Hesti Nur Laili, S.Psi. (Pemerhati Generasi)
Kasus perundungan semakin hari semakin marak terjadi di negara kita, khususnya di sekolah-sekolah. Jika dulu kasus perundungan terjadi hanya di bangku sekolah dasar, kini kasus-kasus serupa bahkan sudah terjadi bahkan di kalangan taman kanak-kanak.
Fenomena perundungan atau akrab disebut bullying seolah menjadi kasus gunung es. Kasus-kasus parah hingga adanya kekerasan fisik bahkan pembunuhan justru menjadi bagian kecil dari yang tampak. Sedangkan kasus perundungan yang tak tampak, justru kasusnya kian meluas dan hampir terjadi di setiap sekolah di hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia.
Seringnya perundungan terjadi justru diawali dari candaan yang mengarah kepada perundungan verbal. Namun, kerap kali korbannya dianggap tak memiliki selera humor atau tak bisa diajak bercanda lantaran marah akibat perundungan verbal yang diterimanya.
Perundungan-perundungan berkedok candaan itu kerap kali dijadikan alasan oleh pelaku untuk melakukan hal negatif tersebut. Alasan “bercanda” seolah menjadi senjata ampuh untuk menutupi perilaku buruknya. Selain untuk menutupi interogasi yang dilakukan pihak sekolah, juga sebagai playing victim bagi korban bahwa korbanlah yang bersalah karena seolah tidak bisa diajak bercanda.
Padahal, antara perundungan atau bullying dengan candaan adalah sesuatu yang jelas perbedaannya. Jika bercanda didefinisikan sebagai sesuatu hal untuk membuat semuanya tertawa dan merasa senang tanpa ada pihak yang merasa disakiti. Maka, perundungan berkedok candaan merupakan sesuatu yang jelas sangat merugikan pihak-pihak yang menjadi objek perundungan bahkan bisa mempermalukannya.
Ejekan-ejekan, caci maki, hinaan, bahkan mempermalukan korban di depan umum, lantas dikatakan hanya sebagai sebuah candaan tentu sangat merugikan korban. Bahkan tak jarang korban-korban yang mendapatkan rundungan berkedok candaan ini enggan untuk pergi ke sekolah lagi dan menjadi pribadi yang tertutup setelah sebelumnya adalah mungkin anak yang ceria.
Seperti yang kita tahu bahwa, setiap manusia tentu memiliki kondisi psikis yang berbeda-beda. Juga memiliki cara menghadapi stres yang berbeda pula. Nah, perundungan berkedok candaan memiliki dampak yang besar terhadap korbannya. Rasa tidak nyaman berada di lingkungan tersebut, merasa dipermainkan, dipermalukan, hingga dapat menganggu kondisi kejiwaan seseorang bahkan berpeluang terjadinya bunuh diri.
Seperti kasus seorang siswa (11 tahun) di Banyuwangi, Jawa Timur, ditemukan tewas bunuh diri karena mengalami depresi akibat perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya di sekolah. Menurut penuturan Kasi Humas Polresta Banyuwangi, Iptu Agus Winarno, diduga korban melakukan bunuh diri karena depresi akibat sering diolok-olok oleh teman-temannya karena tidak memiliki ayah. Adapun dugaan tersebut berdasarkan keterangan keluarga yang mengatakan bahwa siswa tersebut kerap kali murung bahkan menangis setiap pulang sekolah (cnnindonesia.com. 2/3/2023).
Untuk itu, Iptu Agus Winarno mengimbau kepada masyarakat agar mencegah terjadinya bullying. Karena menurutnya, selain merugikan orang lain, juga merugikan diri sendiri lantaran bisa terjerat hukum.
Contoh kasus di atas merupakan satu dari sekian banyaknya kasus yang marak terjadi di masyarakat. Hanya saja, pihak berwenang sering kali hanya melakukan himbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan perundungan saja, tanpa adanya solusi yang konkret untuk mengakhiri kasus-kasus serupa. Bahkan tak jarang pelaku perundungan tidak mendapatkan hukuman dengan dalih di bawah umur, sekalipun sudah sampai dalam tahap menghilangkan nyawa.
Bahkan sekelas seorang Wakil Gubernur saja pernah membuat pernyataan bahwa perundungan yang terjadi pada seorang anak di Tasikmalaya yang meninggal akibat perundungan merupakan sebuah candaan dan hal biasa, tak perlu dibesar-besarkan. Tentu saja pernyataan tersebut sangat tidak etis dan tidak berperikemanusiaan. Lantaran perilaku bullying bukanlah hal yang biasa dan dapat dimaklumi begitu saja.
Memang faktanya banyak anak-anak yang bisa bangkit dari keterpurukan akibat perundungan yang dialaminya semasa sekolah. Tetapi, banyak juga anak-anak yang tak bisa bangkit bahkan menjadi pribadi yang insecure akibat dari dampak perundungan tersebut.
Masalah perundungan ini jelas bukan masalah sepele yang selesai hanya dengan imbauan saja, maupun ancaman hukuman pidana bagi pelakunya yang nyatanya hanya sebatas ancaman tanpa realisasi yang nyata. Perundungan adalah masalah besar yang harus dan wajib menjadi PR untuk diselesaikan oleh pemerintah dan seluruh perangkatnya.
Hanya saja seperti yang kita tahu, sistem pemerintahan saat ini sangat tidak mendukung untuk memutus tali bullying yang kian marak ini. Hukuman berdalih HAM dan ringannya atau bahkan tiadanya hukuman bagi anak di bawah 18 tahun menjadi keuntungan tersendiri bagi pelaku untuk lolos dari jerat hukum.
