh dari harapan. Jika dalam menjalani kehidupan tidak ada aturan baku yang menjadi pedoman, amatlah wajar bila muncul masalah-masalah kemanusiaan. Sejatinya, masalah itu muncul tatkala kebutuhan jasmani dan naluri tidak terpenuhi dengan benar atau cara memenuhinya yang salah. Sekularisme yang menjadi akidah sistem kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari sistem kehidupan saat ini.

Keimanan individu muslim, termasuk muslimah terus digerus dan ditanggalkan dengan dalih agama tak perlu dibawa ke ranah publik. Kaum perempuan dijadika asing dengan agamanya sendiri. Akhirnya, mereka tak peduli halal-haram. Orientasi hidupnya adalah kebahagiaan semu, yakni berlimpahnya kekayaan dan hidup dalam kemewahan. Kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi di lingkungan kerja, baik oleh atasan atau teman kerja.

Organisasi Perempuan Mahardika yang melakukan aksi nasional memperingati 16 HAKTP juga memaparkan betapa maraknya kekerasan terhadap pekerja perempuan, terutama di sektor tekstil, makanan, ataupun minuman yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan. Sudahlah rentan kekerasan, buruh perempuan ternyata juga menjadi kelompok pertama yang akan di-PHK (Tempo.co, 27/11/2022).

Sedangkan kekerasan terhadap perempuan oleh pasangan juga banyak menghiasi berita beberapa bulan terakhir. Sebut saja kasus Leslar yang sempat menghebohkan dunia maya. Lalu, kasus suami yang menganiaya istri di pinggir jalan atau suami yang menganiaya istri dan anaknya hingga anaknya meninggal. Adapula kekerasan terhadap perempuan oleh guru kepada siswanya, oleh dosen kepada mahasiswinya, atau teman sekampus. Itu yang mencuat ke permukaan, belum yang tidak termuat dalam berita. Jelaslah, HAKtP pun tak mampu membendung kekerasan terhadap perempuan. Kampanye 16 hari itu belum mampu memberikan solusi total dari permasalahan kekerasan terhadap perempuan dari akarnya.

Mekanisme yang Tepat dalam Memanusiakan dan Memuliakan Perempuan
Persoalan kekerasan terhadap perempuan ini belumlah terselesaikan dengan paradigma Barat, maka menghadirkan pemahaman yang benar tentang kehidupan adalah satu-satunya solusi yang akan menyentuh persoalan mendasar. Islam memiliki paradigma khas tentang kehidupan. Paradigma ini terpancar dari akidah Islam yang sahih. Bagi setiap muslim, akidah Islam harus menjadi landasan setiap perbuatan dan kepemimpinan berpikir. Sehingga, kaum muslim sadar bahwa seluruh perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Sungguh, Islam memiliki sudut pandang yang khas terhadap perempuan, yakni perempuan adalah makhluk yang harus dimuliakan, dijaga, dan dilindungi. Tanpa kesetaraan gender, kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara dalam ketakwaannya pada Allah Ta’ala. Namun, Allah menetapkan syariat yang berbeda kepada keduanya. Hal itu bukan menjadi pembeda derajat, tetapi untuk menciptakan harmonisasi peran keduanya dalam berkiprah, baik dalam ranah domestik (rumah tangga) dan ranah publik (masyarakat, kerja, dan negara).

Jamak diketahui, bahkan oleh orang awam sekalipun bahwasanya Allah menetapkan kewajiban nafkah bagi para laki-laki dan kewajiban ummun warabbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) bagi perempuan. Tugas mulis bagi laki-laki dan perempuan tersebut adalah yang terbaik dari Sang Pencipta dan Pengatur alam semesta, kehidupan, dan manusia. Aturan yang berasal dari-Nya tentu mendatangkan maslahat. Sebab, Allah Maha Tahu dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Dalam syariat Islam, negara wajib menjamin keamanan dan perlindungan terhadap perempuan dari segala macam bahaya, termasuk kekerasan. Tak ada kebebasan dalam syariat Islam. Perempuan bebas bekerja selama kodratnya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga tetap berjalan sebagai mestinya, pekerjaannya halal, dan cara bekejanya pun harus sesuai syariat Islam. Islam mengatur bagaimana hubungan manusia dengan penciptanya, hubungan manusia dengan sesamanya, bahkan dengan dirinya sendiri.

Islam menuntun negara akan terus menjaga suasana keimanan, baik di ranah publik ataupun domestik. Negara akan memberikan gambaran utuh nahwa dunia adalah ladang beramal shalih sesuai tuntunan syariat. Jika melanggar rambu-rambu syariat maka hukuman menanti, sebaliknya jika taat syariat pahala pun menanti. Pembinaan intensif akan dilaksanakan rutin dan berkesinambungan. Sehingga, rakyat akan terhindar dari cacat amal atau tindak kejahatan. Dengan pembinaan intensif juga, negara akan menyadarkan rakyat betapa urgennya memuliakan perempuan.

Syariat Islam memiliki kekuatan kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang kokoh (Khilafah). Sistem pemerintahan ini yang akan menjamin perempuan terlindungi dari kekerasan. Berikut beberapa mekanisme komprehensif yang tepat dalam memanusiakan dan memuliakan perempuan:

Pertama, sistem Islam akan menjamin sistem penerangan atau media steril dari tayangan yang berbau pornografi dan kekerasan. Patroli para kadi akan terus digalakkan. Apabila ada pelanggaran, kadi tersebut akan bertindak tegas bagi para pelanggarnya dan mencabut segera izin pendirian medianya.

Kedua, jaminan sistem ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum, dalam naungan Islam, betapa sejahteranya rakyat, termasuk perempuan sehingga enggan bekerja ke luar rumah, kecuali berkhidmat pada ilmu dan mengamalkannya. Negara akan menjamin kebutuhan ekonomi individu rakyat, termasuk perempuan. Sehingga, perempuan akan fokus menjalankan amanah sebagai ibu dan manajer rumah tangga dalam balutan takwa. Mereka akan berbadilan juhdi dalam mengasuh anak-anak, menjadi madrasatul ula, dan menciptakan rumah yang aman dan nyaman bagi seluruh penghuninya. Sementara suami akan menjalankan amanah mencari nafkah, menjadi imam dan nakhoda yang super baik bagi keluarganya. Dengan demikian, perempuan tidak akan dijamah kekerasan dari luar ataupun keluarga terdekatnya.

Ketiga, negara akan memberi sanksi yang sangat tegas tanpa tebang pilih. Sistem sanksi itu akan membuat jera bagi pelaku kekerasan. Misalnya, dengan menghukum pelaku pemerkosa dengan hukuman jilid dan rajam; atau menghukum kisas pada pembunuh. Had ini akan ditegakkan sesuai syariat Islam. Selain itu, sanksi dalam sistem Islam juga akan menghapus dosa pelaku kelak di akhirat. Jika sanksi kekerasam terhadap perempuan memberikan efek jera, kekerasan pada perempuan akan hilang dengan sendirinya.

Demikianlah mekanisme Islam dalam melindungi, memanusiakan, dan memuliakan perempuan. Hal ini tidak akan pernah bisa didapatkan dalam sistem kehidupan kapitalisme hari ini. Namun, mekanisme Islam tidak mungkin bisa diterapkan sempurna dalam sistem kapitalisme. Maka, berjuang untuk mencampakkan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan syariat Islam adalah perkara urgen. Perjuangan ini haruslah diemban sesuai metode dakwah Rasulullah saw. agar Islam kembali menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu a’lam bisshawab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi