Muhammad Ayyubi ( Mufakkirun Siyasiyyun Community )
Pilkada dan serangan fajar dua hal yang tidak bisa dipisahkan sejak pemilu kepada daerah secara langsung di selenggarakan.
Serangan fajar adalah terminologi yang dipakai oleh para konstituen terhadap calon kepala daerah yang melakukan suap pada subuh sebelum pencoblosan. Bahkan tidak ada rasa sungkan lagi masyarakat ada yang menulis di spanduk ” Menerima Serangan Fajar ”
Nominal yang diberikan bervariasi, dan terkesan jor joran. Jika ada calon A yang memberi Rp. 200.000 maka calon B akan memberi Rp. 300.000 bahkan bisa lebih.
Serangan fajar dilakukan demi untuk meraih suara dan mendapatkan simpati di detik detik akhir.
Praktik ini sudah terang terangan dan tidak lagi tersrmbunyi. Dan panwaslu juga sudah tahu tetapi tidak mampu berbuat apa apa.
Normalisasi serangan fajar sudah terjadi sejak lama. Dia dianggap sebagai bagian tidak terpisahkan dari pemilu.
Hal ini mentahbiskan bahwa segala bentuk prosesi pemlu mulai dari pencalonan, kampanye dialogis, debat calon, penyampaian visi misi dan lainnya adalah upaya sia sia tidak berguna, karena semua berujung pada seberapa banyak duit yang bisa dibagi pada serangan fajar.
Kalau sudah begini prosesnya maka mustahil akan mendapat pemimipin daerah berkualitas. Sampai kiamat pun akan sama hasilnya.
Karena pilkada berbiaya tinggi maka tidak heran jika kemudian korupsi menjadi tradisi kepala daerah untuk mengembalikan modal waktu kampanye. Ini di satu sisi.
Di sisi yang lain, kepala daerah tidak akan peduli dengan rakyat setelah menjabat karena mereka merasa telah membayar suara mereka pada saat kampanye. Sampai menangis darah pun tidak akan dipenuni keinginan rakyat. Secara empiris dan historis telah terbukti berulang ulang.
Uang untuk serangan fajar kadang berasal dari sponsorship para oligarki. Dan semua itu tidak gratis ada timbal baliknya. Bisa dalam bentuk proyek atau jabatan tertentu.
Mengharapkan hilangnya suap dalam pilkada bagaikan pungguk merundukan bulan. Kerana semua nya diakui dan wajar.
Kalaupun ada UU yang melarang itu pun bisa diatur jika punya uang. Jaksa, polisi, saksi, hakim semua bisa dibayar.
Suap dalam pandangan Islam.
Islam dengan tegas melarang suap atau riswah.
الراشي والمرتشي في النار
Penyuap dan yang disuap berada di dalam neraka ( HR. Thabrani )
Suap adalah memberikan sesuatu kepada pemilik wewenang untuk mendapatkan kemudahan dan keistimewaan.
Dalam pilkada, rakyat memiliki hak atas suaranya apakah memberikan atau menahannya. Dia bisa menjual atau memberikan dengan cuma cuma.
Di sinilah titik kritisnya, maka ketika calon pemimpin melakukan suap agar dia mendapatkan suara yang dia miliki. Sehingga dalil diatas mengena pada keduanya sebagai penyuap dan yanh disuap.
Para penyuap dan penyuap di dalam kaidah hukum islam diberlakukan takzir kepadanya. Di mana bentuk hukumannya diserahkan kepada Khalifah.
Khalifah bisa saja menghukum dengan cambuk, penjara atau mati tergantung berat dan ringannya kerusakan yang ditimbulkan akibat penyuapan tersebut.
Dan yang paling penting dari itu adalah Khalifah harus menutup pintu pintu yang bisa menjadi penyuapan.
Kepala daerah di dalam Islam dipilih oleh Khalifah. Mereka bertanggung jawab langsung kepadanya. Mereka diangkat dalam rangka menerapkan Syariat Islam.[]