Selain dari segi lemahnya hukum, sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan juga dikatakan gagal karena faktanya telah banyak mencetak generasi-generasi yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Generasi-generasi yang hanya berfokus pada materi tanpa adanya tolok ukur bagaimana menjadi seorang manusia yang berakhlakkul karimah. Penanaman-penanaman seperti itulah yang mendasari maraknya perundungan yang dilakukan oleh generasi kita sekarang.
Lalu bagaimana dengan solusinya? Jelas sistem pemerintahan Islam adalah solusi konkret untuk menuntaskan segala persoalan masyarakat, baik dari segi ekonomi, hukum, pendidikan, dan moral. Termasuk di dalamnya dapat menyelesaikan kasus-kasus perundungan dari akar-akarnya.
Dalam pandangan Islam, perundungan atau bullying merupakan hal yang tidak dibenarkan, bahkan termasuk kategori perilaku yang diharamkan. Hal tersebut termaktub dalam surah Al-Hujurat ayat 11, “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wainta yang lain ( karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itu adalah orang yang zalim.”
Selain dalam Al-Qur’an, larangan mengolok-olok juga terdapat dalam hadis, “Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar).” (HR. Bukhori)
Begitu juga pada sistem pemerintahan Islam, bullying sendiri bukanlah suatu hal baru. Pada zaman Rasulullah saw., bullying sudah ada bahkan dialami sendiri oleh beliau maupun para sahabat yang beliau saksikan langsung. Namun, apa yang dilakukan Rasulullah saw.? Secara pribadi, beliau menguatkan korban bullying dengan sabar dan pahala.
Selain diam dan menasihati korban bullying untuk bersabar, Rasulullah juga menanggapi bullying dengan ancaman, bahkan tak segan beliau mengangkat senjata bagi pelaku bullying tersebut, sekalipun dengan dalih candaan. Seperti pada kasus seorang muslimah yang diganggu oleh sekelompok orang Yahudi di suatu pasar dengan cara mengikat ujung jilbabnya hingga tersingkap auratnya ketika muslimah itu bangkit. Muslimah tersebut pun seketika berteriak hingga menyebabkan salah seorang lelaki muslim melompat dan membunuh pelakunya. Melihat hal tersebut, sekawanan Yahudi lalu menangkap lelaki tersebut, menawan, dan membunuhnya juga.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw.? Beliau langsung mengerahkan seluruh pasukan dan mengepung kaum Yahudi Bani Qainuqo selama 15 hari lamanya. Selain Rasulullah, hal serupa juga pernah dilakukan oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah saat mendengar kabar bahwa seorang muslimah telah diganggu dengan kedok candaan oleh sekelompok tentara Romawi saat berbelanja di pasar dengan cara mengaitkan ujung jilbabnya dengan paku, hingga auratnya terlihat ketika berdiri.
Tak butuh waktu lama untuk berpikir, Sang khalifah langsung mengerahkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu Ammuriah dan mengepungnya selama lima bulan.
Dari fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam bukan membenci candaan. Bahkan Rasulullah juga termasuk pribadi yang gemar bercanda dengan para sahabatnya. Tetapi, jika candaan tersebut mengarah kepada pelecehan atau merugikan seseorang, maka hukum Islam menindak tegas pelakunya. Hukum qhisas juga dijalankan bagi pelaku yang membully sampai dalam tahap menghilangkan nyawa.
Selain itu, dalam sistem pendidikan, Islam menekankan pendidikan akhlak yang seusuai dengan tuntunan Islam. Generasi-generasi yang tercipta dari proses pendidikan Islam menghasilkan pribadi-pribadi yang takut sama Allah, yang paham bahwa berbuat zalim terhadap orang lain merupakan sebuah kefasikan.
Dalam hal ini, pemerintah juga turut berperan dalam mengontrol pendidikan dengan cara mengontrol akses internet maupun acara-acara televisi yang mengarah kepada bibit-bibit perundungan yang bisa ditiru oleh masyarakat, khususnya anak-anak. Selain itu, pemerintah juga mengupayakan pendidikan parenting bagi para orang tua maupun calon orang tua dalam mendidik anak-anaknya dengan menanamkan nilai-nilai moral, akhlak mulia serta rasa takut pada Allah untuk berbuat sesuatu yang buruk.
Begitu juga dari sisi perekonomian. Tanpa disadari, sisi ekonomi juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap maraknya kasus perundungan. Ekonomi yang sulit menuntut para orang tua untuk sibuk mencari pundi-pundi uang, lalu mengabaikan perannya sebagai orang tua sebagai madrasah pertama anak. Tidak sedikit dari anak-anak yang kurang perhatian orang tuanya, mencari perhatian di luar dengan melakukan perbuatan merusak, entah narkoba, perzinaan, hingga melakukan penganiayan terhadap teman sebayanya.
Tekanan kerja yang tinggi hingga membuat para orang tua mengalami stres yang tinggi pula, tak jarang meluapkan amarahnya kepada anak saat pulang ke rumah. Emosi yang diterima sang anak tersebut mengendap lalu bisa meledak di tempat yang salah. Kepada teman-temannya, kepada saudara kandungnya, maupun kepada anak-anak dan pasangannya kelak.
Bisa disimpulkan bahwa, perundungan terjadi lantaran kompleksnya faktor penyebab perundungan tersebut. Dari segala sisi, memberikan sumbangsih dengan prosentase cukup besar terhadap makin tingginya angka kasus perundungan itu. Oleh karenanya, hanya dengan pergantian sistem, dari sistem kapitalisme menjadi sistem pemerintahan Islam, Insya Allah bisa memperbaiki semuanya dari segala lini dan dapat menciptakan generasi-generasi unggul seperti yang pernah ada di abad kejayaan Islam.