Polemik Ibadah Haji, Butuh Tanggung Jawab Negara

Yani,
Bogor

Pemerintah melalui Kementerian Agama mengusulkan kenaikan biaya perjalanan ibadah haji. Biaya yang harus dibayarkan oleh calon jemaah haji menjadi sebesar Rp69 juta. Jumlah ini adalah 70% dari usulan rata-rata biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.11. Sementara, 30% sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta secara akumulatif. Komponen yang dibebankan pada dana nilai manfaat sebesar Rp5,9 triliun. Artinya, biaya haji tahun ini melonjak hampir dua kali lipat tahun lalu yang hanya sebesar Rp39,8 juta.

Ongkos ini juga lebih tinggi dibandingkan tahun 2018-2020 lalu yang ditetapkan hanya Rp35juta. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, beralasan kebijakan ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan. Ia menilai, pembebanan BPIH harus mengedepankan prinsip keadilan. Untuk itu, pemerintah memformulasikan BPIH dalam rangka menyeimbangkan besaran beban jemaah dan keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan. Namun pada saat yang sama, Arab saudi justru menurunkan biaya asuransi umrah dan haji tahun 2023 ini sebesar 73%.

Kenaikan biaya ini tentu menimbulkan pertanyaan akan komitmen negara yang harusnya memudahkan ibadah rakyatnya yang mayoritas muslim. Di tengah kesulitan ekonomi, negara seharusnya memfasilitasi rakyat agar lebih mudah beribadah. Kenaikan biaya justru menimbulkan dugaan adanya kapitalisasi ibadah, di mana negara mencari keuntungan dari dana haji rakyat. Sedangkan dalam Islam, ibadah haji disyariatkan sebagai fardhu ‘ain.

Bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan mampu, sebagaimana yang dinyatakan dalam surah Ali Imran ayat 97. Selain bernilai ibadah mahdhah, haji memiliki makna politis dan syi’ar agama Islam. Makna politis ini tampak ketika bersatunya kaum muslim saat wukuf di Arafah. Kaum muslim di seluruh dunia hanya diikat oleh akidah yang sama, Al-Qur’an yang sama, kiblat yang sama, tidak ada perbedaan kelas dan strata. Seluruh kaum muslim berkumpul di Arafah untuk menyerukan seruan yang sama yakni, bacaan talbiah, tahlil, tahmid, takbir, dzikir dan do’a.

Adapun makna syi’ar agama terlihat pada serangkaian prosesi ibadah haji itu sendiri. Berkumpulnya kaum muslim di suatu tempat, melakukan ibadah yang sama, mengumandangkan seruan yang sama, menunjukan kehebatan Islam dalam menyatukan pemeluknya.

Nahas, ibadah haji dikerdilkan oleh penguasa kapitalisme sebagai ibadah ritual semata. Penguasa kapitalisme berorientasi pada materi dalam setiap kebijakannya. Memandang bahwa semakin banyak kuota jemaah haji, akan makin banyak keuntungan yang didapat. Sangat tampak pelayanan penguasa kapitalis dalam mengurusi ibadah kaum muslim hanya berorientasi pada bisnis. Sangat jauh berbeda dengan pelayanan ibadah haji dalam sistem Islam yang diterapkan oleh negara. Penguasa dalam sistem Islam adalah sebagai khadimul ummah atau pelayan umat. Setiap kebijakan, senantiasa diupayakan untuk memudahkan urusan rakyat termasuk perkara ibadah.

Untuk mengatur penyelenggaraan haji, selain terkait dengan syarat wajib dan rukun haji, negara akan memastikan masalah hukum ijra’i terkait teknis dan administrasi. Berikut kebijakan yang bisa ditempuh oleh negara dalam mengurusi ibadah haji. Pertama, akan membentuk departemen khusus untuk mengurus ibadah haji dan umrah. Berlaku dari pusat sampai daerah yang tersentralisasi, agar memudahkan calon jemaah haji dalam persiapan, bimbingan, pelaksanaan sampai kepulangannya. Dan akan bekerjasama dengan departemen kesehatan dan perhubungan, untuk pelayanan terbaik bagi para jemaah haji.

Kedua, kecilnya Ongkos Naik Haji (ONH) yang ditetapkan oleh negara, pada dasarnya disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan atau dikeluarkan oleh jemaah haji. Hal ini berdasarkan jarak wilayahnya dengan t
Tanah Suci. Biaya akomodasi yang dibutuhkan pun sejatinya adalah hal yang dipandang sebagai tugas kewajiban negara dalam melayani urusan jamaah haji dan umrah. Bukan semata-mata pada keuntungan bisnis semata.

Ketiga, sistem pemerintahan Islam adalah sebuah kesatuan wilayah yang berada dalam satu kepemimpinan dan satu wilayah negara. Oleh karena itu, akan ada kebijakan penghapusan visa haji dan umrah. Karena, seluruh jemaah adalah warga daulah yang bisa bebas keluar masuk Makkah-Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukan kartu identitas diri saja, bisa KTP atau paspor.

Keempat, pengaturan kebijakan kuota haji dan umrah. Negara diberi kewenangan untuk mengatur agar keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi calon jemaah haji dan umrah. Kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan kemampuan. Dan bagi jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat maka mereka akan diprioritaskan.

Peraturan-peraturan di atas hanya akan diterapkan dalam sistem Islam dengan penerapan-penerapan aturan dan akidah Islam yang digunakan dalam sebuah negara. Oleh karena itu, negara yang diberi kuasa dalam mengelola urusan ibadah haji harus berpegang teguh pada prinsip syariat Islam dan memudahkan agar ibadah haji tersebut berjalan sesuai dengan syariat sehingga melahirkan ketenangan (tuma’ninah) bagi para jemaah dalam melaksanakan ibadah tersebut.

Wallahu a’lam bhissowab

 

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi