Pinjol Meningkat, Fungsi Negara Cacat?

Oleh. Rohayah Ummu Fernand
(Kontributor MazayaPost.com)

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) memproyeksikan penyaluran pinjaman online (pinjol) pada saat momentum Ramadan 2024 ini akan melonjak. Ketua umum AFPI, Entjik S. Djafar, menyampaikan bahwa asosiasi menargetkan pendanaan di industri financial technologi peer-to-peer (fintech P2P) lending saat Ramadan dapat tumbuh sebesar 12%. Proyeksi ini lantaran adanya demand atas permintaan terhadap kebutuhan masyarakat yang juga naik saat bulan suci tersebut. Proyeksi tersebut juga didukung dengan rendahnya pendanaan untuk sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di industri pembiayaan. Padahal, kebutuhan kebutuhan pendanaan UMKM masih sangat besar dan tidak dapat disediakan seluruhnya oleh perbankan.

Dikutip dari Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayaan 2024-2028, kajian yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan Ernst and Young (EY) menunjukkan terdapat tren kesenjangan antara supply and demand pendanaan UMKM sampai dengan tahun 2026 (bisnis.com, 3/3/2034).

Penguasa Abai

Sudah menjadi logika normal, bahwa pinjaman online adalah solusi setiap permasalahan finansial, termasuk dalam hal UMKM. Sekalipun UMKM saat ini digadang-gadang sebagai penyangga ekonomi nasional, nyatanya tidak sedikit dari mereka yang mengalami kesusahan dalam hal pemodalan. Terlebih saat permintaan meningkat, mereka tentunya membutuhkan modal untuk meningkatkan produksi. Kondisi ini dijadikan sebagai peluang bagi para pemilik modal. Mereka mendirikan perusahaan fintech yang menawarkan pinjaman uang dengan prosedur lebih mudah dibandingkan dengan perbankan dan perusahaan pembiayaan. Namun, tetap dengan mekanisme pinjaman berbunga (riba).

Karena sistem kehidupan saat ini diatur oleh kapitalisme, maka masyarakat memandang hal tersebut adalah sebagai solusi. Padahal, keberadaan perusahaan fintech adalah gambaran nyata lepasnya tanggung jawab penguasa kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan pengusaha. Pengusaha kecil dibiarkan mencari model sendiri, tidak ada jaminan sedikit pun dari pemerintah. Parahnya, usaha mereka juga ada di ring yang sama dengan pengusaha yang bermodal besar. Penguasa dalam sistem kapitalisme tidak bervisi dunia akhirat, hingga mengabaikan bahwa usaha bukan hanya sekadar berbicara untung dan rugi, namun juga akhirat. Dalam sistem kapitalisme, masyarakat terpaksa dan dibuat rela melanggar hukum syariat hanya demi mencari uang.

Terlepas dari jenis lembaga keuangannya, baik bank, fintech maupun lainnya, semuanya berbasis riba yang diharamkan dalam Islam. Saat ini, riba sudah menggurita karena sistem kapitalisme yang di tetapkan di negeri ini menjadikan riba sebagai salah satu pilarnya. Mayoritas transaksi di dalam kapitalisme mengandung unsur riba. Akibatnya, terjadi kerusakan yang luar biasa, baik yang menimpa individu maupun masyarakat.

Islam Menjamin Kesejahteraan Hidup Rakyat

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan secara praktis oleh negara bernama Daulah Khilafah.
Daulah Khilafah adalah negara ra’awiyah, negara yang mengurus dan melayani rakyatnya dengan sepenuh hati. Sikap yang demikian karena konsekuensi logis bahwa kepemimpinan akan dipertanggungjawabkan di dunia maupun di akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)

Terkait UMKM, secara fakta aktivitas tersebut termasuk ekonomi riil, karena di dalamnya ada aktivitas perdagangan. Sementara perdagangan menjadi salah satu dari empat sumber ekonomi utama khalifah, selain pertanian, jasa, dan industri. Agar UMKM dapat berkembang dan memberikan kontribusi nyata pada perekonomian masyarakat, khususnya perdagangan UMKM, khalifah menciptakan suasana bisnis yang sehat dan syar’i. Yaitu, khalifah tidak akan membuka sedikit pun peluang sektor ekonomi nonriil, seperti perusahaan fintech dan bank ribawi.

Karena konsep ribawi akan membuat aliran uang macet dan menumpuk di pemilik modal. Bahkan membuat angka peningkatan ekonomi tidak riil, karena dihitung dari pergerakan saham dan investasi. Oleh karenanya, Allah mengharamkan riba dalam muamalah. Sebagaimana yang termaktub dalam firman-Nya, yang artinya, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Dengan demikian, permodalan UMKM dalam Khilafah tidak seperti saat ini yang bersumber dari perusahaan fintech, bank, atau perusahaan pembiayaan lainnya. Namun bersumber dari Baitul Maal. Dalam kitab “Ajhizah Ad-Dawlah Al-Khilafah” dijelaskan bahwa Baitul Maal adalah lembaga keuangan khalifah yang memiliki tiga sumber pemasukan, yakni; pos kepemilikan negara, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. Masing-masing pos tersebut memiliki jalur pemasukan dan pengeluaran masing-masing.

Untuk pembiayaan modal usaha, Khilafah bisa mengalokasikan dari pos kepemilikan negara atau umum. Negara bisa langsung memberikan dana usaha tersebut tanpa menggunakan mekanisme riba, bahkan secara cuma-cuma. Pemberian ini pun tidak hanya sekali diberikan, namun diberikan seperlunya hingga kurang lebih dalam setahun. Agar dana tersebut tidak disalahkangunakan, Khilafah akan melakukan pengawasan dan kontrol terhadap jenis usaha yang dikembangkan. Kemudahan dalam permodalan inilah yang akan meringankan pedagang kecil (UMKM) dalam memulai usaha mereka.

Selain itu, dalam ekonomi Islam ada konsep kerja sama (syirkah), untuk mempertemukan para pemilik modal dan pengembang. Mereka diperbolehkan untuk saling mengambil manfaat ketika menjalin kerjasama. Khilafah juga akan menjaga agar masyarakat terhindar dari larangan syariat ketika beraktivitas. Seperti inilah Khilafh berperan sebagai negara dalam mengembangkan usaha rakyat sebagai salah satu sumber mata pencaharian mereka. Wallahu a’lam bishshawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi