PIP Capai Seratus Persen, Hak Memperoleh Pendidikan Terpenuhi?

Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi, Kontributor MazayaPost.com)

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim melaporkan, hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100 persen target, yaitu telah disalurkan kepada 18.109.119 penerima. Bantuan itu menelan anggaran sebesar Rp9,7 triliun setiap tahunnya (Republika.co.id, 26/1/2024).

Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) 2023 pun akan mulai dibuka Februari 2024 seiring dimulainya proses seleksi penerimaan mahasiswa baru di berbagai perguruan tinggi (PT). Dalam Permendikbud 10/2020 tentang Program Indonesia Pintar, PIP diperuntukkan bagi mahasiswa yang diterima di PT, termasuk penyandang disabilitas dengan prioritas sasaran mahasiswa pemegang KIP, mahasiswa dari keluarga miskin/rentan miskin dan/atau dengan pertimbangan khusus, mahasiswa afirmasi (Papua dan Papua Barat, serta 3T dan TKI), serta mahasiswa terkena bencana, konflik sosial, atau kondisi khusus.

Sejatinya, nilai 100% menunjukkan sempurnanya fakta terkait data pendidikan yang terpenuhi. Namun pada kenyataanya, benarkah semua warga negara sesuai usia pendidikan baik dasar, menengah maupun tinggi, memperoleh haknya?

Seratus Persen untuk Siapa

Jika melihat data Susenas 2022, jumlah WNI yang pemuda (16—30 tahun) diperkirakan ada sebesar 65,82 juta jiwa atau hampir seperempat total penduduk Indonesia (24,00%). Dari sisi tingkat pendidikannya, hanya sekitar 10,97% pemuda yang menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi. Itu pun lebih banyak dicapai oleh pemuda yang tinggal pada kelompok distribusi pengeluaran rumah tangga yang tinggi. Artinya, kelompok masyarakat dengan pengeluaran pendapatan yang rendah cenderung tidak mengakses pendidikan tinggi.

Realitanya memang KIP-K hanya diperuntukkan bagi 200.000 mahasiswa pada 2022. Padahal jumlah pemuda berusia 19—25 tahun (usia kuliah normal) berjumlah 26 juta lebih (40,1% jumlah pemuda). Dengan demikian, tentu betapa sedikitnya jumlah calon mahasiswa yang akan terbantu oleh KIP-K.

Sejumlah syarat lain pun ternyata harus dipenuhi. Misalnya, peserta KIP-K harus memiliki potensi akademik baik, tetapi memiliki keterbatasan ekonomi dan lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru pada program studi dengan akreditasi A atau B (dimungkinkan dengan pertimbangan tertentu pada Prodi dengan Akreditasi C). Syarat ini pun cukup menyulitkan untuk akses ke perguruan tinggi.

Kerumitan dihadapi saat hendak mengenyam pendidikan. Padahal seharusnya, negara memudahkan dan melapangkan cara agar layanan pendidikan benar-benar dapat terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Jika kerumitan ini masih terus terjadi, berarti seratus persen PIP bukan menyasar seluruh warga negara, namun hanya untuk kategori tertentu yang dicitrakan seakan seluruh warga negara terpenuhi hak mendapatkan pendidikannya.

Paradigma Kapitalistik dalam Layanan Pendidikan

Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan menempati tingkat kebutuhan dasar masyarakat yang harus dijamin negara. Seluruh warga negara harus dipastikan mendapatkannya, baik miskin atau kaya, pintar atau tidak, semuanya terpenuhi.

Namun, saat pengelolaan layanan pendidikan berada dalam asuhan kapitalisme, paradigma kapitalistik menjadikan pendidikan diposisikan sebagai jasa yang harus dikomersialisasikan. Pendidikan diselenggarakan mengikuti pasar kapitalistik. Sehingga yang bermodal sajalah yang bisa mendapatkan layanan, sedangkan yang miskin harus berupaya keras agar dapat membiayai pendidikan yang makin mahal, atau jika tidak mampu meraih capaian dana yang fantastis, maka layanan pendidikan pun tak didapat sama sekali.

Makin sulit lagi saat PTNBH harus mengelola keuangannya sendiri karena negara meminimalkan subsidi atau berlepas tangan. Alhasil, perguruan tinggi menarik biaya tinggi dari masyarakat (mahasiswa). Sehingga wajarlah masyarakat tidak bisa mengakses layanan pendidikan dengan mudah dan murah.

Sistem Islam Jamin Layanan Pendidikan

Dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan kolektif rakyat yang dijamin oleh negara. Negara berupaya agar pendidikan menjadi layanan gratis, berkualitas, dan bisa dinikmati oleh semua warga negara. Negara merealisasikan kewajibannya sebagai pengurus rakyatnya sesuai sabda Rasulullah saw.:

الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Seorang imam adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)

Dalam Islam, pendidikan tidak berorientasi profit. Negara harus senantiasa meningkatkan kualitas pendidikan dari sistem pendidikan, guru, kurikulum yang integral, materi ajar yang menguatkan akidah, memahami tsaqafah Islam dan sains teknologi, sebagai bentuk layanan publik yang mampu melahirkan generasi yang memiliki kepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan sains teknologi. Hal ini adalah hak bagi warga negara.

Dalam sistem Islam, negara adalah penanggung jawab dan pelaksana langsung pengelolaan pendidikan. Negara tidak akan melemparkan tanggung jawab kepada swasta (korporasi) ataupun masyarakat, hingga negara tidak boleh mengomersialkan pendidikan kepada rakyat. Pendidikan adalah gratis, karena negara menerapkan pula sistem ekonomi Islam sehingga sumber-sumber pemasukan negara bagi pembiayaan pendidikan sangatlah cukup, di mana biaya pendidikan akan diambil dari pengelolaan kepemilikan umum dan negara. Mekanisme baitulmal mengatur anggaran pendidikan sedemikian rupa sehingga terpenuhi untuk biaya layanan pendidikan bagi semua warga negara.

Penutup

Jelaslah di sini, dalam sistem Islam (Khilafah), seratus persen terlayaninya akses pendidikan adalah suatu keniscayaan. Kegemilangan peradaban akan diraih dengan adanya SDM terdidik yang mumpuni yang direalisasikan dengan adanya akses pendidikan mudah, murah dan sangat berkualitas. Wallahu a’laam bisshawaab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi